PILKADA
LANGSUNG ATAU MELALUI DPRD, MANA YANG PRO RAKYAT?: MENGKRITISI KONTROVERSI RUU
PILKADA 2014
Oleh Umi Salamah
Akademisi dan Pengamat Sosial Politik
Saat
ini Indonesia mendapat pujian yang membanggakan sebagai negara demokrasi yang
makin matang paska Pemilihan Presiden bulan Juli lalu. Pemilu Presiden berjalan
damai dan transisi kekuasaan berlangsung lancar. Satu hal lagi yang penting mendapat
apresiasi yaitu di masa yang akan datang rakyat tetap mendapat hak (privilege) untuk
memilih langsung pemimpinnya. Namun, beberapa hari ini kita terusik dengan RUU
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dimana hak rakyat untuk memilih langsung kepala
daerahnya diambil alih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini
tertuang dalam RUU Pilkada BAB 2 (Pemilihan Gubernur) mulai Pasal 2 dan BAB 3
(Pemilihan Walikota/Bupati) mulai Pasal 47.
Undang-undang yang Pro Rakyat Merupakan
Keniscayaan
Rancangan Undang-undang tentang
Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) sebenarnya sudah disiapkan sejak 2010
oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sesuai kesepakatan antara Komisi II
DPR dengan Kemendagari, RUU Pilkada akan disyahkan akhir September 2014. Dengan
demikian Pilkada pasca-Pemilu 2014 sudah menggunakan undang-undang baru. RUU
Pilkada 2014 yang terdiri atas 7 bab dan 183 pasal itu memiliki dua ketentuan
baru yang berbeda secara signfikan dari ketentuan UU No. 32/2004. Pertama,
pilkada hanya memilih gubernur dan bupati/walikota, sementara wakil gubernur
dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS; kedua, gubernur
tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD provinsi.
Sekurangnya ada tiga alasan yang
dikemukakan oleh pemerintah dan DPR sebagai pengusung dan pendukung RUU ini
menjadi UU Pilkada tahun 2014. Pertama, pemilihan langsung rawan politik uang; kedua, biaya
Pilkada tinggi dan tidak efisien; dan ketiga mengurangi potensi konflik sosial. Alasan itu yang
digunakan untuk menguatkan argumentasi dukungan terhadap disyahkannya RUU Pilkada
tersebut. Menelisik tradisi dan budaya di lingkungan DPR dan DPRD yang saat ini
masih menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap kinerja DPR, RUU tersebut
sangat rentan terhadap permainan, intimidasi, dan korupsi terselubung oleh
anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD menurut RUU
ini justru membuat Pilkada tidak transparan dan memungkinkan lobi-lobi di
kalangan anggota Dewan dengan para calon kepala daerah yang belum tentu
mencerminkan pilihan rakyat. Di samping itu, ketiga alasan yang
disampaikan oleh pengusung dan pendukung RUU Pilkada tersebut sangat tidak
masuk akal apabila ketentuan UU No. 32/2004 ditegakkan secara konsisten. Mengapa
demikian?
Pelaku
politik uang sebenarnya adalah politisi dan parpol, sedangkan rakyat hanya
sebagai korban. Pilkada melalui DPRD bukan jaminan mengakhiri praktik korupsi
dan money politics, tetapi justru memindahkan money politics dari ranah publik
ke ruang tertutup yang tidak bisa diawasi rakyat. Pakar Hukum Tata Negara Refly
Harun berpendapat: "Kalau persoalannya adalah money politics, saya bisa mengatakan
kalau ancaman hukumannya keras, tegas, dan jelas misalnya diskualifikasi, maka
orang tidak mau melakukan itu. Tetapi yang sekarang ini terjadi adalah orang
berani melakukan money politics karena tidak ada ancaman yang tegas dan
keras". Untuk itu yang mendesak dilakukan adalah segera dibuat aturan yang mempertegas,
menguatkan, dan memberi sanksi yang seberat-beratnya kepada pelaku money
politics dalam Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak perlu mengubah
sistem. Yang tidak kalah pentingnya adalah penegakkan peratuan yang telah
dibuat dan kejelasan pelaksanan peraturan yang telah dibuat, pelaku money
politics mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya seperti halnya hukuman bagi
seorang koruptor, tidak sekedar diskualifikasi.
Alasan biaya Pilkada tinggi dan tidak efisien bisa diatasi dengan adanya pelaksanaan Pilkada serentak yang sudah direncanakan oleh KPU mulai tahun 2015. Adapun alasan mengurangi potensi konflik sosial, sebenarnya Pilkada dan Pemilu itu adalah konflik elit politik. Kalau elitnya mengatakan, “Mari kita jabat tangan, akui kemenangan lawan dan sama-sama terus membangun negeri”, niscaya masyarakatnya akan mengikuti pemimpinnya.
Alasan biaya Pilkada tinggi dan tidak efisien bisa diatasi dengan adanya pelaksanaan Pilkada serentak yang sudah direncanakan oleh KPU mulai tahun 2015. Adapun alasan mengurangi potensi konflik sosial, sebenarnya Pilkada dan Pemilu itu adalah konflik elit politik. Kalau elitnya mengatakan, “Mari kita jabat tangan, akui kemenangan lawan dan sama-sama terus membangun negeri”, niscaya masyarakatnya akan mengikuti pemimpinnya.
Pilkada
melalui DPRD tidak Pro Rakyat dan mengembalikan
demokrasi Indonesia kepada sistem yang dilakukan oleh Orde Baru dan
menghilangkan fungsi check-and-balance. Pada masa Orde Baru, para wakil rakyat
berpura-pura “menyuarakan suara rakyat” tetapi sibuk mengedepankan kepentingan
pribadi dan golongannya saja. Fungsi check-and-balance antara DPRD sebagai pelaksana
fungsi legislatif dan Kepala Daerah sebagai pelaksana fungsi eksekutif tidak
akan berjalan karena DPRD akan cenderung memilih calon yang sejalan dengan
kepentingan golongan yang terbesar (koalisi) di DPRD. Lebih parahnya lagi,
rakyat tidak bisa berbuat sesuatu untuk mengawasi proses ini atau menghentikan
keputusan yang tidak amanah.
Selain itu, Indonesia menganut sistem presidensial, yakni
pimpinan eksekutifnya dipilih oleh rakyat. Seyogianya pimpinan eksekutif di
daerah pun dipilih oleh rakyat untuk memastikan bahwa pemimpinnya mengedepankan
kepentingan rakyat, bukan kepentingan koalisi partai-partai politik yang
memenangkan kepala daerah ini. Dalam hal ini, pakar hukum tata negara Ramlan Surbakti
mengatakan “Jika kepala daerah dipilih langsung oleh DPRD, maka disebut
inkonstitusional, karena Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 mengharuskan
gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis serta Pasal 1 tentang
bentuk negara republik dan kesatuan. Pemilihan kepala daerah seharusnya
mengikuti pemilihan langsung seperti pada pemilihan presiden dengan azas Luber
Jurdil.
Sistem pemerintahan kita adalah presidensial, bukan
parlementer, maka mekanisme pemilihannya juga harus konsisten, yaitu dipilih
langsung oleh rakyat. Sementara itu, keberadaan kepala daerah dilandasi oleh
azas otonomi daerah yang menjamin pemilihan langsung oleh rakyat, sehingga
masyarakat diberi wewenang untuk memilih, mengisi jabatan dan mengontrol
jalannya pemerintahan. Dengan demikian sosok-sosok berkualitas yang bekerja
untuk rakyat seperti, Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng), Bima Arya (Bogor), Jokowi
(Solo/DKI), Ahok (DKI), Ridwan Kamil (Bandung) sampai Ibu Risma (Surabaya) akan
lebih banyak bermunculan di berbagai daerah yang benar-benar memberikan jaminan
serta memastikan bahwa rakyat mendapatkan kesejahteraan di wilayahnya
masing-masing. Pemimpin-pemimpin semacam ini hanya bisa dilahirkan melalui
proses Pilkada secara langsung (Luber
Jurdil). Sebaliknya, jika Pemilukada dipilih oleh DPRD yang akan mucul adalah
hanya politisi yang sudah lama menjadi kader partai koalisi gemuk yang
berpeluang memenangkan deal politik untuk menjadi kepala daerah. Pemimpin
semacam itu cenderung menjadi boneka dan ATM dari koalisi gemuk anggota DPRD.
Sehubungan
dengan itu, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan KENISCAYAAN
karena merupakan hak dan kewajiban
rakyat. Dengan demikian, yang lebih mendesak untuk dilakukan adalah membuat aturan dan sanksi yang tegas serta memberikan jaminan
bahwa pelanggar ketentuan undang-undang dihukum yang seberat-beratnya, bukan
DENGAN MENGUBAH SISTEM YANG SUDAH ADA. Tidak kalah pentingnya adalah membuat
aturan yang baru yang dapat menjamin bahwa pemimpin yang dihasilkan melalui
Pilkada langsung tersebut sanggup memberikan jaminan penuh terwujudnya
kesejahteraan rakyat dalam melaksanakan program kerjanya selama masa
jabatannya.
No comments:
Post a Comment