Monday, August 17, 2015

Refleksi Peringatan Hari Kemerdekaan RI, 2015




Refleksi Peringatan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945: Mengembalikan Kedaulatan dan Martabat Bangsa
Umi Salamah
Dosen dan Pemerhati sosial-politik

Tahun ini, bangsa Indonesia telah genap berusia 70 tahun. Usia yang dianggap cukup bagi sebuah Negara untuk membenahi segala bidang guna mewujudkan kehidupan yang sejahtera, adil, dan makmur bagi setiap warganya. Usia yang sanggup untuk mendapatkan kedaulatan bangsa atas kekayaan dan teritorial yang dimilikinya.
Memperingati hari kemerdekaan tidak sekedar melakukan seremoni atau upacara tetapi lebih dari itu, yakni bagaimana kita mampu mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat sesuai dengan yang dicita-citakan oleh pendiri kemerdekaan Indonesia. Mengapa kita harus menjadi bangsa yang berdaulat?
Kedaulatan bangsa Indonesia artinya kekuasaan tertinggi pemerintahan Indonesia diatur oleh Negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia tanpa campur tangan asing. Ini berarti bangsa Indonesia harus sanggup untuk memenuhi kebutuhan hajat hidupnya melalui berbagai swasembada. Dengan begitu, cita-cita kemerdekaan sebagaimana yang disampaikan oleh Soekarno bahwa bangsa yang merdeka adalah bangsa yang berdaulat, akan tercapai.  Itulah sebenarnya esensi makna kemerdekaan yang sebenarnya. Sudahkah semua kekayaan dan teritoriaal bangsa Indonesia dikuasai oleh Negara untuk kemakmuran dan keamanan  bangsa Indonesia saat ini?
            Memang, mengembalikan kedaulatan bangsa yang sudah tercabik-cabik di tangan asing dan segelintir cukong tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi apabila ada kemauan pasti banyak jalan untuk mencapainya. Sehubungan dengan itu, mari kita merenung, untuk bersatu, dan menyatukan tekat secara bulat untuk mengembalikan kedaulatan bangsa dan Negara di atas kepentingan golongan apalagi kepentingan pribadi agar bermartabat di kancah dunia. 

Mengapa mengembalikan kedaulatan bangsa menjadi begitu penting?
            Sudah sejak lama bangsa asing ingin memecah belah bangsa Indonesia agar mudah dimanfaatkan dan dikuras kekayaannya untuk menguasai dunia sebagaimana yang dilakukan oleh Negara-negara yang pernah menjajah Indonesia. Mengapa demikian, karena Indonesia memiliki teritorial yang berada di persimpangan strategis, sumber daya alam yang besar, dan daerah yang sangat subur. Akan tetapi mengapa Indonesia saat ini justru terpuruk dalam krisis pangan dan energy? Hal itu disebabkan oleh belum dimilikinya (1) kedaulatan pangan, (2) kedaulatan energi, (3) kedaulatan kekayaan alam, dan bahkan (4) belum mampunya mempertahankan kedaulatan teritorial. Sehubungan dengan itu, mengapa mengembalikan kedaulatan bangsa itu menjadi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan?

Pentingnya Mengembalikan Kedaulatan Pangan
Pangan dan energi merupakan kebutuhan dasar suatu bangsa. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki kedaulatan di bidang pangan. Hal itu terbukti dari fakta bahwa produksi pangan nasional belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi pangan nasional. Untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, Indonesia masih memerlukan impor dari asing. Hasil survey Maret 2015 dari BPS menyatakan bahwa kebutuhan pangan bangsa Indonesia yang masih mengimpor mencapai 140 triliyun rupiah per tahun. Ini masih menyangkut impor komuditas kebutuhan pangan saja belum komuditas lainnya. Padahal semua komuditas bahan pangan tersebut dapat ditanam  dan dikelola di Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia, di antaranya beras, jagung, kedelai, gula, singkong, cabe, dan lainnya dalam jumlah yang lebih dari mencukupi kebutuhan dalam negeri. Nah, di sini pasti ada yang salah dalam mengelola negeri ini.
Untuk itu, pemerintah harus segera merancang gebrakan swasembada pangan untuk meningkatkan produksi pangan dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang agar kebutuhan pangan nasional dapat dipenuhi oleh produksi pangan dalam negeri. Optimalisasi pengolahan potensi lahan pertanian, peternakan, potensi sumber daya anak bangsa, dengan memanfaatkan hasil riset dari berbagai lembaga pendidikan tinggi maupun departemen terkait yang jumlahnya sangat banyak merupakan gerakan yang harus dilakukan untuk mewujutkan kedaulatan pangan nasional sekaligus meningkatkan martabat bangsa. Dengan tercukupinya kebutuhan pangan nasional oleh produksi pangan nasional, maka ketergantungan Indonesia terhadap pihak asing dapat dieleminir bahkan dapat dihindari. Dengan demikian, kedaulatan pangan bangsa Indonesia dapat dicapai.

Pentingnya Mengembalikan Kedaulatan Energi
Di Bidang energi,  Indonesia memiliki sumber daya energi yang sangat besar, akan tetapi pengelolaanya sebagian besar diambil alih oleh asing, seperti Exxon Mobil Oil, Total, Viko, CNOOC CES, Ltd, Chevron, Asia Petrolean, Petronas, CITIC Seram Energi Limited, Japan Petroleum Exploration Co Ltd, Korea National Oil Corporation (KNOC), Kaltex Pasivic Indonesia, Pearl Energi Ltd dan hanya sedikit saja yang dikelola oleh Negara melalui Pertamina. Hal itu diperparah dengan kondisi kilang minyak yang kita miliki sudah tua sehingga tidak efisien dan mengalami kerugian 10 trilyun per tahun. Akibatnya, sampai saat ini Indonesia belum memiliki cadangan strategis BBM. Sementara itu, pembangunan infrastuktur gas sangat lambat sehingga ketergantungan terhadap BBM juga masih sangat besar. Apa yang terjadi dengan Negara kita. Yang lebih kronis lagi, dari 22 sistem kelistrikan kita hanya 6 dalam kondisi normal, 11 defisit, dan 5 krisis. Ini berarti kondisi energi kita sangat memprihatinkan.
            Sejak 2008, Indonesia menjadi net importir tetapi anehnya masih merasa kaya. 50% konsumsi BBM kita adalah impor tetapi kita berlaku boros dan terus-menerus mensubsidi. APBN kita dibebani subsidi untuk kelas menengah ke atas sementara infra struktur tidak dibangun. Sumberdaya energi baru melimpah tetapi perhatian untuk pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) sangat minim. Energi fosil akan habis disubsidi, akan tetapi energi baru yang sustainable tidak disupport. Cadangan migas kita terus menurun, sementara pengembalian cadangan tidak sampai 60%. Produksi juga menurun, bahkan dalam lima tahun terakhir ini tidak mencapai target produksi. Akan tetapi aksplorasi tidak ditangani secara serius.  Pemerintah sering membahas tentang pengelolaan energi nasional, akan tetapi, anehnya yang ter-blow up di media justru kenaikan harga BBM. Ini disebabkan  oleh  peran media yang tidak mendidik masyarakat dengan menyampaikan berita yang tidak akurat dan seimbang (balance).
Saat ini energi mix masih didominasi oleh minyak bumi (46%) sedangkan energi terbarukan hanya 5%. Sementara, estimasi usia minyak bumi akan habis dalam waktu 13 tahun dan gas bumi habis dalam waktu 34 tahun ke depan. Estimasi ini tidak akan menciutkan kedaulatan energi bangsa Indonesia, apabila pemerintah serius men-support pengelolaan energi terbarukan dengan memberdayakan seluruh potensi yang dimiliki bangsa Indonesia. Setidaknya berdasarkan hasil riset, kita masih memiliki 7 potensi sumber energi  terbarukan yang dapat dikelola untuk mewujutkan kedaulatan energi yang sampai saat ini masih terabaikan dan belum digarap secara serius. Di samping itu, Indonesia juga memiliki ribuan sumberdaya manusia yang siap dan mumpuni  diberdayakan untuk membantu mengelola bidang itu. Ketujuh bidang tersebut adalah  energi hidro (75 GW), energi Surya (112 GWt), energi panas bumi (28,8 GW), energi angin (950 MW), energi biomassa (32 GW), energi biofuel (32 GW), dan energi laut (60 GW. Jadi …. Jika pemeritah serius melaksanakan pengelolaan energi terbarukan ini secara serius, maka sangat mudah untuk mencapai kedaulatan di bidang energi. Dan jika pengelolaan energy terbarukan itu dilakukan dengan memberdayakan potensi anak bangsa, maka program ini sekaligus akan meningkatkan martabat bangsa.
Bersambung…

Saturday, May 9, 2015

Refleksi Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2015



 









BAGAIMANAKAH PENDIDIKAN KITA MENGANTISIPASI MEA 2015:

Refleksi Memperingati Hari Pendidikan Nasional

Oleh Umi Salamah

Akademisi dan pengamat sosial-politik

Memperingati hari pendidikan nasional tidak cukup hanya dengan seremoni saja, tetapi yang lebih pentig sanggup melakukan refleksi terhadap pendidikan kita agar ke depan  menjadi lebih baik dan berkualitas. Menyimak Rembukan nasional (Rembuknas) Pendidikan yang diprakarsai oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada Selasa 31-3-2015, tampaknya belum ada greget dan gebrakan yang cukup berarti dari dunia pendidikan dalam menghadapi MEA 2015 yang akan di-launching pada 31 Desember 2015. Rembuk Nasional masalah pendidikan bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat Komisi II hingga Komisi 7 itu masih membahas hal-hal yang klasik dan klise berkutat pada masalah wajib belajar, penyelenggaraan Ujian Nasional (UN), kurikulum, dan pemerataan guru.
Penyiapan out put pendidikan yang benar-benar siap bersaing dalam mengadapi MEA 2015 belum dijadikan isu apalagi topik pembahasan. Pendidikan kita masih disibukkan dengan bongkar pasang kurikulum dan UN yang ujung-ujungnya adalah proyek yang menghambur-hamburkan uang negara untuk sekelompok orang saja bukan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Hal itu disebabkan oleh lemahnya pengawasan penyelenggaraan pendidikan di negara kita. Akibatnya, pendidikan belum mampu membekali kecakapan hidup bagi Output-nya, sehingga menyebabkan gagap dalam menghadapi pasar kerja.  Terobosan apa yang harus akan dilakukan oleh pendidikan kita dalam menghadapi  MEA 2015?

MEA 2015 bisa Menjadi Bentuk Penjahan Baru
 MEA 2015 seakan-akan hanya tampil dalam perspektif ekonomi saja, sehingga masyarakat yang berada di luar ranah ekonomi, tidak tahu dan mungkin tidak mau tahu. Padahal MEA tidak hanya memudahnya mobilitas barang dan jasa, tetapi juga orang (SDM) antarnegara di wilayah ASEAN. Bagi negara yang sudah menyiapkan SDM yang handal dan pranata hukum yang tegas dan berdaulat akan menjadi sumber kemakmuran bagi bangsa dan negaranya, Sebaliknya bagi negara yang  tidak mampu menyiapkannya, maka MEA akan menjadi bentuk penjajahan baru. Akankah kita terlelap dalam kemasabodohan dan kembali menjadi budak di negeri sendiri? Tuhan telah memberikan pelajaran yang cukup panjang dengan hadirnya penjajah Belanda dan Jepang di negeri ini. Sumber daya alam telah dikuras secara besar-besaran untuk kemakmuran penjajah, mengakibatkan masyarakat Indonesia miskin dan menderita berabad-abad lamanya. Akankah MEA hadir sebagai bentuk penjajahan baru bagi bangsa dan negara kita? Itu bisa terjadi jika kita tidak memiliki SDM yang siap bersaing dan penegakkan hukum yang masih lemah dan tidak konsisten.

Apa yang Harus Dipersiapkan Pendidikan Kita dalam Menghadapi MEA 2015
            Seperti diketahui oleh banyak negara, Finlandia dianggap sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Lantas, bagaimana pendidikan ideal Finlandia? Di Finland, pendidikan dianggap sangat penting dan harus membuat anak didik termotivasi senang dalam belajar, serta mengajak anak didik dapat menjelaskan manfaat pendidikan tersebut bagi dirinya. Dengan demikian anak didik memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya belajar dan pendidikan bagi kesuksesan hidupnya. Ini sangat berbeda dengan pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Di Indonesia, pendidikan terlalu sarat dengan mata pelajaran dan materi pembelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik, sehingga anak didik merasa kewalahan untuk belajar dan tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk mengetahui manfaat dari materi pelajaran bagi hidupnya.
Sehubungan dengan itu, yang harus dipikirkan oleh penggagas pendidikan adalah bagaimana realisasi sistem pendidikan kita bisa menyenangkan dan bermanfaat bagi kesuksesan hidup anak didik. Untuk itu, hendaknya pemerintah segera menghentikan ‘bongkar pasang kurikulum’ yang pada dasarnya substansi dan paradigmanya tetap sama. Yang lebih penting dilakukan adalah (1) membuat pendidikan itu menyenangkan bagi anak didik bukan sebagai beban, (2) menjadikan Mata Pelajaran sebagai alat kecakapan hidup dan penggemblengan mentalitas nasioanlis. Dengan demikian, keberhasilan anak didik tidak lagi diukur dari tingkat penguasaan materi sebagai tujuan belajar tetapi yang lebih penting diukur adalah bagaimana anak didik mampu menggunakan materi pembelajaran sebagai alat kecakapan untuk memperoleh kesuksesan hidup dan bagaimana materi itu mampu menyulut semangat nasionalis untuk lebih mencintai bangsa dan negaranya.
            Apa yang mendesak dilakukan oleh pemerintah dan pendidikan kita dalam menghadapi MEA 2015? Pemerintah harus melakukan pengemblengan dan pengawasan yang ketat terhadap sekolah-sekolah khusus (SMK) agar benar-benar membekali anak didik  tentang cara bekerja yang kreatif, inovatif, dan cakap dalam membangun jaringan/ networking. Kemampuan membangun jaringan juga harus diprioritaskan bagi tenaga kerja level  manajemen yang umumnya diemban oleh lulusan perguruan tinggi. Ketiga kecakapan itu dapat meningkatkan kualitas kerja lulusan pendidikan sehingga out put pendidikan kita memiliki daya saing di pasar kerja, baik dalam negeri maupun di kawasan ASEAN..
Mampukah perangkat pendidikan kita melakukannya? Jika tidak, pemerintah harus memberikan regulasi-regulasi yang mempermudah masyarakat untuk membuka lembaga-lembaga penyelenggara pelatihan yang membekali alat kecakapan hidup dan mentalitas nasionalis yang siap menghadapi MEA 2015.

Pemberdayaan Inspekstorat Jendral Pendidikan Kurang Maksimal
Fungsi pengawasan hampir di berbagai bidang di negara kita sangat lemah. Inilah yang menyebabkan tumbuhkembangnya praktik korupsi dan penyimpangan-penyimpangan di segala bidang, tidak terkecuali di bidang pendidikan.
Sebaik apa pun perencanaan sistem pendidikan apabila tidak dibarengi dengan fungsi pengawasan yang baik maka kecenderungan terjadinya penyimpangan, pelemahan, dan pencurian akan terus-menerus terjadi. Inilah salah satu faktor penyebab menurunnya kualitas pendidikan dan makin tumbuh kembangnya budaya korupsi di lingkungan pendidikan kita. Fungsi pengawasan yang baik adalah pengawasan berdasarkan SOP yang akuntabel, transparan, dan sanksi hukum yang tegas. Fungsi pengawasan ini harus diperkuat dan dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen dengan tindakan hukum yang tegas terhadap segala bentuk penyimpangan. Sehubungan dengan itu, pemilihan tenaga pengawas harus benar-benar menguasai bidangnya sebagaimana SOP, memiliki skill yang cerdik, cerdas, dan jeli, serta tidak bermentalitas pecundang. Untuk mencegah terjadinya gratifikasi, kesejahteraan para pengawas harus ditingkatkan.
Dengan begitu, siapkah pendidikan kita menghadapi MEA 2015? Tentu saja bisa jika pendidikan kita sudah mampu membekali kecakapan hidup anak didik dan pengawasan pelaksanaan pendidikan dilakukan secara profesional dan tanggung jawab dengan penegakan hukum yang tegas.

Wednesday, April 1, 2015

Artikel Teropong Kemandirian Pangan Maret 2015



 

 SEMBAKO MAHAL:

Kemandirian Pangan dan Penghambatnya Harus Ditangani secara Serius


Umi Salamah
Akademisi dan Pengamat Sosial-Politik


Sembako mahal menjadi trending topik di berbagai media yang cukup bertahan lama saat ini. Jika ini dibiarkan, kewibawaan pemerintah akan berada di ujung tanduk, sebab sembako merupakan penyangga kehidupan yang sangat vital/mendasar bagi keberlangsugan hidup rakyat. Ada banyak faktor yang bermain menentukan harga sembako mahal, antara lain, (1) belum tercapainya kemandirian pangan nasional dan (2) peran aktifnya para mafia dan koruptor yang mengganggu distribusi sembako kepada masyarakat. Sebagaimana bandar narkoba, para koruptor dan mafia adalah musuh negara yang sangat berbahaya, laten, dan harus dihukum yang seberat-beratnya dan seadil-adilnya.  Oleh karena itu, tidak hanya pelaku pembangunan kemandirian pangan nasional yang harus terus dipacu tetapi juga para musuh negara itu harus ditindak tegas.

Libatkan Semua Potensi untuk Membangun Kemandirian Pangan
Mati enggan hidup pun segan, ungkapan ini melukiskan jeritan para petani ketika hasil penjualan panen tidak sesuai dengan harapan. Juga melukiskan jeritan rakyat kecil ketika harga sembako melambug tinggi. Bagaimana tidak, pada saat masa panen tiba, pemerintah mengizinkan para mafia melakukan impor, sehingga harga hasil pertanian menjadi ‘anjlok’ dan distribusi hasil pertanian tidak lancar.   Apalah artinya panen melimpah apabila harganya ‘anjlok” dan pemerintah tidak mau tahu tentang persoalan yang dihadapi para petani? Tentu saja kondisi seperti ini tidak memotivasi petani untuk meneruskan usaha pertaniannya.
Dampak dari kondisi ini sebagian besar petani menjual tanahnya dan beralih profesi sebagai buruh atau merantau di negeri orang. Akibatnya, hasil pertanian di Indonesia makin lama makin merosot, sehingga tidak mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Untuk mengatasi hal tersebut lagi-lagi pemerintah menggunakan cara instan dengan memberikan izin impor. Dampak dari kebijakan tersebut, harga pangan menjadi melambung, sehingga rakyat kecil tidak mampu membeli sembako yang berkualitas.
Apabila hal ini tidak segera diantisipasi dengan kebijakan dan sistem pertanian yang berorientasi pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka bangsa Indonesia akan mengalami krisis pangan berkepajangan. Padahal sebenarnya Indonesia memiliki sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang sangat banyak di bidang pertanian. Indonesia memiliki lahan pertanian yang sangat luas, dan jutaan sarjana pertanian dengan potensi, pengetahuan, pengalaman, dan hasil riset yang sangat banyak tetapi belum diberdayakan dan dikelola dengan baik. Selain itu potensi masyarakat lainnya, seperti kelompok pemuda, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat merupakan investasi yang sangat baik bagi tercapainya pembangunan kemandirian pangan nasional dan keberlanjutannya. Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi rakyatnya?

Perlunya menegakkan Sistem Tatakelola Pertanian yang Serius
Menjadi tuan di negera sendiri dan menjadi rakyat yang bangga pada negara, ungkapan ini akan terus bergaung sangat indah apabila pemerintah berhasil membangun kemandirian pangan nasional di negeri ini. Tentu saja ini bukan pekerjaan mudah, akan tetapi apabila pemerintah membuat kebijakan dan sistem tatakelola yang terkontrol dan  memihak petani dengan melibatkan seluruh potensi bangsa akan terasa lebih ringan dan lebih mudah.
Melihat kondisi di negara saat ini, sebagian besar tanah, air, dan kekayaan alam lainnya sudah dikuasai asing, sementara potensi rakyat juga kurang dikelola secara maksimal.  Hal ini menyebabkan krisis pangan di negara ini makin memprihatinkan. Krisis inilah yang menyebabkan harga pangan menjadi mahal.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk perubahan menuju kemandirian dan ketahanan pangan, di antaranya (1) melakukan judicial review terhadap undang-undang terutama tentang penanaman modal asing, (2) peraturan yang tidak sesuai dengan UUPA Nomor  5 Tahun 1960 dan UUD 1945 khususnya pasal 33 ayat 3 harus diganti, (3) jadikanlah payung tersebut sebagai pedoman dalam pembuatan peraturan yang berkaitan dengan penguasaan tanah, air, udara dan kekayaan alam di Indonesia, (4) penguatan kelembagaan, baik di tingkat pusat maupun daerah harus mengutamakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, (5) hentikan semua aktivitas penanaman modal asing yang merugikan rakyat, (6) optimalisasi hasil riset di bidang pertanian, dan (7)  berantas mafia dan koruptor di bidang pertanian.
Berdasarkan ke tujuh poin di atas, maka dengan melakukan judicial review dan menjadikan UUPA Nomor  5 Tahun 1960 dan UUD 1945 sebagai pedoman/ payung dalam pembuatan peraturan penguasaan tanah, air, dan udara, serta kekayaan Indonesia akan memberikan kepastian hukum perlindungan terhadap hak kepemilikan lahan oleh rakyat (khususnya petani) menjadi lebih besar sehingga Negara memiliki kontrol yang lebih kuat. Dengan penguatan fungsi kelembagaan dari pusat hingga ke bawah dapat menjamin kelancaran distribusi dan pengawasan terhadap bantuan pemerintah baik, berupa pembimbitan, penanaman, pemupukan, proses pemanenan, sampai pendistribusian hasil panen lancar, sehingga tidak memungkinkan para mafia untuk mempermainkan harga. Dengan demikian harga menjadi lebih stabil dan tidak fluktuatif. Perlunya pemanfaatan hasil riset di bidang pertanian, baik dari perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat, akan menjamin peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian, maka hasil panen dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional. Tidak kalah pentingnya, upaya serius untuk memberantas koruptor dan mafia pertanian melalui penegakan hukum serta fungsi kontrol yang ketat dan melekat, maka menutup celah dan pemanfaatan kesempatan yang bisa mengganggu distribusi dan ketersediaan pangan. Pada akhirnya tidak akan terjadi harga sembako mahal.