Saturday, June 29, 2013

GERAKAN NEOPARTIONALISME YANG KUAT MENUJU TERBENTUKNYA IMAGION COMMUNITY:Refleksi Kelahiran Pancasila




GERAKAN NEOPARTIONALISME YANG KUAT MENUJU TERBENTUKNYA IMAGION COMMUNITY:Refleksi Kelahiran Pancasila

Oleh Umi Salamah

Episode minggu ini, dalam rangka memperingati hari lahirnya Pancasila, kita mengenang tentang keadaan, perjuangan, dan pikiran-pikiran bangsa Indonesia sebelum dan selama revolusi besar tahun 1945, menuju terbentuknya Imagion Community kebangsaan Indonesia dengan semangat patriotisme dan nasionalisme yang kuat ke arah tercapainya bangsa yang besar, bermartabat, dan terhormat.

Masih pentingkah ideologi Pancasila dalam percaturan politik di Indonesia?
Ada kepentingan yang dikotomis antara yang pragmatis dan ideologis dalam percaturan politik di Indonesia. Hampir 100% politik Indonesia mulai dari akar rumput sampai dengan yang elit adalah pragmatik. Penyebabnya menurut Mochtar Lubis (1983) adalah mengakarnya mentalitas sebagaian besar pemimpin dan tokoh di Indonesia yang hipokrit (munafik), pelit, malas, boros, korup, pembohong, tidak serius, dan pelupa. Karakter inilah yang memiliki andil besar makin terpuruknya bangsa Indonesia dan makin sulitnya bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, sehingga Indonesia terjerembab dalam krisis moral, budaya, dan ekonomi yang berkepanjangan. Karakter ini jauh dari cita-cita pendiri bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam ideologi Pancasila dan UUD 1945. Akankah kita menikmati krisis ini sampai Indonesia benar-benar tenggelam dalam keterpurukan?
Para pendiri revolusi telah meletakkan pilar semangat perjuangan untuk mencapai kebangsaan yang besar yaitu: (1) berdiri pada kaki sendiri (self-reliance), (2) menolong diri sendiri (self help), (3) penentuan nasib sendiri (self-determination), dan (4) nonkooperasi (non-cooperation). Azas-azas ini merupakan pedoman bagi bangsa Indonesia, partai politik, dan organisasi-organisasi yang mengabdikan diri bagi tujuan kemerdekaan nasional. Azas-azas inilah yang mengantar bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya.
Agaknya pilar-pilar semangat perjuangan itu pada saat ini sangat jauh dari yang dilakukan oleh pendiri bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu telah berbalik menjadi sikap ketergantungan pada investasi asing, ketidakberdayaan menolong diri sendiri dan menentukan nasib sendiri karena selalu bekerjasama dengan kapitalis.  Sikap inilah yang menyebabkan para pemimpin dan tokoh-tokoh politik bermental munafik, pelit, malas, boros, korup, pembohong, tidak serius, dan pelupa.
            Mereka berdalih membela rakyat tetapi sebenarnya menyengsarakan rakyat. Penarikan investasi asing secara besar-besaran di Indonesia, bukan memberikan kemakmuran bagi bangsa Indonesia tetapi hanya menguntungan investor kapitalis dan segelintir pemimpin yang menikmati suap dari investor. Pembuatan undang-undang perburuhan pun didikte oleh investor asing untuk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemilik modal, pemberi izin, dan para pembuat undang-undang. Lagi-lagi buruh yang sebenarnya merupakan investasi besar  SDM bagi bangsa Indonesia dijadikan tumbal dari mentalitas tersebut.

Bagaimana Ideologi Pancasila dilaksanakan di Indonesia?
Di Amerika sebagai negara kapitalis dan liberalis, semua boleh dilakukan dan hanya dua yang tidak boleh dilakukan yaitu melawan hukum Negara dan merugikan orang lain. Seluruh bangsa Amerika beserta pemimpinnya melaksanakan ideologi itu secara konsisten. Bagi rakyat maupun pemimpin yang melanggar hukum negara dan merugikan orang lain benar-benar dihukum seberat-beratnya. Sedangkan ideologi negara komunis justru semuanya tidak boleh dilakukan kecuali untuk kehormatan Negara. Ideologi itu juga dilaksanakan secara konsisten. Tidak ada hak milik atas nama pribadi kecuali atas nama negara.
Sementara itu, ideologi Pancasila memberikan pedoman yang dirumuskan melalui sila-sila dalam Pancasila. Semua boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut merupakan kristalisasi kebudayaan bangsa Indonesia yang digali dengan susah payah oleh para pemikir pendiri bangsa Indonesia, yaitu Soekarno, Soepomo, dan Moh. Yamin. Ideologi Pancasila bertujuan untuk kemakmuran, keadilan, dan kejayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, bermartabat dan berketuhanan yang mahaesa. Apabila dilaksanakan dengan konsisten dan konsekuen maka bangsa Indonesia mudah mencapai tujuan tersebut.

Agaknya inilah yang menjadi keprihatinan kita bersama.
Nilai-nilai ideologi Pancasila telah dinodai oleh sebagian besar pemimpin dan tokoh politik bangsa Indonesia. Sebagian besar pejabat dan tokoh politik di negara kita telah memberikan contoh penodaan terhadap ideologi Pancasila. Mereka mengaku beragama tetapi tidak takut melakukan perbuatan dosa. Dengan seenaknya mereka merampok kekayaan negara, berzina, dan merampas hak rakyat. Dengan seenaknya mereka melanggar ideologi Pancasila dan UUD 1945 untuk kepentikan pribadi dan kelompoknya. Mereka mengaku pemimpin bangsa yang seharusnya melindungi dan menyejahterakan rakyat tetapi justru menyengsarakan rakyat. Temuan KPK terhadap kekayaan para pejabat dan tokoh politik yang munafik dan korup merupakan bukti adanya penistaan ideologi Pancasila dan UUD 1945. Tragisnya mereka tidak dihukum seberat-beratnya tetapi justru mendapat fasilitas yang jauh lebih baik dari masyarakat biasa. 
Penistaan ideologi Pancasila juga dilakukan oleh sebagian besar media masa. Bangsa Barat yang memiliki ideologi liberal saja tidak pernah mengekspose kekurangan bangsa. Jepang tidak pernah mengumbar kekurangan dan kengenasannya meski dihempas tsunami maupun bencana lainnya. Sebaliknya sebagian besar media dan LSM di Indonesia justru mengobral kekurangan dan kebobrokan bangsa. Penayangan berita tentang kekurangan, kebobrokan, dan ketidakseriusan negara dalam menangani kekuarangan dan kebobrokan justru diekspos atau diberitakan sebanyak-banyaknya. Ini benar-benar merupakan pendidikan yang sangat buruk bagi keberlangsungan bangsa yang bermartabat. Pernyataan-pernyataan para pemimpin dan politikus tentang pentingnya menjadi bangsa yang bermartabat tidak diikuti dengan tindakan yang sesuai. Kedatangan para direktur BUMN ke sekolah-sekolah untuk mengajar dan memberikan motivasi pun ternyata hanya sebagai lipstick saja. Kehadiran mereka tidak diimbangi dengan asah, asih, dan asuh, sehingga kehadiran meraka kurang memiliki makna.

Pentingnya  melaksanakan ideologi Pancasila dan UUD 1945 secara konsisten
Berdasarkan pengalaman sejarah, bangsa yang besar, bermartabat, dan terhormat hanya dapat dicapai melalui persatuan nasional yang berlandaskan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Berdasarkan prinsip tersebut, secara politis, para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia telah meletakkan sikap dasar bagi kepentingan nasional bukan kepentingan golongan, partai, atau pun daerah apalagi kepentingan pribadi. Prinsip-prinsip tersebut telah dirumuskan dalam sila-sila ideologi Pancasila dan UUD 1945. Bagaimanakah dengan sikap pemimpin saat ini? Sudahkah mereka melaksanakan dan memberikan contoh pelaksanaan ideologi Pancasila secara benar dan konsisten menuju tercapainya cita-cita pendiri bangsa, yaitu untuk kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan sebagai bangsa yang besar, bermartabat dan berketuhanan yang mahaesa. Diperlukan gerakan patriotisme dan nasionalisme baru (neopatrionalis) ke arah pencapaian tujuan besar tersebut, yaitu  mengurangi ketergantungan pada investor asing, optimali potensi bangsa baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia oleh negara, dan mengurangi kerjasama dengan kapitalis asing, serta tetap berpedoman kepada ideologi Pancasila dan UUD 1945 secara konsisten.
Ka. Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia  IKIP Budi Utomo Malang dan Dosen Universitas Brawijaya,
Aktivis sosial dan politik





GERAKAN NEOPATRIONALISME: REFLEKSI HARI KEBANGKITAN NASIONAL






Arsip artikel yang dipublish di Koran Teropong




GERAKAN NEOPATRIONALISME:
REFLEKSI HARI KEBANGKITAN NASIONAL
Oleh: Umi Salamah

Membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme tidak harus dengan “kekerasan”.
Menang atau bisa bertahan dalam medan perang sangat tergantung pada strategi yang dimainkan. “Perang” terbesar saat ini adalah melawan hegemoni kapitalis dalam berbagai bidang yang merupakan perwujudan dari neoimperialis. Cara yang dilakukan oleh para teroris dengan bom bunuh diri atau mengebom tempat tertentu yang dilakukan atas nama melawan kapitalis merupakan tindakan “konyol” dan sia-sia.  Image “bodoh” dan “jahat” akan menempel pada pelaku pengeboman dan kelompoknya. Yang lebih fatal jika asal negara pengebom juga dijuluki sebagai negara teroris dan pelabelan tersebut akan diperlakukan bagi seluruh masyarakat yang berasal dari negara yang disebut sebagai negara asal “teroris”. Dampaknya sangat buruk bagi keberlansungan dan kemajuan suatu negara yang terkena pelabelan tersebut. Seharusnya perang kecerdasan harus dilawan dengan kecerdasan, pencitraan dilawan dengan pencitraan, difusi kebudayaan harus dilawan dengan kekuatan kebudayaan sendiri.
Bercermin pada Tokoh-tokoh Besar melawan neoimperialis
Telah banyak tokoh besar bangsa Indonesia yang memberikan tauladan membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme dalam berbagai bidang tanpa kekerasan. Mereka berhasil apabila mendapat dukungan dari masyarakat. Sebut saja Bung Tomo dan Bung Karno dengan keberanian dan kepiawaian melawan hegemoni politik dan kebudayaan kolonialis. Kecerdasan dan kepiawaian Bung Karno dalam menegosiasi dan melobi dunia mendapat dukungan yang sangat besar dari seluruh bangsa bahkan di seluruh dunia. Strategi itulah yang berhasil mengantar Indonesia mencapai kemerdekaan dan keharuman putra-putri bangsa Indonesia sebagai anak revolusi. Putra-putri yang penuh rasa percaya diri dan bangga sebagai anak Indonesia di kancah dunia.
Di bidang pendidikan, Ki Hajar Dewantoro berhasil menancapkan pilar pendidikan yang sangat kuat melalui filosofi dan strategi pendidikan berbasis kebudayaan. Pilar-pilar tersebut sangat kokoh, sesuai dengan karakter dan kebudayaan bangsa Indonesia, serta fleksibel sepanjang zaman. Pilar “Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, dan tutwuri handayani”  serta “Asah asih asuh” adalah warisan kebudayaan yang sudah terbukti kehandalannya dalam membentuk karakter bangsa yang patriotis dan nasionalis dalam segala bidang. Pilar-pilar ini berhasil karena didukung oleh kebijakan politik pemerintah zaman Soekarno. Moralitas anak-anak pada saat itu benar-benar menghargai orang tua dan guru, agama dan ilmu, dan bangga terhadap bangsa dan negaranya. Keinginan untuk memajukan bangsa merupakan cita-cita setiap anak bangsa.
Ironis, warisan budaya yang begitu adiluhung itu kini seakan lenyap di telan masa. Para pengambil kebijakan pendidikan cenderung lebih suka mengimpor model pendidikan dari asing yang belum tentu cocok dengan kondisi di negeri ini. Pendidikan berbasis “nano-nano” dan berbau kapitalis ini tidak membentuk karakter anak menjadi baik. Akibatnya, perilaku anak jauh dari fondamen kebudayaan bangsa Indonesia. Sikap sopan-santun/tata-krama, mentalitas kerja keras, suka menolong dan gotong royong yang merupakan fondamen kebudayaan bangsa Indonesia bergeser menjadi urakan, malas-malas, egois, hedonis, konsumtif, dan membentuk geng perkelahian.
Untuk mengembalikan kepada pendidikan yang berbasis kebudayaan kita harus berani bersikap teguh dan kokoh pada kebudayaan sendiri. Pendidikan harus kembali pada basis kebudayaan yaitu Pansacila dan UUD 1945. Model pendidikan kita juga harus diambil dari pilar yang berbasis kebudayaan sendiri. Pendidikan Indonesia seharusnya adalah pendidikan yang mampu menjawab problema-problema dan tantangan masyarakat Indonesia, bukan pendidikan yang berorientasi pada teori kapitalis. Pendidikan harus bertolak dari hasil riset masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang. Misalnya di bidang pertanian seharusnya kita lebih maju daripada negara-negara tetangga, karena kita memiliki lahan yang sangat luas, varietas tanaman yang banyak, dan sarjana pertanian yang lebih dari cukup baik dari kuantitas maupun kualitas. Negara kita seharusnya menjadi pelopor di bidang pertanian. Sangat ironis jika masalah “bawang putih, bawang merah, cabe, gula, daging, dan beras” kita masih mengimpor dari negara tetangga.
Di bidang teknologi, Habibie dengan penguasaan teknologi berhasil menakhlukkan teknologi penerbangan dan kereta api dunia. Namanya membawa harum bangsa Indonesia di kancah dunia. Di bidang perdagangan, Chairul Tanjung, Aburizal Bakrie, Rachmad Gobel, Sukamdani Sahid Gito Sardjono, dan lainnya dengan strategi bisnisnya mampu bersaing di kancah bisnis global. dan masih banyak anak bangsa yang patut diteladani dan dicontoh serta menjadi inspirasi positif dengan semangat optimis dapat membawa kemajuan bangsa dan negara ini. Di bidang teknologi informatika, sebenarnya bangsa Indonesia tidak kekurangan ahli. Banyak potensi mahasiswa dan siswa yang belum terakomodasi secara maksimal oleh sistem kebijakan pemerintah. Akibatnya Indonesia belum mampu mengkaunter derasnya pencitraan yang dihembuskan oleh negara-negara kapitalis. Apa yang salah dengan negeri kita ini?

Serangan hegemoni kapitalis di negara kita meliputi berbagai sendi kehidupan
Perang terbesar saat ini adalah melawan kapitalis. Bung Karno menyebut dengan Neoimperialis. Hegemoni kapitalis di negeri ini telah merasuk ke dalam pembuluh darah sebagian besar bangsa ini dalam berbagai bidang. Bahkan telah merobek hati dan akal sehat sebagian bangsa ini. Rendahnya kualitas hidup sebagian besar rakyat menyebabkan menurunnya kualitas mental dan moral bangsa. Rasa kurang percaya diri dan bermental budak telah menggerogoti mentalitas sebagian besar rakyat kecil, sementara budaya korupsi dan bermental koloni telah memanjakan para pejabat dan sebagian besar birokrat negeri ini. Ini merupakan imbas dari telah dibukannya kran kapitalis modern di Indonesia secara besar-besaran di bidang pertambangan, industri raksasa, dan jaringan perdagangan kapitalis.
Akibatnya masyarakat kita saat ini cenderung represif dan terbius oleh kediaman. Keadaan seperti ini membuat kreativitas dan produktivitas anak bangsa lumpuh, sehingga banyak orang yang lari dari idealism demi kedudukan di tengah masyarakat. Meskipun dalam masyarakat kita terjadi kepincangan-kepincangan, penyelewengan, dan penyimpangan sosial sudah dianggap sebagai hal yang lumrah dan layak terjadi. Bagaimana tidak? Sebagaian besar bangsa ini telah lama dininabobokan dengan budaya hedonis, pragmatis, dan konsumtif. Bersenang-senang dengan jalan pintas, bekerja dengan jalan pintas, belajar dengan jalan pintas, memperoleh jabatan juga dengan jalan pintas telah menjadi trend yang dilakukan oleh sebagian besar bangsa ini. Mulai dari rakyat kecil sampai dengan pejabat tinggi. Sikap ini menyebabkan kebiasaan untuk tidak kritis, apatis, dan terkungkung dalam masyarakat yang tidak rasional (mistis).  Apakah karakter bangsa ini sudah demikian jauh dari kebudayaan yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945? Ironisnya hanya orang-orang tertentu yang menyadarinya. Apakah yang harus kita lakukan?  

Diperlukan pemimpin visioner dan bermental neopatrionalisme dalam Melawan Kapitalis
Penguasaan media oleh kapitalis menjadikan bangsa ini tidak berdaya dan krisis rasa percaya diri. Media memiliki peranan yang sangat penting dalam membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme. Namun media juga berperan besar dalam menghancurkan semangat tersebut. Pemberitaan dan penayangan acara yang tidak seimbang antara prestasi dan dedikasi yang diperoleh bangsa dengan penyimpangan-peyimpangan moral memberikan dampak yang sangat fatal bagi masyarakat dan generasi muda. Penayangan penyimpangan moral, seperti korupsi, manipulasi, perselingkuhan, perdukunan, perkelahian, kecurangan, secara berulang-ulang justru memberikan dampak buruk berupa sikap apatis terhadap keberadaan dan kemajuan bangsa dan negara. Sebaliknya penayangan prestasi dan dedikasi anak bangsa yang membawa kemajuan bangsa akan berdampak positif bagi keberlangsungan dan kemajuan bangsa. 
Siapa yang berwewenang mengatur? Apalah artinya pencanangan pendidikan berbasis pendidikan karakter apabila tidak didukung oleh tayangan media dan kebijakan pemerintah yang tidak berbasis pada kebudayaan sendiri. Diperlukan pemimpin yang visioner dan bermental neopatrionalis. Pemimpin yang visioner dan bermental neopatrionalis akan selalu mendukung dan memberikan peluang seluas-luasnya kepada rakyat untuk eksis dan memajukan bangsanya. Pemimpin yang berpegang teguh pada dasar negara dan konstitusi negara akan selalu membela hak dan berpihak pada kemakmuran, keadilan, harkat, dan martabat bangsa dan negaranya. Pemimpin yang tanggap terhadap problema dan tantangan masyarakat bangsa dan negara selalu melihat permasalahan dan kebutuhan rakyatnya sebagai bahan kajian peningkatan kualitas pendidikan, teknologi, dan ilmu pengetahuan di negaranya. Pemimpin yang dapat menjadi contoh patrionalis bagi rakyatnya adalah pemimpin yang teguh pendirian dan konsisten melaksanakan dasar negara dan konstitusi negara serta berani melawan kebijakan kapitalis yang tidak sesuai dengan dasar negara dan konstitusi negaranya.
Description: E:\Foto-video\albumku\Bu Umi.JPG
Ka. Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia  IKIP Budi Utomo Malang dan Dosen Universitas Brawijaya,
Aktivis sosial dan politik