Saturday, September 28, 2013

Artikelku di Koran Teropong Edisi 30 Sept--6 Okt. 2013



 








KEBIJAKAN MOBIL MURAH DAN MENINGKATNYA KEBIJAKAN IMPOR
RINDU TAULADAN SIKAP NASIONALISME SEJATI

Oleh: Umi Salamah

Di mana rasa nasionalisme yang dicontohkan oleh pemerintah? Mengapa bukan mobil murah produk dalam negeri oleh anak bangsa sendiri? Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah tentang peluncuran mobil murah impor sungguh merupakan tauladan yang sangat buruk bagi pendidikan karakter yang berlandaskan ideologi Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah hanya memikirkan bagaimana meningkatkan impor sebanyak-banyaknya bukan kemandirian (swasembada) dengan membangun kekuatan dari sumber daya bangsa sendiri. Siapa yang diuntungkan?

Di satu sisi pemerintah mencanangkan kebijakan irit BBM dan mengatasi kemacetan, tetapi di sisi lain justru membuka kran baru untuk memperbesar konsumsi BBM. Apa sebenarnya yang terjadi di balik sikap suka impor dan mengabaikan kekuatan sumberdaya dalam negeri sendiri? Korupsi menjadi alasan untuk cepat memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Ini sangat kontras dengan sikap pendiri kemerdekaan bangsa ini. Mereka berjuang jiwa raga untuk kemerdekaan dan kehormatan bangsa, sementara pemerintah saat ini berjuang untuk kepentingan kelompoknya. Anehnya kebijakan pemerintah pusat juga ditiru sebagian besar pemerintah daerah. Budaya “budaya aji mumpung” (senyampang ada kesempatan) untuk memperkaya kelompoknya tanpa peduli masa depan bangsa, dengan menjual sebanyak-banyaknya sumber daya alam seperti tambang dan perkebunan, serta mengimpor sebanyak-banyaknya kebutuhan yang sebenarnya bisa dipenuhi dengan memberdayakan potensi dalam negeri. Ini sungguh merupakan pengkhianatan terhadap amanat UUD 1945. Adakah hukum di Indonesia yang mampu menjerat para koruptor dan pejabat yang “aji mumpung” seperti itu? Di mana nasionalisme pakar hukum Indonesia?

Impor dan Inkonsistensi Sikap Pemerintah
Impor lagi, impor lagi, dan lagi-lagi impor. Setelah impor daging, bawang merah, bawang putih, kedalai, dan sekarang yang marak adalah impor mobil murah.  Suatu sikap yang sangat tidak konsisten dan tidak terpuji yang dilakukan oleh pemerintah dengan kebijakan mobil murah. Mengapa harus mobil impor? Kebijakan mobil murah impor bukan sesuatu yang baru. Hal ini pernah terjadi sebelumnya. Peluncuran mobil Xenia dan Avanza sebagai mobil murah sekitar 10 tahun lalu pada akhirnya menggiring masyarakat untuk mengonsumsi mobil tersebut. Menjamurnya mobil impor juga berdampak pada menurunnya nilai rupiah dan terhambatnya produksi mobil nasional. Apalagi kebijakan ini diluncurkan pada saat pemerintah baru saja mengambil kebijakan hemat BBM dan mengatasi kemacetan lalu lintas. Suatu kebijakan yang sangat inkonsistensi. Di satu sisi, pemerintah menginginkan masyarakat dapat menghemat BBM dan dapat mengatasi masalah kemacetan terutama di ibu kota negara dan ibu kota provinsi. Akan tetapi di sisi lain justru membuka kran besar untuk menambah konsumsi BBM dengan meluncurkan kebijakan mobil impor murah. Semaraknya mobnas yang pernah diluncurkan oleh beberapa perguruan tinggi, LIPI, dan SMK beberapa tahun lalu seperti tenggelam ditelan malam. Hilang begitu saja. Siapa yang lebih diuntungkan? Mengapa kita kalah dengan negara tetangga ‘Malaysia’? Mereka sudah memiliki dua jenis mobil nasional, dan mereka bangga menggunakan mobil nasional. Mereka bisa memnbatasi mobil impor, mengapa pemerintah kita tidak bisa?
Mengapa kebijakan pemerintah selalu tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan kehormatan bangsa? Mengapa pemerintah tidak memikirkan bagaimana memberdayakan potensi bangsa sendiri sehingga bangsa Indonesia bangga membangun negaranya sendiri? Jutaan TKI seharusnya bisa dan bangga bekerja di negerinya sendiri kalau pemerintah mampu mengoptimalkan potensi dalam negeri. Sampai kapankah mental pemerintah seperti ini berlangsung di Indonesia. Kita sungguh merindukan sosok pemimpin yang dapat menjadi tauladan nasionalisme bangsa ini.
Mengapa Mesti Impor?
Mobil impor, alat komunikasi juga impor, dan yang lebih ironis lagi,  di negara yang berbasis agraris, kita masih mengimpor hasil pertanian. Puluhan juta sarjana pertanian dan ratusan juta hektar lahan pertanian, puluhan juta tenaga petani terampil tanpa pendidikan disia-siakan begitu saja. Apa yang dipikirkan oleh pemerintah melalui menteri dan dirjen-dirjennya tidak menggambarkan sikap nasionalisme sama sekali.  Kebijakan yang mereka ambil sangat bertentangan dengan amanat ideologi pancasila dan UUD 1945. Kebijakan yang tidak memihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemandirian nasional melainkan hanya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan pribadi dan kelompoknya. Mengapa para menteri dan para dirjen tidak bekerja keras untuk memberdayakan potensi agraris di negara ini. Apakah kerakusan politik di Indonesia sedemikian besar memasung kreativitas dan kinerja para menteri dan dirjen-dirjennya. Sangat memprihatinkan. Mengapa pimpinan tertinggi tidak bisa bersikap tegas terhadap kondisi yang anti nasionalisme ini. Apa yang salah dengan negeri ini?
Bercermin pada keberhasilan pertanian di Thailand yang dulu jauh di bawah Indonesia, kita mestinya malu. Mengapa pertanian di Indonesia yang memiliki jutaan sarjana pertanian, jutaan hektar, dan ribuan varietas pertanian sekarang kalah, tidak berdaya, dan justru impor kepada negara yang dulu belajar ke Indonesia. Mengapa menteri pertanian tidak memberdayakan potensi pertanian yang dimiliki bangsa ini dan hanya memikirkan bagaimana mengatasi kebutuhan masyarakat dengan impor dan impor saja. Bagaimana kecakapan Presiden dalam memilih menterinya. Ke depan kita mesti bisa memilih pemimpin yang benar-benar cakap dan mumpuni sebagai leader yang memiliki rasa nasionalisme tinggi bukan pemimpin yang hanya pintar membangun pencitraan. Pemimpin yang mau mendengar suara rakyat dan mampu menyejahterakan rakyat, juga mampu membawa bangsa menjadi lebih besar dan terhormat di dunia.  
Umi Salamah
Ka Prodi PBSI IKIP Budi Utomo Malang dan Dosen Universitas Brawijaya Malang

No comments:

Post a Comment