Monday, February 10, 2014

Artikel Kemandirian Pangan - Teropong Newspaper




 

 

Membangun Kemandirian di Bidang Pertanian

Berantas Mafia, Bangun Sinergi antar kementerian dan antarinstitusi (3)

 

Oleh Umi Salamah

 

Wahai bangsa Indonesia, bangkitlah

Jangan mengeluh, jangan mengeluh, jangan mengeluh, karena mengeluh itu tanda kelemahan jiwa (Soekarno)

Apalagi lempar batu sembunyi tangan

 

Mafia sama bahanyanya dengan koruptor, Jadikan musuh bersama negara

Mundurnya menteri perdagangan, Gita Wiryawan di tengah-tengah polemik melubernya beras impor  yang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah menjadi tanda tanya besar bagi rakyat. Meskipun berbagai alasan dan pembelaan dari dirinya dan partai Demokrat tetapi fakta yang terkesan ditutup-tutupi ini menunjukkan bahwa Gita Wiryawan bukanlah negarawan yang handal dan bertanggung jawab. Di sisi lain, dialog Menteri Pertanian dalam acara Sentilan-sentilun menunjukkan bahwa lembaga kementerian pertanian di Indonesia sangat lemah bahkan tidak berdaya. Kementan menuduh Kemendaglah yang harus bertanggung jawab terhadap masalah impor beras dan produk pertanian lainnya. Demikian juga dengan masalah distribusi pupuk yang tidak pernah memihak petani. Kementan juga menuduh kementrian BUMN sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pendistribusian pupuk. Mengapa harus lempar batu sembunyi tangan. Mereka saling melempar tanggung jawab.  Mereka seharusnya tidak bersikap masa bodoh seperti itu kalau memiliki jiwa negarawan. Seorang negarawan akan selalu komit menjunjung tinggi kepentingan rakyat dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Dialog bersama Presiden RI kedua, Habibi dalam acara Mata Najwa hendaknya dijadikan tauladan bagaimana menjadi seorang negarawan sejati.  Di manakah peran menteri koordinator, kenapa tidak ada usaha untuk membangun sebuah sinergi  yang bertujuan memakmurkan rakyat. 

Sungguh kenyataan yang sangat ironis, di saat petani panen, pemerintah justru mengimpor beras sebanyak-banyaknya, dan di saat petani butuh pupuk, pupuk menjadi sangat langka. Fenomena ini benar-benar membuat petani Indonesia semakin terpuruk dan bertambah miskin. Akibatnya mereka banyak yang menjual tanah dan beralih profesi menjadi tenaga kerja buruh dan pedagang kecil. Hal ini sungguh sangat memprihatinkan segaligus sangat berbahaya bagi ketahanan pangan nasional.  Ada apa dengan pemerintah kita dan kinerja di kementerian kita saat ini.
Beberapa tahun yang lalu WS Rendra, penyair kawakan Indonesia di era 1970-1980an pernah menuliskan “Kita sendiri mesti merumuskan keadaan... Kita mesti terjun ke jalan-jalan raya, ke luar ke desa-desa.... menghayati semua gejala dan menghayati persoalan yang nyata”. Apabila apa yang dikatakan oleh Rendra itu diterapkan oleh pejabat kementerian, maka kebijakan yang diambil pasti memihak kepada rakyat. Sayangnya, para pejabat lebih percaya pada mafia dibanding hasil riset yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Seandainya saja, hasil riset dan sumber daya manusia yang dihasilkan oleh perguruan tinggi diberdayakan secara optimal, maka pertanian di Indonesia akan berkembang dengan sangat baik. Mestinya pejabat kementerian jeli dan waspada terhadap akar permasalahan runtuhnya pertanian di Indonesia. Sebenarnya sudah sangat jelas bahwa akar permasalahan  utama ketidakberdayaan pertanian di Indonesia disebabkan oleh sepak terjang mafia pertanian.
Mafia pertanian sudah sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup petani dan pertanian di Indonesia. Perizinan impor beras, misalnya, diduga menjadi lahan empuk untuk mengeruk uang haram para politisi bersama mafia beras. Pasalnya banyak keanehan yang terjadi terkait dengan data konsumsi beras nasional dan perubahan pos tarif (kode harmonized system/HS Code) pada tahun 2012. Pengamat pertanian, Khudori mencurigai ada permainan kelas tinggi terkait perubahan kode HS (harmonized system) beras yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan pada tahun 2012.  Dia menyebut, berdasar Buku Tarif Kepabeanan tahun 2008, kode HS untuk beras medium dan beras khusus sebelumnya dibedakan, tapi tiba-tiba tahun 2012 kode HS keduanya disatukan. Ada apa dengan penyatuan kode HS itu. selain tidak ada pembedaaan, Bea Cukai juga tidak mememeriksa secara ketat beras impor yang masuk ke pelabuhan. Padahal, kedua jenis beras itu fisiknya maupun importirnya berbeda. Lebih lanjut dia juga mempertanyakan mengenai penggunaan angka konsumsi beras nasional sebesar 139 kilogram pertahun per orang sejak 1996. Padahal pada tahun 2012, BPS bersama Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian sudah melakukan survei dan menyimpulkan bahwa konsumsi beras nasional sebenarnya hanya 113 kilogram pertahun. Jika perbedaan ini dikalikan jumlah penduduk Indonesia, berapa banyak kerugian negara yang mestinya dapat dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sungguh sangat ironis dan tragis.

Diperlukan sinergi antar kementerian dan antarinstusi
Sejak dulu, pendiri negara ini sudah menempatkan pertanian sebagai basis ekomomi kerakyatan. Hal itu diperkuat dengan UUPA tahun 1960. Sayangnya pemeritah saat ini tidak mampu melindungi petani yang sangat berjasa memenuhi kebutuhan bangsa. Kemandirian di bidang pangan menjadi jauh dari harapan. Padahal di masa yang akan datang pemerintah dihadapkan pada krisis pangan dan permainan perdagangan global. Mengapa Irjen pertanian seperti tidak mememiliki fungsi untuk melindungi petani.  Mengapa Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian (Irjen Kementan) tidak berani memberikan sanksi kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang menangani tender Pengadaan Pupuk dan impor hasil pertaian. Mestinya irjen Kementerian Pertanian merapat dengan KPK untuk bersama-sama memberantas mafia itu.
Tahun 2013 dicanangkan sebagai swasembada beras tapi masih impor beras khusus yang ternyata malah isinya beras medium.  Bagaimana mampu mewujudkan swasembada pangan, terutama di komoditas padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Sementara  kenyataannya, pemerintah masih tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan masyakarat akan lima komoditas pokok tersebut. Pemerintah belum ada kemauan baik untuk membina dan memberikan stimulus pada pertanian di Indonesia. Nampaknya, selain memberantas mafia pertanian, sinergi antara kementrian pertanian, perdagangan, perindustrian, dan BUMN sangat diperlukan. Selain, pemberdayaan hasil riset dan sumber daya manusia yang dihasilkan perguruan tinggi merupakan hal yang niscaya dilakukan. Dengan demikian cita-cita tentang kemandirian di bidang pangan akan terwujut.

Umi Salamah, Ka. Prodi PBSI IKIP Budi Utomo Mlang dan Dosen Universitas Brawijaya Malang

No comments:

Post a Comment