Membangun Kemandirian di Bidang Pertanian
Berantas Mafia, Bangun Sinergi, Kikis Mentalitas Sok Kuasa (4)
Oleh Umi Salamah
Bangsa
yang unggul akan menganggap segala masalah sebagai hal yang dapat diatasi
[Andrew
Carnegie]
Kikis Mentalitas “Sok Kuasa” dari Dominasi kekuasaan
Sikap
arogansi para legislatif yang seharusnya memperjuangkan nasib rakyat dan sikap
birokrasi yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, saat ini sebagian besar menjadi sikap “sok
kuasa” yang ditimbulkan oleh dominasi dalam kekuasaan. Partai dominan cenderung
melakukan dominasi berupa tekanan dan pembohongan publik sebagai sikap arogansi
“sok kuasa” terhadap tenaga pakar yang sebenarnya sangat diperlukan untuk
membangun bangsa dan negara ini. Sebut saja Rudi Rubiadini, seorang pakar yang
seharusnya membawa kejayaaan bangsa dan negara Indonesia di bidang migas, telah dinodai,
ditelanjangi, dikorbankan, dan dihinakan oleh sebagaian anggota legislatif dan
birokrasi di Indonesia utuk kepentingan kelompoknya. Hal ini menjadi fenomena
yang sangat buruk bagi pendidikan politik di Indonesia juga bagi optimisme para
pakar untuk berpartisipasi membangun bangsa dan negara Indonesia.
Kecenderungan
seperti ini menumbuhkembangkan mafia di berbagai lini birokrasi yang akan terus
tumbuh menjadi kanker yang melemahkan semangat bangsa Indonesia dan melumpuhkan
kemandirian negara Indonesia. Sikap kemandirian yang telah dibangun dengan
susah payah oleh pendiri bangsa diruntuhkan oleh sekelompok politisi yang
kurang memiliki rasa nasionalis.
Stop Ketergantungan Impor Pangan dan Mendesak Dilakukan Kemandirian
Pangan Sepenuh hati
Pembangunan
pertanian pangan selama ini hanya dilakukan setengah hati. Program dan gerakan pembangunan pertanian, hanya kuat di
atas kertas dan wacana dalam konteks
politik saja. Pelaksanaanya hampir tidak ada. Hampir 10
tahun pemerintah menggulirkan program revitalisasi pertanian, perikanan dan
perkebunan dengan ketahanan dan
keswasembadaaan pangan. Sebagai ukuran keberhasilan
revitalisasi pertanian maka pemerintah telah menargetkan swasembada atas lima
komoditas strategis yaitu padi, kedelai, jagung, daging dan gula, namun apa yang terjadi.
Sungguh
sangat ironis, Indonesia, yang pernah menikmati kemandirian pangan tahun 1980-an,
kini menempati posisi ke-empat sebagai negara pengimpor beras terbesar di
dunia. Setiap tahun, Indonesia mengimpor beras mulai 1,5 juta ton untuk memenuhi konsumsi
beras nasional yang dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Tidak hanya beras, kegemaran impor
pangan sudah merambah ke jenis lain, seperti jagung, kedelai, daging sapi,
bawang merah, bawang putih, gula, bahkan buah-buahan.
Sepertinya ruang domestik
petani dihabisi sedikit-demi sedikit. Mengikisnya prioritas di bidang pertanian,
khususnya pangan yang disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya sikap
arogansi “sok kuasa”, makin maraknya mafia, alih fungsi
lahan sawah menjadi fungsi lainnya, melemahkan
motivasi para petani, sehinga terjadi pergeseran pekerjaan dari pertanian menuju ke pembangunan infrastruktur
yang tidak menjadi prioritas. Hal ini
menyebabkan produksi pangan di Indonesia mati suri.
Situasi ini
membuat posisi Indonesia rentan krisis
pangan karena negara-negara penyuplai bahan pangan mulai
mengurangi ekspornya
akibat perubahan iklim yang berpengaruh langsung terhadap produktivitas bahan pangan. Pada sisi lain,
ketahanan pangan selalu berada pada situasi yang
mengkhawatirkan karena besarnya laju impor. Nilai
impor pangan saat ini sudah
menembus 15
miliar dolar Amerika Serikat. Makin meningkatnya impor, menyebabkan harga bahan pangan
menjadi melambung tinggi, sementara daya beli sebagian besar masyarakat
Indonesia masih sangat rendah.
Apabila
terjadi kerawanan pangan, maka masyarakat miskinlah yang paling rentan terkena
dampaknya. Sekitar
78,11 persen masyarakat miskin saat ini tinggal di pedesaan (BPS, 2012). Mereka
sangat tergantung pada
pertanian skala kecil. Pertanian padi skala kecil masih merupakan pilihan yang
unggul bagi penyediaan pangan karena cenderung lebih stabil dan dapat membantu
menyelesaikan persoalan
kemiskinan lokal. Bagaimana upaya
untuk mengantisipasi kerawanan krisis pangan di Indonesia? Di manakah fungsi
kementerian pertanian dan di manakah fungsi koordinasi antar menteri.
Atas dasar inilah, Indonesia harus mulai
membangun kemandirian pangan. Di sisi lain,
Indonesia telah menghasilkan jutaan sarjana pertanian di bidang
argroekoteknologi, agribisnis, dan agroindustri. Lembaga-lembaga ini telah
menghasilkan berbagai hasil research di bidang pertanian yang dapat membangun
ketahanan pangan. Tetapi sangat disayangkan, kemauan baik dari pemerintah belum
ada. Mereka tidak diberdayakan untuk kepentingan kemandirian pangan secara
optimal. Tidak sedikit yang beralih profesi ke pekerjaan non pertanian. Ini sangat
tragis. Seharusnya dilakukan kemitraaan antar kementerian, terutama pertanian, BUMN, perdagangan, dan institusi
penghasil sarjana pertanian untuk membangun kemandirian pangan.
Pengawasan dan pembinaan
di bidang pertanian juga tidak dilakukan secara serius, sehingga upaya membangkitkan sektor pertanian pangan tersebut masih belum
tercapai. Fakta di lapangan menunjukkan kenyataan lain. Revitalisasi yang dilakukan
dengan tujuan akhir menyejahterakan petani justru malah makin meminggirkan
petani. Di manakah fungsi Irjen
pertanian?
Konstitusi kita jelas mengamanatkan
pencapaian kedaulatan pangan. Untuk mencapai ini tak ada pilihan lain selain bersungguh-sungguh
membangun pertanian pangan dan petani. Situasi sekarang menunjukkan pemerintah
mengabaikan amanat itu. Target swasembada tahun 2014, hampir dipastikan tidak akan tercapai
walaupun terjadi peningkatan produksi, namun hal
tersebut belum cukup untuk mengeluarkan Indonesia dari
jeratan impor. Laju impor yang besar menempatkan negara dalam ‘kuasa’ pihak
lain dan mengindikasikan kegagalan menjaga kedaulatan.
Pembangunan pertanian yang dilakukan setengah hati menimbulkan implikasi munculnya ancaman kirisis pangan. Jika pembangunan pertanian gagal, impor akan kembali meningkat. Hal ini diperlukan sinergi/penyelarasan antara kebijakan pusat dan daerah serta pemberdayaan Irjen dan institusi penghasil sarjana pertanian. Tanpa usaha itu diyakini persoalan-persoalan di pertanian sulit diatasi. Sehubungan dengan itu, paket kebijakan yang bisa menyelamatkan petani dan keluar dari ancaman krisis pangan mendesak dilakukan. Pemberian stimulus harga dasar dan proteksi kegagalan panen kepada petani segera dilakukan. Selain itu segera merealisasikan janji reformasi agraria sebagai kunci jaminan produksi. Apabila hal itu tidak dilakukan, liberalisasi semakin kuat, tidak ada perubahan orientasi kebijakan pangan maka diprediksi, Indonesia akan mengalami krisis pangan parah di pertengahan periode pemerintahan mendatang.
Pembangunan pertanian yang dilakukan setengah hati menimbulkan implikasi munculnya ancaman kirisis pangan. Jika pembangunan pertanian gagal, impor akan kembali meningkat. Hal ini diperlukan sinergi/penyelarasan antara kebijakan pusat dan daerah serta pemberdayaan Irjen dan institusi penghasil sarjana pertanian. Tanpa usaha itu diyakini persoalan-persoalan di pertanian sulit diatasi. Sehubungan dengan itu, paket kebijakan yang bisa menyelamatkan petani dan keluar dari ancaman krisis pangan mendesak dilakukan. Pemberian stimulus harga dasar dan proteksi kegagalan panen kepada petani segera dilakukan. Selain itu segera merealisasikan janji reformasi agraria sebagai kunci jaminan produksi. Apabila hal itu tidak dilakukan, liberalisasi semakin kuat, tidak ada perubahan orientasi kebijakan pangan maka diprediksi, Indonesia akan mengalami krisis pangan parah di pertengahan periode pemerintahan mendatang.
Umi Salamah, Ka. Prodi
PBSI IKIP Budi Utomo Mlang dan Dosen Universitas Brawijaya Malang
No comments:
Post a Comment