Monday, March 3, 2014

Membangun Kemandirian di Bidang Pertanian Berantas Mafia, Bangun Sinergi, Kikis Mentalitas Sok Kuasa (4)



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Membangun Kemandirian di Bidang Pertanian

Berantas Mafia, Bangun Sinergi, Kikis Mentalitas Sok Kuasa (4)

 

Oleh Umi Salamah

 

Bangsa yang unggul akan menganggap segala masalah sebagai hal yang dapat diatasi
[Andrew Carnegie]

Kikis Mentalitas “Sok Kuasa” dari Dominasi kekuasaan
Sikap arogansi para legislatif yang seharusnya memperjuangkan nasib rakyat dan sikap birokrasi yang seharusnya menjadi pelayan rakyat,  saat ini sebagian besar menjadi sikap “sok kuasa” yang ditimbulkan oleh dominasi dalam kekuasaan. Partai dominan cenderung melakukan dominasi berupa tekanan dan pembohongan publik sebagai sikap arogansi “sok kuasa” terhadap tenaga pakar yang sebenarnya sangat diperlukan untuk membangun bangsa dan negara ini. Sebut saja Rudi Rubiadini, seorang pakar yang seharusnya membawa kejayaaan bangsa dan negara  Indonesia di bidang migas, telah dinodai, ditelanjangi, dikorbankan, dan dihinakan oleh sebagaian anggota legislatif dan birokrasi di Indonesia utuk kepentingan kelompoknya. Hal ini menjadi fenomena yang sangat buruk bagi pendidikan politik di Indonesia juga bagi optimisme para pakar untuk berpartisipasi membangun bangsa dan negara Indonesia.

Kecenderungan seperti ini menumbuhkembangkan mafia di berbagai lini birokrasi yang akan terus tumbuh menjadi kanker yang melemahkan semangat bangsa Indonesia dan melumpuhkan kemandirian negara Indonesia. Sikap kemandirian yang telah dibangun dengan susah payah oleh pendiri bangsa diruntuhkan oleh sekelompok politisi yang kurang memiliki rasa nasionalis.

Stop Ketergantungan Impor Pangan dan Mendesak Dilakukan Kemandirian Pangan Sepenuh hati
Pembangunan pertanian pangan selama ini hanya dilakukan setengah hati. Program dan gerakan pembangunan pertanian, hanya kuat di atas kertas dan wacana dalam konteks politik saja. Pelaksanaanya hampir tidak ada. Hampir 10 tahun pemerintah menggulirkan program revitalisasi pertanian, perikanan dan perkebunan dengan ketahanan dan keswasembadaaan pangan. Sebagai ukuran keberhasilan revitalisasi pertanian maka pemerintah telah menargetkan swasembada atas lima komoditas strategis yaitu padi, kedelai, jagung, daging dan gula, namun apa yang terjadi.
Sungguh sangat ironis, Indonesia, yang pernah menikmati kemandirian pangan tahun 1980-an, kini menempati posisi ke-empat sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia. Setiap tahun, Indonesia mengimpor beras mulai 1,5 juta ton untuk memenuhi konsumsi beras nasional yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Tidak hanya beras, kegemaran impor pangan sudah merambah ke jenis lain, seperti jagung, kedelai, daging sapi, bawang merah, bawang putih, gula, bahkan buah-buahan.
Sepertinya ruang domestik petani dihabisi sedikit-demi sedikit. Mengikisnya prioritas di bidang pertanian, khususnya pangan yang disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya sikap arogansi “sok kuasa”, makin maraknya mafia, alih fungsi lahan sawah menjadi fungsi lainnya, melemahkan motivasi para petani, sehinga terjadi pergeseran pekerjaan dari pertanian menuju  ke pembangunan infrastruktur yang tidak menjadi prioritas. Hal ini menyebabkan produksi pangan di Indonesia mati suri.
Situasi ini membuat posisi Indonesia rentan krisis pangan karena negara-negara penyuplai bahan pangan mulai mengurangi ekspornya akibat perubahan iklim yang berpengaruh langsung terhadap produktivitas bahan pangan. Pada sisi lain, ketahanan pangan selalu berada pada situasi yang mengkhawatirkan karena besarnya laju impor. Nilai impor pangan saat ini sudah menembus 15 miliar dolar Amerika Serikat. Makin meningkatnya impor, menyebabkan harga bahan pangan menjadi melambung tinggi, sementara daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat rendah.
Apabila terjadi kerawanan pangan, maka masyarakat miskinlah yang paling rentan terkena dampaknya. Sekitar 78,11 persen masyarakat miskin saat ini tinggal di pedesaan (BPS, 2012). Mereka sangat tergantung pada pertanian skala kecil. Pertanian padi skala kecil masih merupakan pilihan yang unggul bagi penyediaan pangan karena cenderung lebih stabil dan dapat membantu menyelesaikan persoalan kemiskinan lokal. Bagaimana upaya untuk mengantisipasi kerawanan krisis pangan di Indonesia? Di manakah fungsi kementerian pertanian dan di manakah fungsi koordinasi antar menteri.
Atas dasar inilah, Indonesia harus mulai membangun kemandirian pangan. Di sisi lain, Indonesia telah menghasilkan jutaan sarjana pertanian di bidang argroekoteknologi, agribisnis, dan agroindustri. Lembaga-lembaga ini telah menghasilkan berbagai hasil research di bidang pertanian yang dapat membangun ketahanan pangan. Tetapi sangat disayangkan, kemauan baik dari pemerintah belum ada. Mereka tidak diberdayakan untuk kepentingan kemandirian pangan secara optimal. Tidak sedikit yang beralih profesi ke pekerjaan non pertanian. Ini sangat tragis. Seharusnya dilakukan kemitraaan antar kementerian, terutama  pertanian, BUMN, perdagangan, dan institusi penghasil sarjana pertanian untuk membangun kemandirian pangan.
Pengawasan dan pembinaan di bidang pertanian juga tidak dilakukan secara serius, sehingga upaya membangkitkan sektor pertanian pangan tersebut masih belum tercapai. Fakta di lapangan menunjukkan kenyataan lain. Revitalisasi yang dilakukan dengan tujuan akhir menyejahterakan petani justru malah makin meminggirkan petani. Di manakah fungsi Irjen pertanian?
Konstitusi kita jelas mengamanatkan pencapaian kedaulatan pangan. Untuk mencapai ini tak ada pilihan lain selain bersungguh-sungguh membangun pertanian pangan dan petani. Situasi sekarang menunjukkan pemerintah mengabaikan amanat itu. Target swasembada tahun 2014, hampir dipastikan tidak akan tercapai walaupun terjadi peningkatan produksi, namun hal tersebut belum cukup untuk mengeluarkan Indonesia dari jeratan impor. Laju impor yang besar menempatkan negara dalam ‘kuasa’ pihak lain dan mengindikasikan kegagalan menjaga kedaulatan.
 
           Pembangunan pertanian yang dilakukan setengah hati menimbulkan implikasi munculnya ancaman kirisis pangan.  Jika pembangunan pertanian gagal, impor akan kembali meningkat. Hal ini diperlukan  sinergi/penyelarasan antara kebijakan pusat dan daerah serta pemberdayaan Irjen dan institusi penghasil sarjana pertanian. Tanpa usaha itu diyakini persoalan-persoalan di pertanian sulit diatasi. Sehubungan dengan itu, paket kebijakan yang bisa menyelamatkan petani dan keluar dari ancaman krisis pangan mendesak dilakukan. Pemberian stimulus harga dasar dan proteksi kegagalan panen kepada petani segera dilakukan. Selain itu segera merealisasikan janji reformasi agraria sebagai kunci jaminan produksi. Apabila hal itu tidak dilakukan, liberalisasi semakin kuat, tidak ada perubahan orientasi kebijakan pangan maka diprediksi, Indonesia akan mengalami krisis pangan parah di pertengahan periode pemerintahan mendatang.

Umi Salamah, Ka. Prodi PBSI IKIP Budi Utomo Mlang dan Dosen Universitas Brawijaya Malang

No comments:

Post a Comment