WTO DAN APEC HANYA MEMBERIKAN HARAPAN KOSONG: Pemerintah harus
Memiliki Sikap Kemandirian
Umi Salamah
Kembalilah
kepada sumber amanat penderitaan rakyat, maka Saudara akan menemukan relnya
revolusi (Soekarno)
WTO
dan APEC bertentangan dengan sumber amanat penderitaan rakyat
WTO yang didirikan pada 1 Januari 1995, niat awalnya untuk membuat kesepakatan
perdagangan antara negara maju dan negara berkembang secara adil, setara, dan
berimbang. Namun faktanya, kesepakatan tersebut merupakan pemaksaan kehendak
oleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang dan negara-negara miskin
untuk tunduk kepada keputusan-keputusan yang dibuat oleh negara-negara maju.
Dengan begitu, WTO sebenarnya merupakan bentuk penjajahan baru yang oleh
Soekarno disebut sebagai nekolim. Inilah
yang penulis sebut sebagai harapan kosong yang diberikan oleh WTO, sebab
kenyataannya WTO tidak pernah
memberikan kesejahteraan bagi negara berkembang dan negara miskin.
Diratifikasinya
Undang-undang
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 1995, berdampak pada semakin liberalnya
perdagangan Indonesia. Ditambah lagi, pemerintah juga membuka keran
liberalisasi melalui keterlibatan di Forum Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Padahal klausul perdagangan di forum WTO dan APEC jelas-jelas mengikis kemandirian bangsa. Ini jelas bertentangan dengan sumber amanat
penderitaan rakyat dan rel jalannya revolusi kemerdekaan Indonesia. Contohnya adalah pelarangan subsidi bagi petani maupun petambak dan meningkatnya impor pangan yang tidak
terkendali makin menyengsarakan petani, nelayan, dan peternak Indonesia. Terlebih mentalitas
korupsi yang tumbuh subur di negara ini membuat impor pangan hanya
menguntungkan segelintir pedagang dan spekulan saja. Mereka dapat melakukan
impor pada saat petani sedang panen, sehingga harga hasil petani anjlog. Hal
ini diperparah dengan tidak adanya
pembinaan pengelolaan hasil panen oleh pemerintah yang membuat para petani
semakin frustasi dengan harga panen yang tidak sesuai dengan harapan. Lagi-lagi
rakyat dibuat makin menderita dan makin sengsara. Pemerintah dan spekulan
importir terlena dengan keuntungan sesaat tetapi lupa pada sumber amanat
penderitaan rakyat.
"Di
bawah rezim WTO, hampir 10 tahun ini, negara ini tidak boleh lagi memberi
subsidi kepada rakyatnya. Tidak hanya itu, perjanjian internasional lewat APEC atau bilateral
dengan Uni Eropa juga membuat Indonesia memperluas kebun sawit. Saat ini 70
persen produksi sawit dalam negeri diekspor. Alhasil lahan pertanian lain terkisis. Tidak heran kalau pemerintah harus
impor beras, bawang putih, hingga cabe. Ironisnya kita hanya boleh mengimpor bahan baku, lalu apa untungnya? Berdasarkan data Kementerian Pertanian, nilai impor pangan sejak
2004 sampai 2012 selalu meningkat. Pada 2004 nilai impor pertanian baru sekitar
USD 5 miliar. Pada 2005 meningkat USD 5,2 miliar, lantas 2007 menjadi USD 8,6
miliar, lalu melonjak menjadi USD 20,6 miliar pada 2011. "Kalau
kita bandingkan, telah terjadi pelonjakan 400 persen nilai impor pangan kita,
ini prestasi terburuk nilai impor kita. Apa
sebenarnya yang terjadi dengan kebijakan pemerintah negara kita saat ini? Mengapa Indonesia masih saja berpihak pada kebijakan WTO dan APEC
yang sudah jelas-jelas merugikan masyarakat Indonesia dan mengikis habis kemandirian pangan Indonesia. Bahkan, pemerintah justru menawarkan diri menjadi
tuan rumah forum APEC dan WTO,
sementara negara-negara berkembang lainnya menolak.
Kembali kepada Rel Revolusi, Sumber Amanat
Penderitaan Rakyat
Soekarno pernah mengatakan “Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan
sejarah”. Bangsa kita merupakan bangsa yang berbasis pertanian. Ribuan tahun
yang lalu Indonesia sudah memiliki kemandirian di bidang pangan. Apabila kita
menengok sejarah masa lalu yang digambarkan dalam candi Borobudur, kita dapat
melihat betapa gemah-ripah-nya hasil
pertanian dan produk budaya yang dimiliki oleh bangsa kita. Jika kita mau
mengelolanya, negara kita akan memiliki ketahananan pangan yang lebih dari
cukup dan mendapatkan devisa yang luar biasa banyaknya. Belum lagi ditambah
kekayaan sumber daya alam seperti minyak, gas, emas, mutiara, batubara, hutan,
dan hasil laut lainnya. Di sinilah diperlukan konsep pengelolaan secara mandiri
dan profesional. Apalah artinya para sarjana bekerja keras melakukan riset di
berbagai bidang dengan biaya yang sangat tinggi jika hasil risetnya tidak
dimanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Untuk
itu dibutuhkan pemimpin yang pandai mengelola dan memberdayakan potensi yang
dimiliki oleh bangsa dan negara menuju kemandirian di bidang ketahanan pangan
dan ekonomi.
Saat ini bangsa Indonesia sudah memiliki jutaan sarjana pertanian. Riset
yang dilakukan di bidang pertanian juga sangat banyak, baik yang berkaitan
dengan varietas unggul, teknologi pertanian, industri pertanian, dan pemasaran
hasil pertanian. Pemerintah seharusnya memiliki sensibilitas terhadap
kemandirian pangan Indonesia. Pengelolaan pertanian, peternakan, dan perikanan
secara maksimal akan menumbuhkan perekonomian dan kemandirian di bidang pangan
dalam negeri. Oleh karena itu, stop import pangan, dan tingkatkan proteksi
kepada para petani, peternak, dan
nelayan dengan pembinaan dan pengelolaan yang profesional seperti negara-negara
maju. Jika hal tersebut dilakukan dengan komitmen yang kuat, maka Indonesia
akan menjadi negara yang memiliki ketahanan pangan yang sangat bagus.
Kesejahteraan para petani, peternak, dan nelayan dapat ditingkatkan, kebutuhan
masyarakat terhadap pangan dapat terpenuhi, sehingga kemakmuran sebagaimana
yang dicita-citakan dalam sumber amanat penderitaan rakyat dapat diwujudkan. Jika
negara Thailand saja bisa, mengapa Indonesia tidak bisa.
Umi Salamah
Ka. Prodi PBSI IKIP Budi Utomo Malang dan Dosen
Universitas Brawijaya Malang
Memang saatnya negara ini tidak harus berpangku tangan Bun... :)
ReplyDelete