Monday, December 16, 2013

WTO DAN APEC HANYA MEMBERIKAN HARAPAN KOSONG: Pemerintah harus Memiliki Sikap Kemandirian





WTO DAN APEC HANYA MEMBERIKAN HARAPAN KOSONG: Pemerintah harus Memiliki Sikap Kemandirian
Umi Salamah
 Kembalilah kepada sumber amanat penderitaan rakyat, maka Saudara akan menemukan relnya revolusi (Soekarno)

WTO dan APEC bertentangan dengan sumber amanat penderitaan rakyat
WTO yang didirikan pada 1 Januari 1995, niat awalnya untuk membuat kesepakatan perdagangan antara negara maju dan negara berkembang secara adil, setara, dan berimbang. Namun faktanya, kesepakatan tersebut merupakan pemaksaan kehendak oleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang dan negara-negara miskin untuk tunduk kepada keputusan-keputusan yang dibuat oleh negara-negara maju. Dengan begitu, WTO sebenarnya merupakan bentuk penjajahan baru yang oleh Soekarno disebut sebagai nekolim.  Inilah yang penulis sebut sebagai harapan kosong yang diberikan oleh WTO, sebab kenyataannya WTO tidak pernah memberikan kesejahteraan bagi negara berkembang dan negara miskin.

Diratifikasinya Undang-undang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 1995, berdampak pada semakin liberalnya perdagangan Indonesia. Ditambah lagi, pemerintah juga membuka keran liberalisasi melalui keterlibatan di Forum Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Padahal klausul perdagangan di forum WTO dan APEC jelas-jelas mengikis kemandirian bangsa. Ini jelas bertentangan dengan sumber amanat penderitaan rakyat dan rel jalannya revolusi kemerdekaan Indonesia. Contohnya adalah pelarangan subsidi bagi petani maupun petambak dan meningkatnya impor pangan yang tidak terkendali makin menyengsarakan petani, nelayan, dan peternak Indonesia. Terlebih mentalitas korupsi yang tumbuh subur di negara ini membuat impor pangan hanya menguntungkan segelintir pedagang dan spekulan saja. Mereka dapat melakukan impor pada saat petani sedang panen, sehingga harga hasil petani anjlog. Hal ini diperparah dengan tidak  adanya pembinaan pengelolaan hasil panen oleh pemerintah yang membuat para petani semakin frustasi dengan harga panen yang tidak sesuai dengan harapan. Lagi-lagi rakyat dibuat makin menderita dan makin sengsara. Pemerintah dan spekulan importir terlena dengan keuntungan sesaat tetapi lupa pada sumber amanat penderitaan rakyat.
"Di bawah rezim WTO, hampir 10 tahun ini, negara ini tidak boleh lagi memberi subsidi kepada rakyatnya. Tidak hanya itu, perjanjian internasional lewat APEC atau bilateral dengan Uni Eropa juga membuat Indonesia memperluas kebun sawit. Saat ini 70 persen produksi sawit dalam negeri diekspor. Alhasil lahan pertanian lain terkisis. Tidak heran kalau pemerintah harus impor beras, bawang putih, hingga cabe. Ironisnya kita hanya boleh mengimpor bahan baku, lalu apa untungnya? Berdasarkan data Kementerian Pertanian, nilai impor pangan sejak 2004 sampai 2012 selalu meningkat. Pada 2004 nilai impor pertanian baru sekitar USD 5 miliar. Pada 2005 meningkat USD 5,2 miliar, lantas 2007 menjadi USD 8,6 miliar, lalu melonjak menjadi USD 20,6 miliar pada 2011. "Kalau kita bandingkan, telah terjadi pelonjakan 400 persen nilai impor pangan kita, ini prestasi terburuk nilai impor kita. Apa sebenarnya yang terjadi dengan kebijakan pemerintah negara kita saat ini? Mengapa  Indonesia masih saja berpihak pada kebijakan WTO dan APEC yang sudah jelas-jelas merugikan masyarakat Indonesia dan mengikis habis kemandirian pangan Indonesia. Bahkan, pemerintah justru menawarkan diri menjadi tuan rumah forum APEC dan WTO, sementara negara-negara berkembang lainnya menolak.

Kembali kepada Rel Revolusi, Sumber Amanat Penderitaan Rakyat
Soekarno pernah mengatakan “Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Bangsa kita merupakan bangsa yang berbasis pertanian. Ribuan tahun yang lalu Indonesia sudah memiliki kemandirian di bidang pangan. Apabila kita menengok sejarah masa lalu yang digambarkan dalam candi Borobudur, kita dapat melihat betapa gemah-ripah-nya hasil pertanian dan produk budaya yang dimiliki oleh bangsa kita. Jika kita mau mengelolanya, negara kita akan memiliki ketahananan pangan yang lebih dari cukup dan mendapatkan devisa yang luar biasa banyaknya. Belum lagi ditambah kekayaan sumber daya alam seperti minyak, gas, emas, mutiara, batubara, hutan, dan hasil laut lainnya. Di sinilah diperlukan konsep pengelolaan secara mandiri dan profesional. Apalah artinya para sarjana bekerja keras melakukan riset di berbagai bidang dengan biaya yang sangat tinggi jika hasil risetnya tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Untuk itu dibutuhkan pemimpin yang pandai mengelola dan memberdayakan potensi yang dimiliki oleh bangsa dan negara menuju kemandirian di bidang ketahanan pangan dan ekonomi.
Saat ini bangsa Indonesia sudah memiliki jutaan sarjana pertanian. Riset yang dilakukan di bidang pertanian juga sangat banyak, baik yang berkaitan dengan varietas unggul, teknologi pertanian, industri pertanian, dan pemasaran hasil pertanian. Pemerintah seharusnya memiliki sensibilitas terhadap kemandirian pangan Indonesia. Pengelolaan pertanian, peternakan, dan perikanan secara maksimal akan menumbuhkan perekonomian dan kemandirian di bidang pangan dalam negeri. Oleh karena itu, stop import pangan, dan tingkatkan proteksi kepada  para petani, peternak, dan nelayan dengan pembinaan dan pengelolaan yang profesional seperti negara-negara maju. Jika hal tersebut dilakukan dengan komitmen yang kuat, maka Indonesia akan menjadi negara yang memiliki ketahanan pangan yang sangat bagus. Kesejahteraan para petani, peternak, dan nelayan dapat ditingkatkan, kebutuhan masyarakat terhadap pangan dapat terpenuhi, sehingga kemakmuran sebagaimana yang dicita-citakan dalam sumber amanat penderitaan rakyat dapat diwujudkan. Jika negara Thailand saja bisa, mengapa Indonesia tidak bisa.
Umi Salamah
Ka. Prodi PBSI IKIP Budi Utomo Malang dan Dosen Universitas Brawijaya Malang

1 comment:

  1. Memang saatnya negara ini tidak harus berpangku tangan Bun... :)

    ReplyDelete