Menciptakan “Common enemy” untuk melawan
Penjajahan Koruptor:
Diperlukan Tauladan Pemimpin yang Berintegritas,
Berani, Tegas (3)
Oleh
Umi Salamah
Jikalau ada kalanya Saudara-saudara merasa bingung
Jikalau ada kalanya Saudara-saudara hampir
berputus asa
Jikalau ada kalanya jalannya revolusi kita yang
kadang-kadang bak lautan badai pasir yang mengamuk, kembalilah kepada sumber
amanat penderitaan rakyat. Maka Saudara akan menemukan relnya revolusi
(Soekarno: Gesturi)
Uji Para Pakar
terhadap Pembuatan Pranata Hukum Merupakan
Keniscayaan
Bahaya laten korupsi jauh lebih berbahaya dari pada bahaya laten komunis,
karena korupsi dapat membahayakan keberlangsungan negara dan menyengsarangan
kehidupan bangsa. Hukuman mati, pemiskinan, atau sekurang-kurangnya hukuman 40
tahun penjara bagi para koruptor telah diusulkan oleh para pakar hukum dan
masyarakat luas untuk membuat efek jera bagi koruptor, namun undang-undangnya
belum ada.
Pembuatan undang-undang dan pranata hukum yang dibuat oleh para anggota
dewan perwakilan rakyat selama ini cenderung memberikan peluang kepada anggota
dewan dan pejabat negara untuk melakukan korupsi. Itulah sebabnya mereka dengan
mudah melakukan korupsi sebanyak-banyaknya karena tidak takut pada sanksi yang
mereka buat sendiri. Tertangkapnya Akil
Mochtar, sebagai Ketua MK merupakan potret buruknya lembaga hukum di Indonesia.
Jabatan MK yang dianggap sebagai jabatan sakral
yang merupakan symbol keadilan
serta supremasi hukum di Republik Indonesia,
ternyata dinodai oleh pimpinan tertinggi lembaga peradilan. Jaminan
hidup seorang Ketua MK yang
sudah sangat istimewa ternyata
belum dapat dijadikan jaminan bersih dari
budaya korupsi.
Untuk
memberantas korupsi di Indonesia, tidak
hanya jaminan hidup yang baik bagi semua
pemangku keputusan, tetapi juga hukuman
yang menimbulkan efek jera, dan
kepemimpinan yang kuat, berani, serta
tegas. Apabila
Indonesia ingin bebas dari korupsi, maka semua partai harus memiliki keberanian
membuat kontrak politik kepada rakyat Indonesia bahwa jika menang, maka harus merevisi UU
Tipikor menjadi UU Tipikor yang dapat memberikan efek jera bagi
pelaku korupsi.
Sehubungan
dengan makin maraknya fenomena korupsi di lembaga negara baik dari kalangan
eksekutif maupun legislatif, maka keterlibatan pakar hukum dalam proses pembuatan
pranata hukum merupakan keniscayaan. Dalam hal ini peran pakar hukum akan
cenderung lebih mengabdi kepada kebenaran terhadap hukum dan negara dengan
berpedoman pada rel revolusi yang diamanatkan oleh bangsa Indonesia dalam
bentuk UUD 1945. Dengan demikian, pranata hukum yang dibuat, semata-mata untuk
menyelamatkan negara, bukan untuk sekelompok orang yang memiliki kepentingan
pribadi dan atau pemangku jabatan.
Berani
bertindak tegas
Untuk menunjukkan rasa prihatin yang sangat dalam terhadap ketidakberanian
lembaga hukum dalam mengadili pejabat yang bersalah, mantan Presiden Gus Dur
sebelum wafat pernah menyindir “Bangsa kita adalah bangsa yang paling penakut,
karena mengadili orang bersalah saja tidak berani”. Apalah artinya dibuat
pranata hukum yang memberikan efek jera bagi koruptor jika tidak berani
menindak tegas para pelaku korupsi. Apabila pranata hukum yang memberikan efek
jera bagi koruptor telah dibuat, sikap yang menjadi keniscayaan berikutnya
adalah berani bersikap tegas.
Fenomena hakim Artidjo Alkostar yang selalu memberikan hukuman lebih berat kepada para koruptor merupakan angin segar bagi penegakan hukum terutama efek jera para koruptor. Namun jika hal itu tidak dikuatkan oleh pranata hukum yang kuat, bisa jadi hanya merupakan gertak sambal yang pada akhirnya kembali memberikan kenyamanan bagi koruptor. Oleh karena itu, pembuatan pranata hukum yang memberikan efek jera dan sikap tegas menindak koruptor merupakan dua hal yang niscaya dilakukan jika negara ini ingin lepas dari penjajahan koruptor.
Diperlukan Tauladan
Pemimpin yang Memiliki Integritas, Berani, dan Tegas
Apatisme dan sikap masa bodoh
terhadap politikus dan pejabat negara telah menjangkiti sebagian besar rakyat
Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari makin meningkatnya jumlah golput pada
setiap dilaksanakan pesta demokrasi, baik untuk pemilihan legislatif maupun
eksekutif. Mengapa demikian? Telah
terjadi krisis tauladan dari para legislatif dan eksekutif di negara kita. Mereka
kurang memiliki integritas, cenderung oportunis, dan tidak membela rakyat, maka
tidak mengherankan jika undang-undang yang dibuat juga tidak bertujuan untuk
kesejahteraan rakyat dan kewibawaan negara. Hal inilah yang membuat sebagian
besar rakyat merasa jengah dengan janji-janji politisi yang tidak pernah
ditepati. Fakta yang menunjukkan makin maraknya kasus korupsi di DPR dan
birokrasi makin meningkatkan ketidakpercayaan rakyat pada politisi. Padahal Soekarno, Hatta, Agusalim, dan Sjahrir juga politisi tetapi
mereka dapat dijadikan tauladan karena mereka
memiliki integritas, berani, dan tegas. Kapankah sosok-sosok baru
seperti Soekarno, Hatta, Agusalim, dan Sjahrir hadir dalam kehidupan politik di
negeri ini. Pemimimpin yang memiliki integritas, berani, dan tegas.
Umi Salamah
Ka. Prodi PBSI IKIP Budi
Utomo Malang dan Dosen Universitas Brawijaya Malang
Hem... Penanganan yg bertele-tele hanya membawa kpada kegelisahan masyarakat... Benarlah judul neh... :) "Diperlukan Tauladan Pemimpin yang Berintegritas, Berani, Tegas"
ReplyDelete