Membangun Kemandirian di Bidang Pertanian dan Industri
untuk Kemakmuaran dan Kesejahteraan Rakyat Indonesia (1)
Umi Salamah
Wahai bangsa Indonesia, bangkitlah, majulah terus
Tinggalkan sama sekali alam dan konstruksi-konstruksi
liberalisme
Masuklah ke jalan revolusi lagi dan pakailah UUD 1945
sebagai alat perjuangan (Soekarno)
Artikel ini
merupakan rentetan artikel sebelumnya yang gencar mengupas masalah korupsi
sebagai musuh bersama (Common enemy) negara dalam tiga
episode berturut-turut. Tema kali ini akan mengangkat masalah kemandirian di
bidang pertanian dan industri sebagai solusi menuju kemandirian dan ketahanan
di bidang pangan dan industri. Pemerintah harus memiliki sikap tegas dan
sepenuh hati untuk melindungi rakyat sesuai dengan rel revolusi dan amanat UUD
1945.
Kembalikan Pengelolalan Pertanian sesuai
dengan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3
Menjadi tuan di negera sendiri, menjadi rakyat yang bangga pada negara,
terdengar sangat indah tetapi pedih terasa di hati. Mengapa demikian? Faktanya sebagian besar bangsa kita masih menjadi penonton dan menjadi budak di
negerinya sendiri. Ironisnya,
di negara yang ‘gemah ripah loh jinawi’
(subur makmur) ini, sebagian rakyat menjadi buruh di negara lain. Lebih tragis
lagi, ketika kita disuguhi tayangan bagaimana TKI menjadi buron di zona merah
negara tetangga. Mereka mengais kehidupan dengan cara menjual tubuhnya. Apa
yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi rakyatnya?
Menyimak amanat
konstitusi sebagai landasan kebijakan politik agraria di Indonesia yakni UUD
1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menegaskan, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tetapi apa yang terjadi sekarang? Saat ini sebagian besar tanah, air, dan kekayaan
alam masih dikuasai oleh cukong asing. Pemilik perkebunan terbesar, pemilik
pertambangan terbesar, dan pemilik perusahaan air terbesar adalah cukong asing.
Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh dari penguasaan tanah, air, dan kekayaan
alam tersebut bukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tetapi hanya
untuk segelintir cukong, oknum pejabat, dan kroninya. Lagi-lagi ini disebabkan
oleh kurangnya kesadaran rasa nasinalisme para pejabat di negara ini. Ini sungguh
bertentangan dengan cita-cita revolusi dan amanat dalam UUD 1945. Sampai
kapankah kita akan tetap menjadi penonton dan budak di negara sendiri atau kita
bersama-sama mendukung adanya perubahan peraturan agraria yang sesuai dengan
ruh UUD 1945 pasal 33 ayat 3.
Perlunya menegakkan kembali UUPA No. 5
Tahun 1960
Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, disusun dalam rangka melaksanakan amanat konstitusi
UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Ini merupakan dasar kebijakan yang mengatur tentang kebijakan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam terutama
tanah di antaranya: (1) pasal 7, tentang
kepemilikan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan; (2) pasal 10, kepemilikan
tanah pertanian wajib dikerjakan secara aktif, (3) pasal 17 mengatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang
boleh dipunyai oleh satu keluarga atau badan hukum.
Melihat
kondisi di negara kita saat ini, sebagian pasal telah
disalahgunakan oleh oknum untuk memperoleh keuntungan pribadi dan kroninya
tanpa menghiraukan penderitaan rakyat. Lebih tragis lagi jika tanah, air, dan kekayaan
alam itu dijual kepada cukong asing. Kesalahan ini tentu saja bukan semata-mata merupakan
kesalahan pemerintah tetapi kesalahan beberapa oknum
yang menduduki kursi pemerintahan.
Mereka itulah yang patut diadili.
Ada
beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk perubahan menuju kemandirian
dan ketahanan pangan, di antaranya (1) melakukan
judicial review terhadap undang-undang terutama tentang penanaman
modal asing, (2) peraturan yang tidak sesuai dengan UUPA Nomor
5 Tahun 1960 dan UUD 1945 khususnya pasal
33 ayat 3 harus diganti, (3) jadikanlah payung tersebut sebagai pedoman dalam pembuatan
peraturan yang berkaitan dengan penguasaan tanah, air, udara dan kekayaan alam di Indonesia, dan (4) penguatan kelembagaan,
baik di tingkat pusat maupun daerah
harus mengutamakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, para wakil rakyat harus benar-benar membela hak rakyat bukan membela
pihak asing untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya, dan (6) hentikan semua aktivitas
penanaman modal asing yang merugikan
rakyat.
Jangan setengah hati mendidik dan memberikan pelatihan kepada rakyat
Mati enggan
hidup pun segan. Peribahasa ini melukiskan jeritan para petani ketika penjualan
hasil panen tidak sesuai dengan harapan. Bagaimana tidak. Pada saat masa panen
tiba, pemerintah mengizinkan para cukong melakukan impor, sehingga harga hasil
pertanian menjadi ‘anjlok’. Tentu saja kondisi seperti ini tidak memotivasi
petani untuk meneruskan usaha pertaniannya. Sebagian besar mereka menjual
tanahnya dan beralih profesi sebagai buruh atau merantau di negeri orang.
Akibatnya,
hasil pertanian di Indonesia makin merosot, sehingga tidak mencukupi kebutuhan
pangan dalam negeri. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah menggunakan cara
instan dengan memberikan izin impor pada para cukong. Dampak dari kebijakan
tersebut, harga pangan menjadi melambung, sehingga rakyat kecil kurang mampu
membeli bahan pangan, seperti beras, kedelai, bawang merah, bawang putih, dan
cabe apalagi daging sapi.
Apabila hal
ini tidak segera diantisipasi dengan peraturan agraria/pertanian yang
berorientasi pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka bangsa Indonesia
akan mengalami krisis pangan. Padahal sebenarnya Indonesia memiliki sumberdaya
alam dan sumberdaya manusia yang sangat banyak di bidang pertanian.
Apalah
artinya panen melimpah, jika tidak ada kebijakan yang baik. Apalah artiya
memiliki jutaan sarjana pertanian dan hasil riset yang sangat banyak jika tidak
diberdayakan dan dikelola oleh negara dengan baik. Apabila mereka diberdayakan
dan dikelola dengan baik, Indonesia akan menjadi negara agraris terbesar di
dunia. Ini merupakan investasi jangka pendek, jangka menengah, sekaligus jangka
panjang yang mengedepankan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kita butuh pemimpin
yang benar-benar mampun mengelola
sumberdaya yang dimiliki negara.
Umi salamah
Kaprodi JPBSI IKIP Budi Utomo
dan Dosen Universitas Brawijaya Malang
No comments:
Post a Comment