Membangun Kemandirian di Bidang Pertanian:
Stop Impor Pangan dan Berantas Mafia Pertanian di Indonesia (2)
Umi Salamah
Indonesia adalah negara yang memiliki konsep-konsep
terbaik tentang
kemandirian kepada seluruh dunia. Kita harus maju terus,
berdiri di atas kekuatan sendiri (Soekarno)
Dalam konteks negara agraris, tanah menjadi alat produksi
terpenting. “Baik buruknya penghidupan rakyat bergantung pada situasi hak milik
tanah (Bung Hatta)
Topik
ini merupakan rentetan topik tulisan
sebelumnya yang gencar mengupas masalah korupsi sebagai musuh bersama (Common enemy).
Tema kali ini mengangkat masalah kemandirian di bidang pertanian sebagai solusi
menuju kemandirian dan ketahanan di
bidang
tersebut.
Negara
kita adalah negara yang sangat kaya dan sangat subur. Akan tetapi, apalah artinya bagi rakyat Indonesia, jika
tidak mampu mengelolanya. Apalah artinya didirikan universitas dan dibukanya
fakultas pertanian dengan program-program yang sangat bagus jika tidak
didayagunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kutipan lagu nasional tentang “Hutan, gunung, sawah, lautan,
simpanan kekayaan” kini benar-benar
membuat Ibu Pertiwi menangis. Bagaimana tidak, Indonesia yang dikenal sebagai
negara agraris tetapi justru menjadi
pembunuh elemen pertanian kerakyatan dan menggantikan impor pertanian sebagai
surga bagi segelintir mafia saja. Lagi-lagi mafia telah menguasai hampir
seluruh sendi kehidupan di Indonesia.
Stop Impor Pangan dan Berantas Mafia Pertanian di Indonesia
Tidak hanya korupsi yang menjadi musuh bersama bangsa
Indonesia. Akan tetapi mafia juga tidak kalah berbahaya bagi bangsa dan negara
Indonesia. Mereka seperti lintah darat yang menghisap darah rakyat Indonesia. Salah
satu mafia yang menggerogoti keberlangsungan hidup rakyat Indonesia adalah
mafia pertanian.
Mafia pertanian
kini bukan hanya bermain di lapangan, tetapi sudah merasuki ke semua level dan
struktur negara, baik legislatif,
eksekutif maupun yudikatif, baik
di level pusat, provinsi,
maupun kabupaten/kota. Mafia pertanian sudah menggurita,
sudah menyatu dengan semua kelembagaan. Bahkan sudah memainkan anggaran, baik
APBN maupun APBD, termasuk dana-dana pinjaman dari luar.
Apabila
kita cermati pengajuan anggaran sektor pertanian dari seluruh Indonesia, lebih
dari separuhnya berlabel pertanian. Tetapi, praktiknya, lebih dari separuh
anggaran pertanian digunakan untuk kepentingan nonpertanian. Dalam konteks ini,
jelas sekali keterlibatan para mafia. Bagaiamana tidak, anggaran yang sudah jelas-jelas
dialokasikan untuk pertanian, dengan mudahnya dimanipulasi (dengan dalih direvisi)
untuk digunakan pada bidang yang tidak terkait dengan pertanian.
Keterlibatan
mafia pertanian dapat dilihat dalam berbagai sektor pertanian,
mulai dari subsidi, kredit usahatani, lahan, benih,
pupuk, pestisida, air irigasi dan fasilitas pendukung sampai buka-tutup keran impor-ekspor dan
distribusi pemainnya. Hampir semua keputusan berada dalam kendali
para mafia. Misalnya, impor
beras, gula, daging, garam muncul bukan atas kebutuhan nyata, terjadi atas desakan mafia.
Ekspor kayu, sawit, kakao,
karet, ikan tuna, rumput laut, dan lainnya juga dikuasai para mafia. Memang tragis, mulai dari anggaran, transaksi
berjalan, sampai rantai pasokan input-output sudah dikuasai para mafia.
Sebagaian
besar masyarakat mengakui bahwa ruang pemerintahan,
baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota sudah menjadi sarang mafia
pertanian. Modusnya bervariasi, mulai dari manifulasi data-data, pengaturan
alokasi anggaran, “legalisasi” peraturan dan perundangan, kuota dan buka-tutup
impor, rekayasa investasi, sampai desain eksploitasi hutan dan lautan. Mafia tidak pernah memikirkan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Mereka hanya berpikir mengambil keuntungan milyaran untuk kepentingan dirinya dan
kelompoknya.
Di
manakah moralitas, kinerja, dan tanggung jawab Menteri Pertanian, Irjen
Pertanian, dan Dirjen Pertanian. Masihkah mereka tertelap dininabobokan oleh
para mafia. Megapa mereka tidak mengetahui persoalan yang benar-benar terjadi
pada bangsa dan negara. Ironisnya, mereka tidak berpikir, mengapa negara yang
subur tidak menjadikan rakyat makmur, mengapa negara yang sangat kaya tidak
membuat rakyat sejahtera, mengapa lebih suka memanggil investor asing, sementara
rakyat kecil menjadi budak di negara lain. Di manakah martabat bangsa dan negara ini
dipertaruhkan?
Menelisik
puisi WS. Rendra yang berteriak “Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing,
diktat-diktat hanya boleh memberi metode, kita sendiri mesti merumuskan
keadaan... Kita mesti terjun ke jalan-jalan raya, ke luar ke desa-desa.... menghayati
semua gejala dan menghayati persoalan yang nyata”. Syair ini bukan hanya
imajinasi, tetapi benar-benar diangkat dari persoalan bangsa Indonesia. Kalau
saja pejabat negara tidak hanya duduk di istana, di singgasana atau di
kantornya dengan hanya memperhatikan laporan manipulasi mafia, maka persoalan
bangsa ini akan dapat diselesaikan.
Mestinya,
Menteri pertanian membuat kebijakan yang mampu menumbuhkembangkan pertanian dengan produk-produk yang dapat
dihandalkan dan memenuhi kebutuhan pangan bangsa sesuai dengan politik agraris
yang telah digariskan oleh pendiri bangsa. Para dirjen mestinya benar-benar merencanakan
dan melaksanakan kebijakan menteri, dan para irjen benar-benar mengawasi pelaksanaan
pembangunan dan pengelolaan pertanian dari hulu sampai hilir atau dari pusat
sampai ke desa-desa. Apakah kebijakan pertanian sudah benar-benar dilaksanakan
atau tidak. Mengingat betapa bahayanya sepak terjang mafia, kiranya perlu
ditelisik juga keberadaan mafia oleh KPK dan masyarakat sebagai musuh bersama
bagi bangsa dan negara.
Kalau
saja, politik agraris UUPA Tahun 1960 ditegakkan, para
sarjana pertanian didayagunakan secara optimal, hasil penelitian pertanian dimanfaatkan,
para petani dididik untuk mengelola lahan pertanian dan diajari tatakelola yang
baik, Indonesia akan menjadi negara yang besar di dunia. Bercermin pada negara
tetangga, seperti Vietnam dan Thailand yang dulu belajar ke Indonesia, kini
jauh lebih maju pertaniannya daripada Indonesia. Kalau mereka bisa, mengapa
kita tidak. Topik selanjutnya berkaitan dengan bagaimana “Memaksimalkan koordinasi
dan sinergi yang sistematis antarinstitusi
untuk pengelolaan pertanian.
Umi Salamah adalah Ka. Prodi PBSI IKIP Budi Utomo Malang
dan Dosen Universitas Brawijaya Malang
No comments:
Post a Comment