Saturday, September 20, 2014

RUU PILKADA, perlukan disyahkan?




PILKADA LANGSUNG ATAU MELALUI DPRD, MANA YANG PRO RAKYAT?: MENGKRITISI KONTROVERSI RUU PILKADA 2014
Oleh Umi Salamah
Akademisi dan Pengamat Sosial Politik

Saat ini Indonesia mendapat pujian yang membanggakan sebagai negara demokrasi yang makin matang paska Pemilihan Presiden bulan Juli lalu. Pemilu Presiden berjalan damai dan transisi kekuasaan berlangsung lancar. Satu hal lagi yang penting mendapat apresiasi yaitu di masa yang akan datang  rakyat tetap mendapat hak (privilege) untuk memilih langsung pemimpinnya. Namun, beberapa hari ini kita terusik dengan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dimana hak rakyat untuk memilih langsung kepala daerahnya diambil alih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini tertuang dalam RUU Pilkada BAB 2 (Pemilihan Gubernur) mulai Pasal 2 dan BAB 3 (Pemilihan Walikota/Bupati) mulai Pasal 47.

Undang-undang yang Pro Rakyat Merupakan Keniscayaan
Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) sebenarnya sudah disiapkan sejak 2010 oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sesuai kesepakatan antara Komisi II DPR dengan Kemendagari, RUU Pilkada akan disyahkan akhir September 2014. Dengan demikian Pilkada pasca-Pemilu 2014 sudah menggunakan undang-undang baru. RUU Pilkada 2014 yang terdiri atas 7 bab dan 183 pasal itu memiliki dua ketentuan baru yang berbeda secara signfikan dari ketentuan UU No. 32/2004. Pertama, pilkada hanya memilih gubernur dan bupati/walikota, sementara wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS; kedua, gubernur tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD provinsi.

Sekurangnya ada tiga alasan yang dikemukakan oleh pemerintah dan DPR sebagai pengusung dan pendukung RUU ini menjadi UU Pilkada tahun 2014. Pertama, pemilihan langsung rawan politik uang; kedua, biaya Pilkada tinggi dan tidak efisien; dan ketiga  mengurangi potensi konflik sosial. Alasan itu yang digunakan untuk menguatkan argumentasi dukungan terhadap disyahkannya RUU Pilkada tersebut. Menelisik tradisi dan budaya di lingkungan DPR dan DPRD yang saat ini masih menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap kinerja DPR, RUU tersebut sangat rentan terhadap permainan, intimidasi, dan korupsi terselubung oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD menurut RUU ini justru membuat Pilkada  tidak transparan dan memungkinkan lobi-lobi di kalangan anggota Dewan dengan para calon kepala daerah yang belum tentu mencerminkan pilihan rakyat.  Di samping itu, ketiga alasan yang disampaikan oleh pengusung dan pendukung RUU Pilkada tersebut sangat tidak masuk akal apabila ketentuan UU No. 32/2004 ditegakkan secara konsisten. Mengapa demikian?
Pelaku politik uang sebenarnya adalah politisi dan parpol, sedangkan rakyat hanya sebagai korban. Pilkada melalui DPRD bukan jaminan mengakhiri praktik korupsi dan money politics, tetapi justru memindahkan money politics dari ranah publik ke ruang tertutup yang tidak bisa diawasi rakyat. Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun berpendapat: "Kalau persoalannya adalah money politics, saya bisa mengatakan kalau ancaman hukumannya keras, tegas, dan jelas misalnya diskualifikasi, maka orang tidak mau melakukan itu. Tetapi yang sekarang ini terjadi adalah orang berani melakukan money politics karena tidak ada ancaman yang tegas dan keras". Untuk itu yang mendesak dilakukan adalah  segera dibuat aturan yang mempertegas, menguatkan, dan memberi sanksi yang seberat-beratnya kepada pelaku money politics dalam Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak perlu mengubah sistem. Yang tidak kalah pentingnya adalah penegakkan peratuan yang telah dibuat dan kejelasan pelaksanan peraturan yang telah dibuat, pelaku money politics mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya seperti halnya hukuman bagi seorang koruptor, tidak sekedar diskualifikasi.
            Alasan biaya Pilkada tinggi dan tidak efisien bisa diatasi dengan adanya pelaksanaan  Pilkada serentak yang sudah direncanakan oleh KPU mulai tahun 2015. Adapun alasan mengurangi potensi konflik sosial, sebenarnya Pilkada dan Pemilu itu adalah konflik elit politik. Kalau elitnya mengatakan, “Mari kita jabat tangan, akui kemenangan lawan dan sama-sama terus membangun negeri”, niscaya masyarakatnya akan mengikuti pemimpinnya.
Pilkada melalui DPRD tidak Pro Rakyat dan mengembalikan demokrasi Indonesia kepada sistem yang dilakukan oleh Orde Baru dan menghilangkan fungsi check-and-balance. Pada masa Orde Baru, para wakil rakyat berpura-pura “menyuarakan suara rakyat” tetapi sibuk mengedepankan kepentingan pribadi dan golongannya saja. Fungsi check-and-balance antara DPRD sebagai pelaksana fungsi legislatif dan Kepala Daerah sebagai pelaksana fungsi eksekutif tidak akan berjalan karena DPRD akan cenderung memilih calon yang sejalan dengan kepentingan golongan yang terbesar (koalisi) di DPRD. Lebih parahnya lagi, rakyat tidak bisa berbuat sesuatu untuk mengawasi proses ini atau menghentikan keputusan yang tidak amanah.
Selain itu, Indonesia menganut sistem presidensial, yakni pimpinan eksekutifnya dipilih oleh rakyat. Seyogianya pimpinan eksekutif di daerah pun dipilih oleh rakyat untuk memastikan bahwa pemimpinnya mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kepentingan koalisi partai-partai politik yang memenangkan kepala daerah ini. Dalam hal ini, pakar hukum tata negara Ramlan Surbakti mengatakan “Jika kepala daerah dipilih langsung oleh DPRD, maka disebut inkonstitusional, karena Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945  mengharuskan gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis serta Pasal 1 tentang bentuk negara republik dan kesatuan. Pemilihan kepala daerah seharusnya mengikuti pemilihan langsung seperti pada pemilihan presiden dengan azas Luber Jurdil.
Sistem pemerintahan kita adalah presidensial, bukan parlementer, maka mekanisme pemilihannya juga harus konsisten, yaitu dipilih langsung oleh rakyat. Sementara itu, keberadaan kepala daerah dilandasi oleh azas otonomi daerah yang menjamin pemilihan langsung oleh rakyat, sehingga masyarakat diberi wewenang untuk memilih, mengisi jabatan dan mengontrol jalannya pemerintahan. Dengan demikian sosok-sosok berkualitas yang bekerja untuk rakyat seperti, Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng), Bima Arya (Bogor), Jokowi (Solo/DKI), Ahok (DKI), Ridwan Kamil (Bandung) sampai Ibu Risma (Surabaya) akan lebih banyak bermunculan di berbagai daerah yang benar-benar memberikan jaminan serta memastikan bahwa rakyat mendapatkan kesejahteraan di wilayahnya masing-masing. Pemimpin-pemimpin semacam ini hanya bisa dilahirkan melalui proses Pilkada  secara langsung (Luber Jurdil). Sebaliknya, jika Pemilukada dipilih oleh DPRD yang akan mucul adalah hanya politisi yang sudah lama menjadi kader partai koalisi gemuk yang berpeluang memenangkan deal politik untuk menjadi kepala daerah. Pemimpin semacam itu cenderung menjadi boneka dan ATM dari koalisi gemuk anggota DPRD.
Sehubungan dengan itu, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan KENISCAYAAN  karena merupakan hak dan kewajiban rakyat. Dengan demikian, yang lebih mendesak untuk  dilakukan adalah membuat aturan  dan sanksi yang tegas serta memberikan jaminan bahwa pelanggar ketentuan undang-undang dihukum yang seberat-beratnya, bukan DENGAN MENGUBAH SISTEM YANG SUDAH ADA. Tidak kalah pentingnya adalah membuat aturan yang baru yang dapat menjamin bahwa pemimpin yang dihasilkan melalui Pilkada langsung tersebut sanggup memberikan jaminan penuh terwujudnya kesejahteraan rakyat dalam melaksanakan program kerjanya selama masa jabatannya.

No comments:

Post a Comment