Menciptakan “Common enemy” untuk melawan Penjajahan Koruptor:
Mendesak Dibuat Pranata Hukum yang Memberikan Efek
Jera bagi Koruptor (2)
Oleh
Umi Salamah
Di negeri tetangga, koruptor dipotong lehernya
Di negriku koruptor dipotong masa
tahannya (Taufiq Ismail)
Musuh bangsa Indonesia saat ini adalah Koruptor
Wacana pemberian tunjangan pensiun kepada para anggota dewan dan pejabat
yang telah terbukti korupsi sungguh melukai hati rakyat. Sepenggal puisi Taufiq
Ismail merupakan jeritan yang amat pedih terhadap ketidakadilan dalam penanganan kasus
korupsi. Padahal korupsi terbukti sebagai sumber dan akar dari segala
permasalahan di Indonesia. ”Akibat dari kejahatan
(korupsi) dalam
situs acch.kpk.go.id disebutkan bahwa kejahatan korupsi telah merugikan keuangan negara yang memberikan dampak terbesar bagi
negara. Badan Pemeriksa Keuangan pernah melansir bahwa ditemukan sedikitnya
191.575 kasus penyimpangan keuangan negara dengan nilai kerugian negara sebesar
Rp 103,19 triliun. Temuan ini
menunjukkan bahwa korupsi berpotensi mengurangi
kesejahteraan rakyat. Hal itu belum
termasuk penjualan sumberdaya alam, impor ilegal dan setengah legal, pungutan
liar, dan lain-lain. Korupsi di sektor sumber daya alam,
bukan hanya sekadar penyuapan saja, tetapi lebih dari itu, sumber daya alam akan hilang. Ini lebih parah dari sekedar penyuapan ataupun
pungutan liar.
Dengan demikian, korupsi sejatinya merupakan tindak kejahatan yang paling
besar dan paling berbahaya bagi
kelangsungan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tindakan korupsi telah melanggar hak ekonomi, hak sosial, dan hak pendidikan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penanganan masalah
korupsi harus dilakukan secara serius agar dapat
memberikan efek jera bagi pelaku, dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, dan menjadi alat pendidikan yang efektif bagi generasi muda.
Namun faktanya, penangan kasus korupsi belum dilakukan secara maksimal. Aparat penegak hukum, baik penyidik, jaksa penuntut umum, maupun
hakim semestinya mengungkap semua kasus korupsi sampai tuntas. Kenyataan selama ini
menunjukkan, penanganan kasus korupsi
hanya dilakukan setengah hati, bahkan vonis terhadap
sejumlah terpidana kasus korupsi masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Sebagian besar
vonis kasus korupsi sampai saat ini
masih terlalu ringan. Ada kecenderungan semakin besar uang yang
dikorupsi, hukuman terhadap koruptornya semakin ringan. Hal ini berbanding
terbalik dengan prinsip tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman minimum
sampai maksimum.
Dalam
catatan Indonesia Corruption Watch
(ICW), ditemukan bahwa vonis yang dijatuhkan berdasarkan undang-undang anti
korupsi terhadap koruptor sangat ringan. Apabila
cara ini terus berlanjut, maka tidak hanya mencedarai rasa keadilan masyarakat,
tetapi kasus korupsi akan menjadi model pendidikan bagi generasi muda. Generasi
muda akan berpikir bahwa untuk mendapat kekayaan yang paling mudah adalah dengan cara korupsi. Mereka akan
menggunakan setiap kesempatan untuk melakukan korupsi sebanyak-banyaknya, karena
hanya dengan korupsi tanpa harus bekerja keras, meraka cepat menjadi kaya dan konsekuansi
hukum yang diterima ringan-ringan saja. Jika
hal ini dibiarkan saja, Bangsa dan negara Indonesia akan tinggal kenangan dan
nama saja. Bagaimanakah seharusnya melawan koruptor di Indonesia?
Menimbulkan
Efek Jera untuk Melawan Penjajahan Koruptor
Banyak pakar hukum dan ketatanegaraan setuju bahwa untuk menimbulkan efek
jera bagi para koruptor, maka hukuman yang paling tepat adalah hukuman mati dan
pemiskinan. Apabila hanya dihukum mati, harta peninggalannya masih bisa
dimanfaatkan sampai tujuh turunan. Oleh karena itu, hukuman mati saja belum
cukup adil dan belum menimbulkan efek jera. Jadi sebelum dihukum mati, koruptor
harus dimiskinkan terlebih dahulu.
Akan tetapi hukuman mati dan pemiskinan terhadap koruptor di Indonesia
belum diberlakukan. Di Indonesia hukuman mati hanya diberlakukan bagi empat
tindak kejahatan, yakni terorisme, narkoba, kejahatan terhadap negara dan
pembunuhan berencana. Sejatinya korupsi lebih berbahaya dari teroris, narkoba,
kejahatan terhadap negara, ataupun tindak pembunuhan berencana. Korban dari
korupsi lebih banyak, dan memiliki dampak yang lebih fatal, yaitu ancaman terhadap
keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika ditelisik lebih jauh, tidak akan ada teroris, tidak akan ada narkoba, dan
kejahatan terhadap negara kalau tidak ada korupsi. Sebab jika tidak ada
korupsi, rakyat akan sejahtera, pemerintah berwibawa, dan keamanan terjaga. Kalau
begitu hukuman apa yang pantas bagi koruptor?
Perlu segera dibuat pranata hukum yang memberikan efek jera bagi koruptor
Apalah artinya masyarakat berkoar-koar mendesak adanya hukuman mati dan pemiskinan terhadap
koruptor jika pranata hukumnya belum dibuat. Sangat ironis, bagaimana bisa
hukum diterapkan kalau undang-undang dan peraturannya belum ada. Apalah artinya
KPK bekerja keras melakukan penyelidikan dan penyidikan kalau akhirnya vonis
terhadap koruptor hanya ringan-ringan saja. Sehubungan dengan itu, yang perlu
dilakukan saat ini adalah mendesak kepada anggota dewan untuk melakukan revisi
undang-undang antikorupsi yang memberikan efek jera bagi para koruptor. Putusan hakim yang tidak membawa efek jera memiliki andil
menjerumuskan bangsa Indonesia dalam kehancuran berbangsa dan bernegara. Pemidanaan
terhadap penegak hukum yang melakukan tindak pidana korupsi, semestinya
maksimal dan lebih berat daripada terhadap pelaku biasa supaya ada fungsi prevensi.
Dengan dibuatnya pranata hukum yang memberikan efek jera bagi koruptor dan
sanksi yang lebih berat terhadap penegak hukum yang korupsi, akan memudahkan
untuk meluruskan pelaksana hukum, sehingga institusi hukum dapat memiliki
kewibawaan kembali.
Umi Salamah
Ka. Prodi PBSI
IKIP Budi Utomo Malang dan Dosen Universitas Brawijaya
No comments:
Post a Comment