Sunday, November 17, 2013

Artikel Teropong Edisi 18--24 November 2013




Menciptakan “Common enemy” untuk melawan  Penjajahan Koruptor:
Mendesak Dibuat Pranata Hukum yang Memberikan Efek Jera bagi Koruptor (2)
Oleh Umi Salamah
Di negeri tetangga, koruptor dipotong lehernya
Di negriku koruptor dipotong masa tahannya (Taufiq Ismail)
Musuh bangsa Indonesia saat ini adalah Koruptor
Wacana pemberian tunjangan pensiun kepada para anggota dewan dan pejabat yang telah terbukti korupsi sungguh melukai hati rakyat. Sepenggal puisi Taufiq Ismail merupakan jeritan yang amat pedih terhadap ketidakadilan dalam penanganan kasus korupsi. Padahal korupsi terbukti sebagai sumber dan akar dari segala permasalahan di Indonesia. ”Akibat dari kejahatan (korupsi) dalam situs acch.kpk.go.id disebutkan bahwa kejahatan korupsi telah merugikan keuangan negara yang memberikan dampak terbesar bagi negara. Badan Pemeriksa Keuangan pernah melansir bahwa ditemukan sedikitnya 191.575 kasus penyimpangan keuangan negara dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 103,19 triliun. Temuan ini menunjukkan bahwa korupsi berpotensi mengurangi kesejahteraan rakyat. Hal itu belum termasuk penjualan sumberdaya alam, impor ilegal dan setengah legal, pungutan liar, dan lain-lain. Korupsi di sektor sumber daya alam, bukan hanya sekadar penyuapan saja, tetapi lebih dari itu, sumber daya alam akan hilang. Ini lebih parah dari sekedar penyuapan ataupun pungutan liar. 

Dengan demikian, korupsi sejatinya merupakan tindak kejahatan yang paling besar dan paling berbahaya bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tindakan korupsi telah melanggar hak ekonomi, hak sosial, dan hak pendidikan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penanganan masalah korupsi harus dilakukan secara serius agar dapat memberikan efek jera bagi pelaku, dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, dan menjadi alat pendidikan yang efektif bagi generasi muda.
Namun faktanya, penangan kasus korupsi belum dilakukan secara maksimal. Aparat penegak hukum, baik penyidik, jaksa penuntut umum, maupun hakim semestinya mengungkap semua kasus korupsi sampai tuntas. Kenyataan selama ini menunjukkan, penanganan kasus korupsi hanya dilakukan setengah hati, bahkan vonis terhadap sejumlah terpidana kasus korupsi masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Sebagian besar vonis kasus korupsi sampai saat ini masih terlalu ringan. Ada kecenderungan semakin besar uang yang dikorupsi, hukuman terhadap koruptornya semakin ringan. Hal ini berbanding terbalik dengan prinsip tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman minimum sampai maksimum.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), ditemukan bahwa vonis yang dijatuhkan berdasarkan undang-undang anti korupsi terhadap koruptor sangat ringan. Apabila cara ini terus berlanjut, maka tidak hanya mencedarai rasa keadilan masyarakat, tetapi kasus korupsi akan menjadi model pendidikan bagi generasi muda. Generasi muda akan berpikir bahwa untuk mendapat kekayaan yang paling  mudah adalah dengan cara korupsi. Mereka akan menggunakan setiap kesempatan untuk melakukan korupsi sebanyak-banyaknya, karena hanya dengan korupsi tanpa harus bekerja keras, meraka cepat menjadi kaya dan konsekuansi hukum yang diterima ringan-ringan saja.  Jika hal ini dibiarkan saja, Bangsa dan negara Indonesia akan tinggal kenangan dan nama saja. Bagaimanakah seharusnya melawan koruptor di Indonesia?

Menimbulkan Efek Jera untuk Melawan Penjajahan Koruptor
Banyak pakar hukum dan ketatanegaraan setuju bahwa untuk menimbulkan efek jera bagi para koruptor, maka hukuman yang paling tepat adalah hukuman mati dan pemiskinan. Apabila hanya dihukum mati, harta peninggalannya masih bisa dimanfaatkan sampai tujuh turunan. Oleh karena itu, hukuman mati saja belum cukup adil dan belum menimbulkan efek jera. Jadi sebelum dihukum mati, koruptor harus dimiskinkan terlebih dahulu.
Akan tetapi hukuman mati dan pemiskinan terhadap koruptor di Indonesia belum diberlakukan. Di Indonesia hukuman mati hanya diberlakukan bagi empat tindak kejahatan, yakni terorisme, narkoba, kejahatan terhadap negara dan pembunuhan berencana. Sejatinya korupsi lebih berbahaya dari teroris, narkoba, kejahatan terhadap negara, ataupun tindak pembunuhan berencana. Korban dari korupsi lebih banyak, dan memiliki dampak yang lebih fatal, yaitu ancaman terhadap keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika ditelisik lebih jauh, tidak akan ada teroris, tidak akan ada narkoba, dan kejahatan terhadap negara kalau tidak ada korupsi. Sebab jika tidak ada korupsi, rakyat akan sejahtera, pemerintah berwibawa, dan keamanan terjaga. Kalau begitu hukuman apa yang pantas bagi koruptor?

Perlu segera dibuat pranata hukum yang memberikan efek jera bagi koruptor
Apalah artinya masyarakat berkoar-koar mendesak adanya hukuman mati dan pemiskinan terhadap koruptor jika pranata hukumnya belum dibuat. Sangat ironis, bagaimana bisa hukum diterapkan kalau undang-undang dan peraturannya belum ada. Apalah artinya KPK bekerja keras melakukan penyelidikan dan penyidikan kalau akhirnya vonis terhadap koruptor hanya ringan-ringan saja. Sehubungan dengan itu, yang perlu dilakukan saat ini adalah mendesak kepada anggota dewan untuk melakukan revisi undang-undang antikorupsi yang memberikan efek jera bagi para koruptor. Putusan hakim yang tidak membawa efek jera memiliki andil menjerumuskan bangsa Indonesia dalam kehancuran berbangsa dan bernegara. Pemidanaan terhadap penegak hukum yang melakukan tindak pidana korupsi, semestinya maksimal dan lebih berat daripada terhadap pelaku biasa supaya ada fungsi prevensi.
Dengan dibuatnya pranata hukum yang memberikan efek jera bagi koruptor dan sanksi yang lebih berat terhadap penegak hukum yang korupsi, akan memudahkan untuk meluruskan pelaksana hukum, sehingga institusi hukum dapat memiliki kewibawaan kembali.

Umi Salamah
Ka. Prodi PBSI IKIP Budi Utomo Malang dan Dosen Universitas Brawijaya

No comments:

Post a Comment