Sunday, December 1, 2013

ARTIKEL TEROPONG PERANG MELAWAN KORUPTOR (3) EDISI 1-8 Desember 2013








 









Menciptakan “Common enemy” untuk melawan  Penjajahan Koruptor:
Diperlukan Tauladan Pemimpin yang Berintegritas, Berani, Tegas (3)
Oleh Umi Salamah

Jikalau ada kalanya Saudara-saudara merasa bingung
Jikalau ada kalanya Saudara-saudara hampir berputus asa
Jikalau ada kalanya jalannya revolusi kita yang kadang-kadang bak lautan badai pasir yang mengamuk, kembalilah kepada sumber amanat penderitaan rakyat. Maka Saudara akan menemukan relnya revolusi (Soekarno: Gesturi)

Uji Para Pakar terhadap Pembuatan Pranata Hukum Merupakan Keniscayaan
Bahaya laten korupsi jauh lebih berbahaya dari pada bahaya laten komunis, karena korupsi dapat membahayakan keberlangsungan negara dan menyengsarangan kehidupan bangsa. Hukuman mati, pemiskinan, atau sekurang-kurangnya hukuman 40 tahun penjara bagi para koruptor telah diusulkan oleh para pakar hukum dan masyarakat luas untuk membuat efek jera bagi koruptor, namun undang-undangnya belum ada.      

Pembuatan undang-undang dan pranata hukum yang dibuat oleh para anggota dewan perwakilan rakyat selama ini cenderung memberikan peluang kepada anggota dewan dan pejabat negara untuk melakukan korupsi. Itulah sebabnya mereka dengan mudah melakukan korupsi sebanyak-banyaknya karena tidak takut pada sanksi yang mereka buat sendiri. Tertangkapnya Akil Mochtar, sebagai Ketua MK merupakan potret buruknya lembaga hukum di Indonesia. Jabatan MK yang dianggap sebagai jabatan sakral yang merupakan symbol keadilan serta supremasi hukum di Republik Indonesia, ternyata dinodai oleh pimpinan tertinggi lembaga peradilan. Jaminan hidup seorang Ketua MK yang sudah sangat istimewa ternyata belum dapat dijadikan jaminan bersih dari budaya korupsi.
Untuk memberantas korupsi di Indonesia, tidak hanya jaminan hidup yang baik bagi semua pemangku keputusan, tetapi juga hukuman yang menimbulkan efek jera, dan kepemimpinan yang kuat, berani, serta tegas. Apabila Indonesia ingin bebas dari korupsi, maka semua partai harus memiliki keberanian membuat kontrak politik kepada rakyat Indonesia bahwa jika menang, maka harus merevisi UU Tipikor menjadi UU Tipikor yang dapat memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.
            Sehubungan dengan makin maraknya fenomena korupsi di lembaga negara baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif, maka keterlibatan pakar hukum dalam proses pembuatan pranata hukum merupakan keniscayaan. Dalam hal ini peran pakar hukum akan cenderung lebih mengabdi kepada kebenaran terhadap hukum dan negara dengan berpedoman pada rel revolusi yang diamanatkan oleh bangsa Indonesia dalam bentuk UUD 1945. Dengan demikian, pranata hukum yang dibuat, semata-mata untuk menyelamatkan negara, bukan untuk sekelompok orang yang memiliki kepentingan pribadi dan atau pemangku jabatan.

Berani bertindak tegas
Untuk menunjukkan rasa prihatin yang sangat dalam terhadap ketidakberanian lembaga hukum dalam mengadili pejabat yang bersalah, mantan Presiden Gus Dur sebelum wafat pernah menyindir “Bangsa kita adalah bangsa yang paling penakut, karena mengadili orang bersalah saja tidak berani”. Apalah artinya dibuat pranata hukum yang memberikan efek jera bagi koruptor jika tidak berani menindak tegas para pelaku korupsi. Apabila pranata hukum yang memberikan efek jera bagi koruptor telah dibuat, sikap yang menjadi keniscayaan berikutnya adalah berani bersikap tegas.

            Fenomena hakim Artidjo Alkostar  yang selalu memberikan hukuman lebih berat kepada para koruptor merupakan angin segar bagi penegakan hukum terutama efek jera para koruptor. Namun jika hal itu tidak dikuatkan oleh pranata hukum yang kuat, bisa jadi hanya merupakan gertak sambal yang pada akhirnya kembali memberikan kenyamanan bagi koruptor.  Oleh karena itu, pembuatan pranata hukum yang memberikan efek jera dan sikap tegas menindak koruptor merupakan dua hal yang niscaya dilakukan jika negara ini ingin lepas dari penjajahan koruptor.



Diperlukan Tauladan Pemimpin yang Memiliki Integritas, Berani, dan Tegas
            Apatisme dan sikap masa bodoh terhadap politikus dan pejabat negara telah menjangkiti sebagian besar rakyat Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari makin meningkatnya jumlah golput pada setiap dilaksanakan pesta demokrasi, baik untuk pemilihan legislatif maupun eksekutif.  Mengapa demikian? Telah terjadi krisis tauladan dari para legislatif dan eksekutif di negara kita. Mereka kurang memiliki integritas, cenderung oportunis, dan tidak membela rakyat, maka tidak mengherankan jika undang-undang yang dibuat juga tidak bertujuan untuk kesejahteraan rakyat dan kewibawaan negara. Hal inilah yang membuat sebagian besar rakyat merasa jengah dengan janji-janji politisi yang tidak pernah ditepati. Fakta yang menunjukkan makin maraknya kasus korupsi di DPR dan birokrasi makin meningkatkan ketidakpercayaan rakyat pada politisi. Padahal Soekarno, Hatta, Agusalim, dan Sjahrir juga politisi tetapi mereka dapat dijadikan tauladan karena mereka  memiliki integritas, berani, dan tegas. Kapankah sosok-sosok baru seperti Soekarno, Hatta, Agusalim, dan Sjahrir hadir dalam kehidupan politik di negeri ini. Pemimimpin yang memiliki integritas, berani, dan tegas.
Umi Salamah
Ka. Prodi PBSI IKIP Budi Utomo Malang dan Dosen Universitas Brawijaya Malang



1 comment:

  1. Hem... Penanganan yg bertele-tele hanya membawa kpada kegelisahan masyarakat... Benarlah judul neh... :) "Diperlukan Tauladan Pemimpin yang Berintegritas, Berani, Tegas"

    ReplyDelete