KEMBALIKAN PENDIDIKAN KE AKAR BUDAYA IDEOLOGI PANCASILA: untuk
Peradaban Indonesia yang Santun, Tangguh, dan Unggul
Dalam Rangka Memperingati Hari Pendidikan Nasional
Oleh Umi Salamah
Akademisi dan Pengamat Sosial-Politik
“Bangsa yang tidak
percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri
sebagai suatu bangsa yang merdeka”
(Soekarno)
Kasus JIS dan maraknya kecurangan pemilu
legislatif tamparan wajah pendidikan kita, Bagaimana Pandangan Ki Hajar
Dewantara
Kasus pelecean seksual di Jakarta International School (JIS),
maraknya kecurangan pemilu legislatif baru-baru ini, menurunnya moralitas dan
kualitas pendidikan yang tidak lagi menjunjung nilai-nilai adiluhung bangsa
merupakan tamparan wajah pendidikan di Indonesia. Out put atau lulusan pendidikan yang cenderung menghasilkan
anak-anak bangsa yang membeo dan berkarakter pragmatis serta para pengambil kebijakan pendidikan yang belum mampu menjadikan pendidikan
dalam negeri sebagai tuan rumah di negeri sendiri merupakan lemahnya fondasi
sistem pendidikan kita. Lebih ironis lagi, kriteria akreditasi sekolah sampai
perguruan tinggi masih didasarkan pada kriteria luar yang dipaksakan untuk
mengukur kualitas pendidikan di dalam negeri ini. Akibatnya, bukan moralitas
baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dikejar tetapi demi pemenuhan
standar luar itu, mereka melakukan dengan berbagai kecurangan. Bagaimana nasib
bangsa dan negara ini jika pendidikan kita tidak segera dibenahi? Apa
sebenarnya pendidikan yang baik bagi bangsa Indonesia menurut Ki Hajar
Dewantara?
Bulan ini
tepatnya 2 Mei merupakan hari lahir tokoh pendidikan di Indonesia, Ki Hajar
Dewantara. Melihat sistem pendidikan sekarang ini, dengan makin menurunnya
moralitas dan meningkatnya kecenderungan siswa menjadi apatis, psimis, dan
pragmatis, patutlah kalau kita mulai melihat kembali apa arti dan tujuan
pendidikan sebagaimana telah dicetuskan oleh Beliau.
Menurut Ki
Hajar Dewantara pendidikan merupakan
usaha untuk memajukan seluruh bangsa tanpa membeda-bedakan agama,
etnis, suku, budaya, adat, status ekonomi,
ststus sosial,
dan harus didasarkan kepada
nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Berdasarkan
pengertian ini, seharusnya tidak ada lagi pengkelasan/elitisasi pendidikan
berdasarkan status sosial dan ekonomi seperti JIS dan sejenisnya. Semua rakyat mestinya
berhak memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang baik
tanpa deskriminasi.
Selanjutnya, beliau
menjelaskan bahwa mendidik merupakan proses memanusiakan manusia ke taraf yang
lebih berkualitas melalui komunikasi yang otentik dengan “asih, asah, dan asuh”
dengan proses “ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri
handayani”. Format pendidikan seperti ini jika diwujudkan dalam pendidikan akan
menghasilkan generasi yang santun dan unggul serta memiliki karakter kebangsaan
yang kuat dan daya saing global yang hebat. Untuk itu, Pengambil kebijakan
pendidikan mestinya lebih banyak merumuskan dan mengembangkan pendidikan yang berakar
pada kebudayaan sendiri daripada membeli rumus asing yang tidak relevan dengan
kepribadian dan kebutuhan bangsa.
Lebih lanjut, Ki
Hajar Dewantara merumuskan tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” dan
“memperbarui diri”. Di sinilah pendidikan berfungsi menjadikan peserta didik semakin
mampu menguasai dirinya, beradab, dan berkembang sesuai dengan potensinya. Dengan
demikian, akan tumbuh sikap yang mandiri dan bertanggung jawab, sehingga mampu menentukan sikap dan masa depannya
sesuai dengan nilai-nilai luhung bangsa Indonesia serta mampu beradaptasi dalam
peradaban dunia.
Kembalikan Pendidikan kita ke Akar Budaya yang bersumber pada Ideologi
Pancasila
Pendidikan
berbasis kebudayaan “nano-nano” dan berbau kapitalis selama ini sudah terbukti tidak mampu membentuk
karakter anak menjadi lebih baik. Akibatnya, perilaku anak jauh dari substansi kebudayaan bangsa Indonesia. Sikap sopan-santun/tata-krama
bergeser menjadi ‘urakan’ dan ‘sok jagoan’, mentalitas kerja keras bergeser
menjadi kemalasan dan untung-untungan, suka menolong dan gotong royong bergeser
menjadi egois dan suka berkelahi, sikap produktif bergeser menjadi hedonis dan konsumtif, sikap optimis bergeser menjadi psimis.
Fenomena
meningkatnya budaya korupsi, tawuran, pelecehan seksual, berbagai kecurangan, dan penyimpangan
moral lainnya diakibatkan karena kurang teguhnya fondasi sistem pendidikan
di Indonesia. Kurikulum di
Indonesia yang kebarat-baratan dan sangat
padat
materi, cenderung
lebih mementingkan siswanya menguasai materi dan memiliki
nilai yang bagus daripada memperhatikan
moral dan etikanya.
Untuk
mengembalikan kepada
sistem pendidikan yang berakar tangguh kita harus berani berpegang teguh pada
kebudayaan sendiri. Pendidikan harus kembali pada akar kebudayaan yang bersumber dari ideologi Pancasila. Pendidikan harus mampu menjawab problema-problema dan
tantangan masyarakat Indonesia, bukan pendidikan yang berorientasi pada teori
kapitalis. Pendidikan harus bertolak dari hasil riset masyarakat Indonesia
dalam berbagai bidang,
baik yang berkaitan dengan nilai-nilai yang terkadung dalam Pancasila,
kebutuhan bangsa dan negara, maupun kemajuan IPTEK.
Sudah
saatnya lembaga pendidikan di Indonesia mencanangkan sistem pendidikan yang kuat dan tangguh berakar pada kebudayaan sendiri yang
bersumber dari ideologi Pancasila. Sudah saatnya pula sistem pendidikan di Indonesia
menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dari mana pun institusinya ketika berada
di Indonesia mestinya harus tunduk pada sistem pendidikan kita. Stop
ketergantungan pada kebudayaan kapitalis asing dan kembali pada kebudayaan
bangsa, karena sila-sila dalam Pancasila jika dikaji dan diejawantahkan dalam
pendidikan akan menghasilkan anak bangsa yang berkarakter kuat dan mampu
menghadapi tantangan kemajuan IPTEK. Untuk itu diperlukan pemimpin yang mampu
melepaskan diri dari cengkerapan ideologi kapitalis bukan yang menjadi budak
kapitalis. Pemimpin yang tegas bukan berarti kejam dan keras terhadap bangsanya
sendiri dan luluh di kaki kapitalis asing tetapi pemimpin yag berani memperjuangkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dari penindasan kapitalis serta berpegang
teguh pada ideologi bangsa sendiri.
Penulis Dosen IKIP Budi Utomo dan Universitas Brawijaya Malang
No comments:
Post a Comment