KOSAKATA DAN MAKNA BAHASA INDONESIA
A.
TUJUAN UMUM PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari topik ini, diharapkan
Anda menguasai seluk-beluk kosakata bahasa Indonesia dan mampu menerapkannya ke
dalam keterampilan berbahasa Indonesia.
B.
TUJUAN KHUSUS PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari topik ini, diharapkan
Anda:
1) memahami pengertian kosakata bahasa Indonesia;
2) memahami jenis-jenis kosakata bahasa Indonesia
dan mampu menerapkannya ke dalam keterampilan berbahasa Indonesia;
3) memahami asas-asas pemilihan kata bahasa
Indonesia dan mampu menggunakannya dalam keterampilan berbahasa Indonesia;
4) memahami sifat-sifat penggunaan kata bahasa
Indonesia dan mampu menerapkannya ke dalam keterampilan berbahasa Indonesia;
5) memahami jenis-jenis makna kata bahasa
Indonesia dan mampu menerapkannya ke dalam keterampilan berbahasa Indonesia;
6) memahami tata hubungan makna kata bahasa
Indonesia dan mampu menerapkannya dalam keterampilan berbahasa Indonesia;
7) memahami perubahan makna kata bahasa Indonesia
dan mampu menerapkannya dalam keterampilan berbahasa Indonesia;
8) memahami perbedaan-perbedaan makna kata bahasa
Indonesia dan mampu menerapkannya dalam keterampilan berbahasa Indonesia;dan
9) memahami cara-cara memperkaya kosakata bahasa
Indonesia dan mampu mempraktikkannya dalam keterampilan berbahasa Indonesia.
C.
URAIAN MATERI
1)
Kosa Kata Bahasa Indonesia
1.
Pengertian Kosakata Bahasa Indonesia
Kosakata yang sering disebut
perbendaharaan kata dapat diartikan sebagai berikut:
1) semua kata yang terdapat dalam satu bahasa;
2) kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang
pembicara atau penulis;
3) kata yang dipakai dalam suatu bidang ilmu atau
pengetahuan;dan
4) daftar kata yang disusun seperti kamus
disertai penjelasan secara singkat dan praktis.
Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa kosakata bahasa Indonesia adalah
semua kata yang terdapat dalam bahasa Indonesia, daftar kata bahasa Indonesia
yang disusun dalam kamus-kamus, dan kekayaan kata bahasa Indonesia yang
dimiliki oleh penutur bahasa Indonesia.
Jumlah kosakata bahasa Indonesia secara
pasti memang susah diketahui. Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat 62.100
kata bahasa Indonesia. Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan
Poerwadarminto memuat 40.00 kata bahasa Indonesia. Penutur bahasa Indonesia
diharapkan menguasai sejumlah kata yang diperlukannya. Murid-murid sekolah
dasar atau MI diharapkan menguasai sekitar 6.000 kosakata bahasa Indonesia.
Murid-murid sekolah lanjutan pertama dan sekolah menengah atau MTs dan MA diharapkan
menguasai 15.000 kosakata bahasa Indonesia. Jumlah ini terdiri atas
bermacam-macam jenis kosakata yang dijelaskan berikut.
2.
Jenis-jenis Kosakata Bahasa Indonesia
Jenis kosakata bahasa Indonesia ada
bermacam-macam. Hal ini bergantung pada dasar penggolongannya. Berdasarkan bentukannya,
ada kata dasar dan kata turunan (kata berimbuhan, kata ulang, kata majemuk).
Berdasarkan sifat, fungsi, dan perilakunya dalam kalimat, ada kata benda, kata
kerja, kata sifat, dan kata tugas.Berdasarkan taraf keumumannya, ada kata umum
dan kata khusus. Berdasarkan taraf kebakukannya, ada
kata baku dan kata tidak baku. Berdasarkan keluasan pemakaiannya, ada kata
populer dan kata kajian. Berdasarkan keseringannya dipakai, ada kata aktif dan
kata pasif. Berdasarkan kejelasan acuannya atau apa yang dirujuknya, ada kata
abstrak dan kata konkret. Masing-masing jenis kosakata itu dijelaskan berikut.
2.1
Kata Dasar dan Kata Turunan
Kata dasar ialah kata yang belum mengalami
proses penambahan baik berupa pengimbuhan, pengulangan, maupun pemajemukan.
Kata itu memiliki bentuk yang tidak dapat diuraikan lagi unsur dasar dan
tambahan katanya. Contoh:
gambar merah
jalan putih
kerja bagi
main buat
Kata turunan ialah kata yang sudah
mengalami proses penambahan baik berupa pengimbuhan, pengulangan, maupun
pemajemukan. Kata itu memiliki bentuk yang dapat diuraikan menjadi bentuk
dasar dan unsur tambahan yang berupa imbuhan, ulangan, dan majemukan.
Berdasarkan unsur tambahannya, jenis kata itu dapat dipilih menjadi kata
berimbuhan, kata ulang, dan kata majemuk. Contoh:
Kata
Berimbuhan Kata Ulang Kata Majemuk
menggambar gambar-gambar mata air
menjalankan jalan-jalan air terjun
bermain bermain-main sendok makan
memerah kemerah-merahan pesawat terbang
2.2
Kata Benda, Kata Kerja, Kata Sifat, dan Kata Tugas
Kata benda ialah semua kata yang
menyatakan makna 'benda', nama benda, dan segala yang dibendakan. Kata itu
mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep. Di samping itu, kata itu
dapat menempati posisi subjek, objek, dan pelengkap, diperluas dengan kata yang,
dan dinegatifkan dengan bukan. Kata itu dapat diperinci menjadi kata
ganti, kata bilangan, dan kata benda. Selain itu, kata itu dapat diperinci menjadi
kata benda dasar dan kata benda turunan. Contoh:
Kata
benda : guru, harimau, anjing, rumah, penggaris, kenaikan, persiapan,
pertukaran
Kata
ganti : saya, engkau (kau), kami, ayah, kakek, aba, umi, Fuad Hassan,
ini, begini
Kata
bilangan : satu, lima, delapan, kesepuluh
Kata kerja ialah semua kata yang
menyatakan makna 'kegiatan atau laku'. Kata itu mengacu pada perbuatan, laku,
proses, dan keadaan yang bukan sifat atau mutu. Di samping itu, kata itu lazim
menempati posisi inti predikat, dapat diperluas dengan kelompok kata dengan
+ kata sifat, dapat didahului dengan kata boleh , dapat
dinegatifkan dengan kata tidak atau bukan jika dipertentangkan
dengan hal lain, dan tidak dapat didampingi kata-kata yang menyatakan kesangatan.
Kata itu dapat diperinci menjadi kata kerja dasar dan kata kerja turunan. Kata
kerja turunan dapat berupa kata berimbuhan, kata ulang, dan kata mejemuk. Contoh:
ada
mandi
tidur
belajar
bekerja
sama
mengaji
merintangi
berjalan
dengan cepat
bernyanyi
dengan gembira
berdoa
dengan sungguh-sungguh
boleh
makan
boleh
mengambil
boleh
bertanya
tidak
berdusta
tidak
mendengarkan
tidak
terburu-buru
bukan
menangis, melainkan tersenyum
bukan
bermain-main, melainkan belajar
bukan
tertawa, melainkan mencibir
Kata sifat adalah semua kata yang
menyatakan makna 'sifat atau hal keadaan' orang, benda, dan binatang. Kata itu
dapat menempati posisi predikat, objek, dan keterangan, diberi keterangan
pembanding lebih, kurang, dan paling, dapat diberi keterangan
penyangat sangat, sekali, benar, dan terlalu, dapat diulang dengan
se+nya, dapat diingkarkan dengan kata tidak, dan pada kata
tertentu berakhir dengan -iah, -i, -wi, -if, -al, dan -er. Kata
itu dapat diperinci menjadi kata sifat dasar dan kata sifat turunan. Kata sifat
turunan dapat berupa kata sifat berimbuhan, kata sifat ulang, dan kata sifat
majemuk. Contoh:
asin
lama
sunyi
alamiah/alami
jasmaniah/jasmani
rohaniah/rohani
surgawi
maknawi
efektif
aktif
terhormat
pemalas
subur-subur
besar-besar
kering
kerontang
cantik
jelita
lemah
lembut
Kata tugas ialah kata yang berfungsi atau
bertugas merangkaikan satu kata dengan kata lain atau satu kelompok kata dengan
kelompok kata lain sehingga menjadi untaian kata atau kalimat. Di samping itu,
tugasnya menegaskan atau menguatkan suatu kata. Ada pula kata tugas yang
berfungsi mengungkapkan perasaan manusia. Kata itu tidak dapat berdiri sendiri
sebagai kata, tetapi harus bersama dengan kata lain dalam suatu kalimat. Secara
umum, kata tugas diperinci menjadi kata depan, kata sambung, kata seru, kata
sandang, dan partikel penegas. Contoh:
Kata
depan : dari, daripada, ke, di sana, di bawah, untuk, guna
Kata
sambung : dan,
atau, biarpun, seolah-olah, bahwa, sehingga, hingga, baik ... maupun, padahal,
sesudah itu, setelah itu, kemudian, sebab itu, oleh karena itu
Kata
seru : aduhai, bah, astagfirullah, hai, amboi, sialan, busyet, aduh,
astaga, ayo, mari, nah, syukur, duilah, halo
Kata
sandang : sang, sri, para, si, dang (sang juara, sri baginda, si manis
jembatan ancol)
Partikel
: lah, kah, pun, tah (pergilah, apakah, sekalipun)
2.3
Kata Umum dan Kata Khusus
Kata umum ialah kata yang mengacu pada hal
yang luas cakupannya, sedang kata khusus ialah kata yang mengacu pada hal yang
khusus dan tampak jelas (konkret). Perbedaan ini bersifat nisbi (relatif).
Jadi, kata umum memuat makna luas dan kata khusus memuat makna khusus yang
merupakan pengkhususan kata umum. Contoh:
1) Kata umum : merah
Kata
khusus : merah
muda, merah tua, merah jambu
2) Kata umum : melihat
Kata
khusus : menatap,
memandang, menengok, melotot
3) Kata umum : kendaraan
Kata
agak umum : mobil
Kata
khusus : sedan
Kata
amat khusus : sedan Mazda, sedan Toyota, sedan BMW
2.4
Kata Baku dan Kata Tidak Baku
Kata baku ialah kata yang diterima atau
ditetapkan oleh masyarakat bahasa sebagai acuan atau ukuran sesuai dengan
kaidah yang telah ditentukan, sedang kata tidak baku ialah kata yang tidak
sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan sehingga tidak dijadikan acuan atau
ukuran. Kata-kata tidak baku meliputi kata yang tidak mengikuti kaidah, dialek,
dan percakapan sehari-hari. Contoh:
Kata
Baku Kata Tidak Baku
jadwal jadual
Senin Senen
hakikat hakekat
pikir fikir
telepon telpon
terampil trampil
ambilkan ambilken
kata bilang
hanya cuma/cuman
tidak,
tak nggak
mudah gampang
buat,
membuat bikin, membikin
Ia menulis
surat Ia tulis surat
saya gue
kamu,
Anda lu
2.5
Kata Kajian dan Kata Populer
Kata-kata bahasa Indonesia dipakai oleh
seluruh lapisan masyarakat penutur bahasa Indonesia baik terpelajar maupun awam
atau orang kebanyakan dalam komunikasi. Kata-kata yang dipakai oleh kaum
terpelajar atau terdidik untuk keperluan ilmiah baik menulis karya ilmiah
maupun mengomunikasikan karya ilmiah disebut kata kajian. Kata-kata yang
dipakai oleh awam atau orang kebanyakan untuk keperluan komunikasi sehari-hari
disebut kata populer. Hal ini menunjukkan kata kajian merupakan kata teknis,
sedangkan kata populer merupakan kata umum. Sebab itu, kata kajian terbatas
pemakaiannya dibandingkan dengan kata populer. Contoh:
Kata
Kajian Kata Populer
volume isi
harmonis selaras
unsur bagian
antipati rasa benci
anarki kekacaubalauan
tentatif sementara
desain rancangan
reformasi perbaikan
evaluasi penilaian
2.6
Kata Aktif dan Kata Pasif
Kata aktif adalah kata yang sering dipakai
dalam berbicara atau menulis, sedangkan kata pasif adalah kata yang
jarang/tidak pernah dipakai dalam berbicara atau menulis. Kata-kata aktif banyak
digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Kata-kata pasif dipakai secara terbatas
baik keperluan dan tempat terbatas. Bahasa lirik lagu dan bahasa karya sastra
Indonesia masih menggunakan kata-kata pasif. Contoh:
Kata
Aktif Kata Pasif
bunga,
kembang puspa, kusuma
matahari mentari, surya
angin bayu
seperti bak, laksana
hati kalbu
jiwa sukma
yang nan
2.7
Kata Abstrak dan Kata Konkret
Kata abstrak adalah kata yang memiliki
rujukan berupa konsep, pengertian, dan gagasan yang tidak kasat mata, sedangkan
kata konkret adalah kata yang memiliki rujukan berupa objek yang dapat dicerap
oleh pancaindera (dilihat, diraba, dirasakan, didengarkan, atau dicium). Oleh
sebab itu, kata abstrak cukup sukar dikenali oleh pengguna bahasa Indonesia,
sedang kata konkret cukup mudah dipahami. Contoh:
Kata
Abstrak Kata Konkret
kemakmuran rumah, pangan, sandang
kerajinan belajar, bekerja, membaca
kaya banyak uang, sawah,
rumah
kenang-kenangan cincin, foto,
kemajuan membuat jalan, membangun
pabrik
2.8
Kata Tanya dan Kata Sapaan
Kata tanya adalah kata ganti yang
berfungsi menanyakan sesuatu atau dipergunakan untuk mengungkapkan
pertanyaan. Secara umum, kata itu dapat digolongkan sebagai kata benda, dalam
hal ini kata ganti tanya. Dalam bahasa Indonesia, kata tanya terdiri atas kata
apa, siapa, mana/di mana/ke mana, mengapa/kenapa, kapan, bila/bilamana,
bagaimana, dan berapa. Contoh:
1) Apa yang kau baca?
Dia
mau menanam pohon apa?
Mengambil
apa anak kecil itu?
2) Siapa yang kau cari?
Mau
menemui siapa?
Buku
itu dibaca oleh siapa?
3) Mana adikmu?
Pak
Yasin di mana?
Ke
mana Bu Rahma pergi?
Yang
mana buku yang kau perlukan?
4) Bagaimana kabar adikmu?
Mangga
yang bagaimana yang kau inginkan?
Bagaimana
pencuri itu bisa sampai masuk rumah?
Bagaimana
cara membuat boneka kayu itu?
5) Kapan kita akan berangkat?
Sejak
kapan kamu senang nasi pecel?
Bila
kamu datang ke rumahku?
Bilamana
pencuri masuk rumah itu?
6) Mengapa lampu itu mati?
Mengapa kau
tak belajar mengaji?
Kenapa buku
itu belum engkau kembalikan?
7) Berapa uangmu?
Jam berapa
sekarang?
Anak
ke berapa dia itu?
Kata sapaan adalah kata ganti yang
dipergunakan untuk menyapa orang. Secara umum, kata itu dapat digolongkan
sebagai kata benda, dalam hal ini kata ganti penyapa. Kata kerabat, kata
ganti, kata sapaan hormat, dan kata ganti/kerabat diikuti nama termasuk kata
sapaan. Contoh:
Kata
kerabat : Kakek, Nenek, Bapak, Ayah, Ibu, Paman, Bibi, Abang, Adik, Kakak,
Ananda, Cucunda
Kata
ganti : kamu, engkau, kau, dia, saudara, anda, tuan, nyonya, nona,
kalian, mereka
kata
hormat : Paduka Yang Mulia (PYM), Yang Mulia (YM), Yang terhormat (Yth.).
Kata
nama : Adik Hasan, Abang Fuad, Saudara Effendi, Ibu Malikah, Bapak Imam
Agus Basuki
Catatan:
1) Pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno
(Orde Lama) digunakan kata Paduka Yang Mulia untuk menyapa Presiden dan Yang
Mulia untuk menyapa Menteri dan Pejabat Setingkat Menteri.
2) Nenenda, Ayahanda, Ibunda, Kakanda, dan
sejenisnya merupakan sapaan takzim atau hormat. Biasanya dipakai dalam
surat-menyurat atau karya tulis.
3) Kata Pakcik dan Makcik yang dahulu banyak
dipakai, sekarang sudah tidak lazim dalam bahasa Indonesia modern.
4) Kata Bung, Mas, dan Mbak dipakai dalam suasana
akrab. Untuk memberikan suasana akrab, kata Bung dan Mbak sekarang juga dipakai
dalam suasana resmi. Misalnya, Bung Harmoko, Mbak Tutut, dan Mbak Mega.
2.9
Kata, Istilah, dan Ungkapan
Kata merupakan satuan bahasa yang terkecil
dan bermakna yang dapat berdiri sendiri tanpa harus bersama dengan unsur lain.
Istilah merupakan kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan
makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu.
Sedang ungkapan merupakan gabungan kata yang tetap atau beku, bermakna mantap
yang berbeda dari unsurnya, dan bersifat teradat. Jadi, kata dapat menjadi
istilah dan unsur istilah dan ungkapan; istilah dapat berupa kata dan gabungan
kata; dan ungkapan selalu berupa gabungan kata. Contoh:
1) Kata : nabi, nada, nabati, musuh, musik, murung,
murid
2) Istilah : pidana, hukum, ulama, gaya tarik bumi, rukun
iman, rukun Islam
3) Ungkapan : kuda hitam, makan hati, makan garam, panjang
tangan, rendah hati, membanting tulang, bergantung pada, sesuai dengan
2.10
Singkatan dan Singkatan
Baik singkatan maupun akronim merupakan
kependekan. Bedanya, singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas
satu huruf atau lebih, sedangkan ialah singkatan yang berupa gabungan huruf
awal, gabungan suku kata, atau gabungan huruf dan suku kata dari untaian kata
yang diperlakukan sebagai kata utuh. Contoh:
Singkatan Akronim
MBA ABRI
dsb. rudal
d.a. berdikari
kg Bappenas
2.11
Peribahasa dan Majas
Peribahasa ialah untaian kata-kata yang
sudah membeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat. Peribahasa umumnya
digunakan untuk hiasan karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, dan
pemberi nasihat atau pedoman hidup. Peribahasa itu dapat berupa bidal, pepatah,
perumpamaan, ibarat, dan pemeo. Bidal ialah bahasa kias yang sudah tetap
susunan dan tak berubah maknanya. Pepatah ialah kiasan tentang keadaan dan
kelakuan seseorang yang dinyatakan dengan untaian kalimat. Isinya nasihat atau
ajaran. Perumpamaan ialah untaian kata yang menyatakan keadaan atau kelakuan
seseorang dengan cara membandingkan dengan alam sekitar. Biasanya didahului
oleh kata-kata perbandingan. Seperti perumpamaan, ibarat ialah untaian kata
yang menyatakan perbandingan. Bedanya, ibarat diiringi atau diikuti dengan bagian-bagian
yang menjelaskan bagian sebelumnya. Pemeo ialah untaian kata yang sudah beku
dan populer di masyarakat yang mengandung dorongan semangat. Contoh:
1) Bidal :
Habis gelap terbitlah terang
Ada
gula ada semut
Bahasa
menunjukkan bangsa
2) Pepatah : Ikut hati mati, ikut rasa binasa
Berjalan
pelihara kaki, berkata pelihara lidah
Hancur
badan dikandung tanah, baik budi dikenang jua
3)
Perumpaan : Bagai bumi dan langit
Laksana
kera dapat bunga
Seperti
anjing berebut tulang
4) Ibarat : Bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan
mati tak mau
Ibarat
bolam, mata lepas badan terkurung
5) Pemeo :
Esa hilang, dua terbilang
Patah
tumbuh, hilang berganti
Bersatu
kita teguh, bercerai kita runtuh
Daripada
berputih mata, lebih baik berputih tulang
Majas ialah untaian kata-kata yang
melukiskan sesuatu dengan cara menyamakan dengan sesuatu yang lain. Majas
tercipta ketika makna harfiah kata atau ungkapan dialihkan dan melingkupi makna
harfiah lain. Majas itu terdiri atas majas perbandingan, pertentangan, dan
pertautan. Majas perbandingan dapat berupa perumpamaan, metafora, dan
personifikasi. Majas pertentangan dapat berupa hiperbola, litotes, dan ironi.
Majas pertautan dapat berupa metonimia, sinekdoke, alusi, dan eufemisme.
Contoh:
1)
Majas perbandingan : bagai air di daun talas
telur
mata sapi
ombak
berkejar-kejaran
2) Majas pertentangan : sejuta kenangan indah
hasilnya
tak mengecewakan
bukan
main bersihnya
3) Majas pertautan : Chairil Anwar
dapat kita nikmati
Nanti
sore Bandung melawan Surabaya
Madura
akan menjadi Batam Jatim.
dimintai
keterangan (diinterogasi)
3.
Asas (Prinsip) Pemilihan dan Penggunaan Kata
Kosakata bahasa Indonesia digunakan untuk
mewadahi dan mengungkapkan pikiran, pendapat, dan perasaan pengguna bahasa
Indonesia. Kosakata itu perlu dipilih dan digunakan dengan penuh pertimbangan
agar pikiran, pendapat, dan perasaan yang diwadahi dan diungkapkannya dapat
diterima atau tidak disalahpahami oleh orang lain. Untuk itu, ada tiga asas
yang perlu dipertimbangkan dalam memilih dan menggunakan kosakata. Ketiga asas
yang dimaksud adalah (1) asas kebenaran dan kecermatan, (2) asas ketepatan dan
kejelasan, dan (3) asas kelaziman dan keserasian.
3.1
Asas Kebenaran dan Kecermatan
Asas kebenaran dan kecermatan mengatur
kesesuaian kata dengan kaidah tata bahasa. Kata-kata yang kita pilih dan
gunakan harus sesuai dengan kaidah tata bahasa, tidak boleh melanggar kaidah
tata bahasa: kaidah ejaan, kata, dan kalimat. Kata-kata yang sesuai dengan
kaidah tata bahasa itu dapat disebut kata yang benar dan cermat. Kata yang tidak
benar dan tidak cermat dapat berupa kata mubazir, rancu, dan tak idiomatis (tak
sesuai ungkapan umum). Contoh:
1) Ia menyinta ibunya. (Seharusnya: mencinta)
2) Jadual pelajaran belum diberitahukan
oleh Bu Guru. (Seharusnya: jadwal)
3) Fuad dan Effendi saling berpukul-pukulan
kemarin. (Seharusnya: saling memukul, berpukul-pukulan)
4) Maulana adalah merupakan murid terbaik.
(Seharusnya:
pilih salah satu saja adalah atau merupakan)
5) Meskipun sakit, namun Sri Azemi tetap
masuk sekolah. (Seharusnya: kata namun dihilangkan)
6) Mulai sejak kemarin Ibu Malikah tidak
mengajar di kelas III. (Seharusnya: Cukup dipakai kata mulai atau sejak).
7) Jumlah murid di kelas ini terdiri 20
laki-laki dan 15 wanita. (Seharusnya: terdiri atas)
8) Antara Fuad dengan Effendi ada
perbedaan. (Seharusnya: antara ... dan ....).
9) Ketekunan daripada murid-murid perlu
ditingkatkan. (Seharusnya: tanpa kata daripada).
10)Waktu
kami persilakan.
(Seharusnya
: Hassan/Aulia kami persilakan atau Waktu kami berikan kepada Ibu Hastuti).
3.2
Asas Ketepatan dan Kejelasan
Asas ketepatan dan kejelasan mengatur
kesesuaian kandungan makna kata dengan
gagasan, pikiran, pendapat, dan perasaan yang kita maksudkan. Kata-kata
yang kita pilih dan gunakan memang harus dapat mengungkapkan secara tepat dan
jelas apa yang kita maksudkan. Kata yang dapat mengungkapkan apa yang kita maksudkan dapat disebut kata yang
tepat dan jelas. Kata yang tepat dan jelas membuat maksud kita dapat cepat
diterima atau dipahami oleh orang lain, tidak disalahpahami. Hal ini dapat
mendukung pekerjaan kita cepat selesai (efisien), misalnya pekerjaan bidang
hukum. Sebaliknya, kata yang tidak tepat dan jelas membuat maksud kita tidak
dimengerti, disalahpahami oleh orang lain. Contoh:
1) Mia nyaris mendapat nilai seratus dalam
pelajaran IPA.
(Seharusnya:
nyaris diganti hampir karena kata nyaris biasanya untuk
hal negatif, sedang kata hampir untuk hal positif)
2) Shanti belajar tekun untuk dapat nilai
seratus.
(Seharusnya:
kata untuk diganti dengan agar atau kata dapat diberi
imbuhan men sehingga menjadi mendapat)
3) Hasnah lebih pandai dari Hasnun.
(Seharusnya:
kata dari diganti daripada)
4) Kursi ini dibuat daripada kayu jati.
(Seharusnya:
kata daripada diganti dari)
5) Sri mengacuhkan nasihat Bu Guru
sehingga mendapat nilai buruk.
(Seharusnya:
mengacuhkan diganti mengabaikan)
3.3
Asas Kelaziman dan Keserasian
Asas kelaziman dan keserasian mengatur
kewajaran, kecocokan, kepatutan, dan kebiasaan pemilihan dan penggunaan kata
dengan keadaan pembicara, suasana pembicaraan, sarana pembicaraan, dan tujuan
pembicaraan. Kata yang sesuai dengan itu dapat disebut kata yang lazim dan
serasi. Dalam berbahasa, kita perlu memilih dan menggunakan kata yang lazim dan
serasi. Kata yang lazim dan serasi membuat maksud kita dapat diterima oleh
orang lain dengan cepat dan mudah, tidak menimbulkan kesalahpahaman. Contoh
kata yang tidak lazim dan serasi:
1) (Murid) Saudara guru, saya minta ngomong agak
pelan.
(Seharusnya:
Bapak guru, saya mohon berbicara agak pelan)
2) Berapa gerangan harga buku ini?
(Seharusnya:
Berapa harga buku ini?)
3) Hamba mau ke belakang, Bu Guru.
(Seharusnya:
Saya mau ke belakang, Bu Guru.)
4) Manakala hari hujan, aku tak jadi ke rumahmu.
(Seharusnya:
Jika hari hujan, aku tak jadi ke rumahmu.)
5) Guru : "Anak-anak, saya mohon
tenang".
(Seharusnya:
Anak-anak, saya minta tenang.)
4.
Sifat-sifat Penggunaan Kata
Dalam berbahasa Indonesia, ada kata-kata
yang wajib, manasuka, dan terlarang kita gunakan. Kata yang wajib kita gunakan
adalah kata yang bisa mengaburkan maksud, mengacaukan jalan pikiran, dan
melanggar kaidah tata bahasa jika kita tanggalkan. Kata yang manasuka kita
gunakan adalah kata yang boleh kita pakai atau tidak karena tidak akan
mengaburkan maksud, mengacaukan jalan pikiran, dan melanggar kaidah tata bahasa
meskipun kita tanggalkan. Kata yang terlarang kita gunakan adalah kata yang
justru akan mengaburkan maksud, mengacaukan jalan pikiran, dan melanggar kaidah
tata bahasa kalau kita pakai. Contoh:
1) Wajib : Dia sudah sadar akan kewajibannya.
Kelas
kita terdiri atas 20 wanita dan
15 laki-laki.
Kelakuannya
bertentangan dengan nasihat ayah.
2) Manasuka : Buku saya dipinjam (oleh) Tohir.
(Adalah)
tidak benar saya memukulnya.
Tono
disuruh (oleh) ibu (untuk) membeli gula.
3) Terlarang : Ayah Malik adalah guru
sekolah kami.
Dia
telah menyadari tentang kesalahannya.
Murid-murid
wajib untuk mengikuti nasihat Bu Guru.
Catatan:
1) Kata akan, atas, dan dengan
wajib digunakan dalam contoh 1) agar kalimat-kalimat di atas cermat dan benar.
2) Kata oleh, adalah, dan oleh-untuk
boleh digunakan atau boleh tidak dalam contoh 2) karena hadir tidaknya
kata-kata tersebut tidak merusak kecermatan kalimat.
3) Kata adalah, tentang, dan untuk
dalam contoh 3) dilarang digunakan karena merusak kebenaran dan kecermatan kalimat.
2) Makna Bahasa Indonesia
1.
Jenis-jenis Makna Kata
Makna adalah hubungan antara bentuk bahasa
dengan barang/hal yang diacunya. Kata batu yang terdiri atas susunan
fonem /b/, /a/, /t/, /u/ mengandung makna sebab mempunyai hubungan dengan barang
yang diacu oleh kata batu itu. Sebaliknya, ujaran utab yang
terdiri atas susunan fonem /u/, /t/, /a/, /b/ tidak mengandung makna sebab
ujaran utab itu dapat bermakna dalam "bahasa balikan" yang
terbentuk berdasarkan perjanjian antar pemakainya. Selanjutnya, empat fonem di
atas dapat disusun menjadi enam kata, yaitu baut, buat, buta, tabu, tuba,
dan ubat (obat). Keenam kata tersebut memiliki makna sebab ada
barang/hal yang diacunya.
Ada bermacam-macam jenis makna kata. Jenis‑jenis
makna itu dapat dibedakan berdasarkan kriteria tertentu diuraikan berikut ini.
1.1
Makna Lugas dan Makna Kiasan
Berdasarkan sesuai tidaknya barang atau
hal yang diacu, terdapat makna lugas dan makna kiasan. Makna lugas ialah
makna yang sebenarnya sesuai dengan barang/hal yang diacu, sedangkan makan
kiasan ialah makna yang tidak sebenarnya/tidak sesuai dengan barang/hal
yang diacu. Contoh :
Makna
Lugas Makna Kiasan
kaki si Didik kaki meja
kaki kambing kaki
gunung
makan nasi makan
angin
makan pisang makan uang
Dari
contoh di atas jelas bahwa kata kaki yang lazimnya menunjukkan kaki orang
atau binatang diterapkan pada benda. Dengan demikian kata makan
yang lazimnya mengacu makanan diterapkan pada bukan makanan.
Akibatnya, timbullah makna kiasan (figuratif).
Sebuah
kata/frase dapat bermakna (1) lugas dan (2) kiasan seperti yang tampak pada
kalimat berikut.
(1)
Setelah ditandatangani, surat itu dimasukkan ke dalam amplop.
(2)
Setelah diberi amplop, barulah berkas urusan saya dibereskan.
(1)
Ayah membeli kambing hitam untuk disembelih.
(2)
Dia yang bersalah, tetapi saya yang jadi kambing hitam.
Contoh‑contoh
lain :
makan
hati : (1)
makan hati ayam/sapi/kambing
(2)
susah akibat perbuatan orang lain
jago
merah : (1)
jago yang berbulu merah
(2)
api kebakaran
baju
hijau : (1) baju yang berwarna hijau
(2)
tentara ; militer
orang
kecil : (1)
orang yang badannya kecil
(2)
rakyat kebanyakan
jalan
buntu : (1)
jalan yang tidak terus
(2)
terhenti karena tidak mendapat kata sepakat dalam diskusi, perundingan, dsb.
bunga
desa : (1) bunga dari desa atau tumbuh
di desa
(2)
gadis cetak se-desa
Catatan
:
a. Kata‑kata lugas digunakan dalam surat‑menyurat
resmi, laporan resmi, peraturan, skripsi, dsb. Dengan demikian, isinya menjadi
jelas, dapat dipahami secara langsung tanpa penafsiran lebih dahulu. Contoh :
Kurang
Jelas Jelas
(1) Seorang pemimpin harus Seorang
pemimpin harus
bertindak
dan bersikap bertindak dan bersikap
tidak
pandang bulu dan tegas dan adil terhadap
tidak
berat sebelah ter‑ bawahannya.
hadap
bawahannya.
(2) Perusahaan kami hanya Perusahaan
kami hanya
menerima
pegawai yang menerima pegawai yang
sudah
kenyang makan sudah berpengalaman
garam
dalam bidangnya. dalam bidangnya.
(3) Atas uluran tangan bapak, Atas
bantuan bapak, kami
kami
sampaikan terima ucapkan terima kasih.
kasih.
b. Kata‑kata kiasan lazim dipakai dalam cerita,
lukisan, kisah, berita sensasi, dsb. Dengan cara demikian, penuturan menjadi
hidup, mengesankan, dan menarik perhatian.
Contoh :
Biasa Hidup
(1) Semangat juang para pemuda Di
seluruh tanah air meluap‑
di
seluruh tanah air sungguh luap semangat dan darah men‑
hebat. didih kemerdekaan. Gelora revo‑
lusi membakar jiwa
pemuda.
(2) Awas! Penyakit demam berdarah Awas! Penyakit demam berdarah
menjalar
ke mana‑mana. mengganas
ke mana‑mana.
1.2
Makna Denotatif (Tersurat) dan Makan Konotatif (Tersirat)
Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa,
terdapat makna denotatif dan makna konotatif. Makna denotatif (tersurat,
ideasional, kognitif, konseptual) adalah makna kata/kelompok kata yang
bersifat lugas dan obyektif, sedangkan makna konotatif (tersirat, emotif)
adalah makna tambahan terhadap makna dasar yang berupa nilai rasa (positif atau
negatif). Contoh :
Makna
Denotatif Makna Konotatif
rumah wisma (rumah yang bagus, indah,
dan mentereng) ; gubuk ( rumah
yang jelek, kecil,
dan sangat
sederhana
pegawai
(pegawai negeri) buruh (pekerja yang mendapat upah kecil : buruh pabrik rokok)
karyawan (bernilai rasa
halus)
pemberian
(bersifat netral) sedekah (pemberian kepada fakir
miskin, mengandung rasa
kasihan);
derma (pemberian bantuan berda‑
sarkan kemurahan hati
dan keting‑
gian moral); anugerah
(pemberian
atau ganjaran dari
pihak atas
kepada pihak bawah,
bernilai rasa
tinggi karunia (mengandung unsur kemulian/keluhuran
Konotasi dapat dibedakan atas dua macam,
yaitu konotasi positif dan konotasi negatif. Konotasi positif mengandung nilai
rasa tinggi, halus, sopan, dan sejenisnya, sedangkan konotasi negatif
mengandung nilai rasa rendah, jelek, kasar, kotor, porno, tidak sopan, dan
sejenisnya. Kedua sifat tersebut bergantung kepada masyarakat pemakai
bahasa yang bersangkutan. Contoh:
Konotasi Positif Konotasi
Negatif
makan santap
meninggal dunia, tewas,
mampus,
berpulang, wafat
mangkat, gugur
jenazah mayat,
bangkai
tunanetra buta
tunawicara bisu
wanita perempuan
pria laki‑laki
Sering terjadi sebuah kata merosot nilai
rasanya akibat ulah para anggota masyarakat yang menggunakan kata tersebut.
Misalnya, kata bijaksana yang makna denotasinya menunjukkan sikap atau
tindakan yang arif dalam menghadapi suatu masalah menjadi negatif konotasinya
seperti contoh berikut ini.
"Mohon
kebijaksanaan Bapak, bagaimana caranya agar anak saya
dapat
naik kelas," kata orang tua murid kepada kepala sekolah.
Kata‑kata
yang bermakna denotatif tepat digunakan dalam karya ilmiah, sedangkan kata‑kata
yang bermakna konotatif wajar digunakan dalam karya sastra atau komunikasi
sehari-hari. Karya ilmiah pada dasarnya bertujuanmenyampaikan/ mengungkapkan
pikiran, sedangkan karya sastra mengungkapkan perasaan.
Catatan:
a. Makna konotatif sering dikacaukan dengan makna
kiasan. Makna konotatif tidak sama dengan makna kiasan. Kata mati,
meninggal, berpulang, wafat, mangkat, gugur, tewas, mampus, tutup usia, dan
telah tiada mempunyai denotasi yang sama, yaitu hilangnya nyawa. Kata‑kata
yang bersinonim tersebut memiliki konotasi yang berbeda, yaitu biasa,
halus/hormat, luhur, dan kasar. Makna tambahan terhadap makna dasar
(mati) itulah yang disebut makna konotatif. Selanjutnya, marilah kita
perhatikan contoh berikut ini!
lampu
mati
jam
mati
mesin
mati
harga
mati
Kata
mati pada contoh diatas bermakna kiasan (tidak sebenarnya) yang terjadi
akibat penerapan terhadap yang tidak bernyawa.
b. Makna denotatif sama pengertiannya dengan
makna lugas yang dipertentangkan dengan makna kiasan. Contoh:
Makna
Denotatif/Lugas Makna Kiasan
Kucingnya
mati Mesinnya mati
Penjahat
itu mati tertembak Lampunya mati
1.3
Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Berdasarkan ada tidaknya hubungan antar unsur bahasa,
terdapat makna leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal adalah makna kata
yang masih berdiri sendiri, tidak dalam hubungan dengan unsur yang lainnya, sedangkan makna
gramatikal ialah makna yang baru yang muncul akibat proses gramatika (morfologis atau sintaksis). Contoh:
Makna
Leksikal Makna Gramatikal
makan 'memasukkan nasi
makanan 'apa‑apa yang
biasa
makanan)
ke dalam mulut dimakan'
mengunyah
dan menelannya
rumah,
bangunan untuk rumah makan 'rumah tempat makan' bertempat tinggal
rumah ayah 'rumah milik ayah'
Catatan:
a.
Makna leksikal sama pengertiannya dengan makna denotatif/lugas.
b.
(i) Tini sedang makan pisang
(ii) Pegawai
itu dipecat sebab makan suap.
Kata
makan pada (i) dan (ii) bermakna gramatikal. Makna gramatikal kata makan
pada (i) sama dengan makna leksikalnya,
sedangkan makna gramatikal kata makan
pada (ii) tidak sama dengan makna leksikalnya. Kata makan pada (i) bermakna lugas,
sedangkan pada (ii) bermakna kiasan.
Perlu dingat bahwa makna lugas/leksikal sama dengan makna denotatif,
sedangkan makna kiasan tidak sama dengan makna konotatif.
c. Kata tugas (kata depan dan kata sambung) hanya
memiliki makna gramatikal. Ini berarti bahwa makna kata tugas ditentukan oleh
kata lain dalam frasa/kalimat, bukan oleh kata itu secara lepas/berdiri
sendiri. Kata tugas seperti dan, karena, di, ke, dan dari
barulah memiliki makna jika dirangkaikan dengan kata lain (kata benda, kata
ganti orang), misalnya dalam kalimat berikut.
Tono
dan Tini tidak pergi ke Jakarta karena tidak
mempunyai
uang.
1.4
Makna Referensial dan Makna Nonreferensial
Berdasarkan ada tidaknya benda/hal yang
diacu, terdapat makna referensial dan makna nonreferensial. Makna referensial
ialah makna kata yang ada acuannya (referen), sedangkan makna nonreferensial
ialah makna kata yang tidak ada acuannya. Contoh :
Makna
Referensial Makna Non referensial
Meja,
kursi, lemari (benda) di, ke, dari, tentang dan,
kebersihan,
kemanusiaan, karena, jika (kata tugas)
pembangunan
(hal/proses)
Catatan:
Kata
tugas mempunyai makna gramatikal, tetapi tidak mempunyai acuan (referen).
Makna referensial disebut juga makna denotatif. Makna referensial dapat
dijelaskan dengan analisis komponen makna. Misalnya, kita dapat
menganalisis kata meja sebagai berikut:
perkakas
(perabot) rumah
berkaki
empat
berbidang
datar
berbentuk
segiempat/lonjong/bundar
digunakan
untuk menulis/makan
dibuat
dari kayu/besi
1.5
Makna Kontekstual
Makna kontekstual ialah makna kata yang
ditentukan oleh konteksnya dalam pemakaian. Pada dasarnya ada dua macam
konteks, yaitu (1) koteks kebahasaan dan (2) konteks bukan kebahasaan (sosial,
budaya, situasi, latar, dsb.)
Contoh
(1) :
(i) Tono sedang makan pisang.
(ii) Upacara adat itu makan ongkos besar.
(iii)
Sepeda itu remnya tidak makan.
(iv) Penjahat itu ditembak tiga kali, tetapi tidak
makan.
(v) Pemuda itu makan gadis tetangganya.
Contoh
di atas menunjukkan bahwa makna kata ditentukan konteksnya dalam kalimat.
Contoh
(2) :
(i) Atas
bantuan Bapak, kami ucapkan terima kasih.
(ia) A :
"Mari kita makan bersama‑sama !"
B
: "Terima kasih, saya sudah makan."
Pada kalimat B ekspresi "terima kasih"
bermakna 'tidak mau' .
(ii) Tolong belikan saya amplop.
(iia) Beri saja dia amplop, tentu beres
urusan Anda !
Memberi
amplop (uang suap/pelicin) kepada orang yang dimintai bantuan sudah
membudaya di masyarakat kita.
(iii)
Laki‑laki itu ayah Tono.
(iiia)
Ih, dasar laki‑laki hidung belang !
Kata
laki‑laki pada (iii) memiliki makna yang negatif (tamak, rakus, suka
mengganggu perempuan).
1.6
Makna Afektif
Makna afektif ialah makna yang berhubungan
dengan perasaan (makna emotif). Contoh :
(i) Pemulung itu tinggal di gubuk yang
reyot.
(ia)
Silakan Bapak tinggal di gubuk saya.
Kata
gubuk pada (ii) dimaksudkan untuk merendahkan diri.
Makna afektif lebih terasa secara lisan
daripada secara tertulis. Contoh :
(i) "Tutup
mulut kalian !" bentaknya kepada mereka.
(iia)
"Coba diam sebentar !"
katanya kepada mereka.
(iii)
"Dapatkah kalian
diam sebentar ?" kata
Ibu Guru kepada murid‑murid.
Contoh
(i) adalah ungkapan utuh (penuh), yaitu ungkapan yang maknanya tidak tergambarkan
dari unsur‑unsurnya; sedang contoh (ii) adalah ungkapan sebagian, yaitu
ungkapan yang maknanya masih dapat digambarkan dari unsur‑unsurnya.
Catatan:
Bangun
bersifat ungkapan memiliki ciri‑ciri sebagai berikut.
(i) Unsur‑unsur pembentuknya tidak boleh kurang,
tidak boleh lebih, dan tidak boleh diganti dengan unsur yang lain. Contoh:
Tidak Bersifat Ungkapan Bersifat Ungkapan
terdiri
empat bab terdiri atas empat bab
sesuai
peraturan sesuai dengan peraturan
bertemu
dia bertemu dengan dia
tahu
tugasnya tahu akan/tetang tugasnya
terdiri
daripada terdiri atas
berdasarkan
daripada berdasarkan/berdasar pada
Pancasila Pancasila
bersama dengan ini bersama
ini/dengan ini
disebabkan
karena disebabkan oleh kurangnya dana kurangnya dana
(ii) Makna keseluruhannya tidak dapat dijabarkan
dari makna unsurnya masing‑masing. Perkataan kambing hitam dapat
bermakna kambing (binatang pemamah biak) yang warna bulunya hitam.
Dalam hal ini, baik kata kambing maupun hitam, maknanya masih
sama dengan makna leksikalnya (referensinya). Perkataan kambing hitam
dapat bermakna ungkapan, yaitu orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya
tidak bersalah, tetapi dipersalahkan atau menjadi tumpuan kesalahan. Disini
makna keseluruhan ungakpan itu tidak dapat dijabarkan dari makna leksikal kata kambing
dan hitam. Jadi, ungkapan itu bentuk bahasa yang memiliki kekhususan
dan merupakan bahasa teradat.
1.7
Makna Kolokatif
Makna kolokatif ialah makna kata yang
memiliki pertautan pikiran dengan kata‑kata tertentu yang berdampingan
(bersandingan). Contoh:
gadis
cantik/molek/jelita
pemuda
tampan/ganteng
Kata
gadis tidak berkolokasi dengan tampan/ganteng, juga kata pemuda
tidak berkolokasi degan kata cantik/molek/jelita. Jadi, tidak
lazim dikatakan
gadis
tampan/ganteng
pemuda
cantik/molek/jelita
Kata‑kata bersinonim seperti besar ‑
raya ‑ agung ‑ akbar ‑ raksasa dapat dilihat bedanya berdasarkan
keterbatasan kolokasinya.
┌
besar/raya
(i) jalan │
└ *
agung/akbar/raksasa
┌ agung
(ii)
jaksa │
└ *
besar/raya/akbar/raksasa
┌
besar/akbar/raksasa
(iii) rapat │
└ *
raya/agung
2.
Tata Hubungan Makna
Antara satu kata dan kata lain terdapat
hubungan makna. Dengan kata lain, ada hubungan makna antar kata. Ini dinamakan
tata hubungan makna. Hubungan makna antarkata itu meliputi (1) sinonim,
(2) antonim, (3) polisemi, (4) homonim, dan (5) hiponim.
Masing‑masing diuraikan berikut.
2.1
Sinonim (Persamaan Kata)
Sinonim ialah dua kata atau lebih yang
maknanya (1) sama atau (2) hampir sama (mirip). Contoh :
(1)
yang sama maknanya:
sudah ‑ telah
sebab ‑ karena
amat ‑ sangat
bunga ‑ kembang
meskipun ‑ walaupun ‑ biarpun
(2)
yang hampir sama maknanya :
cinta ‑ kasih ‑ sayang
indah ‑ permai ‑ baik
meninggal ‑ wafat ‑ gugur
melihat ‑ memandang ‑ menengok
untuk ‑ bagi ‑ guna
Kata‑kata
bersinonim dapat berupa (1) kata asli dan kata asli, (2) kata asli dan kata
serapa, dan (3) kata serapan dan kata serapan. Contoh :
(1)
baik ‑ bagus ‑ indah
mati ‑
meninggal ‑ berpulang
cepat
‑ lekas ‑ layu
(2)
bunga ‑ kembang (Jawa), puspa/kusuma (Sanskerta)
dapat
‑ bisa (Jawa)
datang
‑ hadir (Arab)
(3)
buku (Inggris/Belanda) ‑ kitab (Arab)
sebab
(Arab) ‑ karena (Sanskerta)
waktu
(Arab) ‑ ketika (Sanskerta)
Kata‑kata bersinonim dapat berbentuk (1)
kata dasar dan kata dasar, (2) kata dasar dan kata turunan dan (3) kata
turunan. Contoh :
(1)
betul ‑ benar
dapat ‑ bisa
cinta ‑ kasih ‑ sayang
(2)
tampak ‑ terlihat/kelihatan
awal ‑ permulaan
gawat ‑ berbahaya
(3)
ketua ‑ pemimpin
jangan‑jangan ‑ kalau‑kalau
orang tua ‑ ibu bapa
Sinonim yang terdiri atas kata dasar dan
kata dasar seperti contoh (1) di atas setelah menjadi kata turunan mungkin
tetap bersinonim, mungkin tidak. Contoh :
┌ dapat ┐
(i) Saya │ │
menyelesaikan tugas itu dengan baik.
└ bisa ┘
┌
sedapat‑dapatmu ┐
(ii) Kerjakan tugas itu │ (bersinonim)
└ sebisa‑bisamu ┘
┌ x kedapatanya ┐
(iii)
Ardy memperlihatkan │ │
dimuka
└ kebiasaannya ┘
penonton tidak bersinonim
Rangkaian kata‑kata bersinonim berikut ini
menghasilkan bentuk rancu. Contoh :
demi
untuk
seperti
misalnya
agar
supaya
adalah
merupakan
amat
sangat
Perlu
dicatat bahwa kata‑kata bersinonim itu kelas katanya harus sama. Contoh :
(1)
kata benda da kata benda
hadiah ‑ derma ‑ sedekah
pegawai ‑ karyawan
murid ‑ siswa
(2)
kata kerja dan kata kerja
melihat ‑ menonton ‑ memandang
jatuh ‑ gugur ‑ roboh
terbit ‑ timbul ‑ muncul
(3)
kata sifat dan kata sifat
pandai ‑ cerdik ‑ cakap
susah ‑ sedih ‑ gundah
enak ‑ nyaman ‑ sedap
(4)
kata keterangan dan kata keterangan
sudah ‑ telah
barangkali ‑ mungkin
sangat ‑ amat
(5)
kata depan dan kata depan
bagi ‑ untuk ‑ guna
kepada ‑ terhadap
tentang ‑ mengenai
(6)
kata sambung dan kata sambung
sebab ‑ karena
jika ‑ apabila
meskipun ‑ walaupun ‑ biarpun Catatan:
Kata‑kata bersinonim itu dapat dibedakan
atas beberapa perangkat sebagai berikut .
(1) Perangkat sinonim yang berbeda makna emotifnya,
tetapi sama makna kognitifnya. Contoh :
buruh ‑ pekerja ‑ pegawai ‑
karyawan
mati ‑ meninggal ‑ wafat ‑ mangkat
‑ gugur
(2) Perangkat sinonim yang berbeda kolokasinya
(persandingan yang sudah lazim) Contoh :
cantik ‑ molek ‑ jelita (berkolokasi
dengan
gadis).
tampan ‑ ganteng (berkolokasi
dengan pemuda)
(3) Perangkat sinonim yang berbeda berdasarkan
situasi pemakaiannya. Contoh :
saya (resmi) ‑ aku (tidak
resmi/akrab)
mari (resmi) ‑ ayo (tidak resmi)
(4) Perangkat sinonim yang berbeda berdasarkan
kaidah bahasa (baku ‑ tidak baku). Contoh :
supaya ‑ biar
daripada ‑ ketimbang
selagi ‑ mumpung
(5) Perangkat sinonim yang berbeda berdasarkan
laras bahasa (register) Contoh :gadis ‑
cewek (bahasa percakapan)
bunga ‑ kusuma/puspa (bahasa
sastra)
(6) Perangkat sinonim yang berbeda persebarannya
(posisi yang dapat diduduki oleh unsur bahasa). Contoh :
sangat tinggi ‑ tinggi sekali
hanya sehari ‑ sehari saja
Catatan
:
a. Sinonim tidak hanya terdapat antara kata
dan kata, tetapi terdapat juga
antara (1) morfem dan morfem (2) antara frasa dan frasa,
dan (3) antara kalimat dan kalimat. Contoh :
(1)
rumahku ‑ rumah saya
kubaca ‑ saya baca
(2)
orang tua ‑ ibu bapa
meninggal dunia ‑ berpulang ke
rahmatullah
(3)
Tono mencintai Tini ‑ Tini dicintai Tono
b. Sinonim tidak sama dengan padanan.
Padanan ialah kata/frasa yang sama maknanya dengan kata/frasa dalam bahasa lain
(asing). Contoh :
(1) upgrading ‑ penataran
editing
‑ penyuntingan
kiper
‑ penjaga gawang
(2) standar ‑ baku
konsisten
‑ taat asas/ajek
definisi
‑ batasan
Pemakaian
kata‑kata berpadanan seperti contoh di atas sering bersaingan. Dalam persaingan
itu ada salah satu yang tidak dapat bertahan, ada yang sama‑sama dapat
bertahan. Pada contoh (1) kata upgrading, editing, dan kiper
menghilang, sedangkan kata penataran, penyuntingan, dan penjaga
gawang muncul sebagai kata‑kata baru yang hidup. Pada contoh (2) baik kata‑kata
asing maupun padanannya sama‑sama dipakai dan menjadi kata‑kata yang bersinonim.
Berdasarkan kebijakan bahasa yang kita anut, sebaiknya yang kita pakai adalah
padanannya.
2.2
Antonim (Lawan Kata)
Antonim
ialah kata‑kata yang berlawanan maknanya. Contoh :
besar x kecil
tinggi x rendah
keluar x masuk
pulang x pergi
siang x malam
Kata‑kata
yang berlawanan itu dapat dibedakan atas empat macam, yaitu (1) berlawanan
kembar (mutlak), (2) berlawanan bertingkat, (3) berlawanan kebalikan, (4)
berlawanan majemuk, dan (5) berlawanan tata urutan. Contoh‑contoh :
(1) berlawanan kembar (mutlak)
pria
x wanita
jantan
x betina
hidup
x mati
Berlawanan
kembar hanya terbatas pada dua unsur dan pada umumnya berupa kata benda dan
kata benda.
(2) berlawanan bertingkat
tinggi
x rendah
besar
x kecil
panas
x dingin
Berlawanan
bertingkat tidak terbatas pada dua unsur saja. Antara dua kata yang berlawanan
itu masih terdapat tingkatan, misalnya : panas ‑ hangat ‑ dingin Kata‑kata
berlawanan bertingkat pada umumnya terdapat antara kata sifat dan kata sifat.
(3) berlawanan kebalikan
guru
x murid
belajar
x mengajar
utara
x selatan
Pada
kata‑kata yang berlawanan kebalikan terdapat hubungan timbal‑balik atau arah.
Pada umumnya kata‑kata berlawanan kebalikan itu berupa kata benda atau kata
kerja.
(4) berlawanan majemuk :
kemarin
x sekarang x besok pagi
kakak x saya x adik
barat
x utara x timur
Berlawanan
majemuk tidak terbatas pada satu lawan satu, tetapi satu kata dapat berlawanan
dengan dua atau lebih. Kata putih dapat berlawanan dengan kata hitam,
hujan, kuning dan merah.
(5) berlawanan tata urutan
meter
x sentimeter
liter
x sentiliter
prajurit
x opsir
Yang
termasuk berlawanan tata urutan adalah nama satuan ukuran (berat, panjang, isi),
nama satuan hitungan dan penanggalan, dan nama satuan jenjang kepangkatan.
2.3 Polisemi
Polisemi
ialah satu kata yang bermakna banyak (lebih dari satu/ganda). Contoh:
(1)
Dia jatuh dari sepeda.
(2)
Harga beras jatuh (turun, merosot).
(3)
Setiba dirumah dia jatuh sakit (menjadi).
(4)
Dia jatuh dalam ujiannya (gagal/tidak lulus).
(5)
Hari ulang tahunnya jatuh pada hari minggu (tepat
pada).
(6)
Perusahaan yang dipimpinannya jatuh (bangkrut).
Pada
kalimat (1) kata jatuh (bangkrut) bermakna lugas. Pada kalimat
(2), (3), (4), dan (5) bermakna kias. Polisemi seperti contoh di atas
muncul karena berbeda dalam konteksnya (konteks gramatikal)
Di samping itu, polisemi dapat terjadi
karena lingkungan sosial yang berbeda. Contoh :
(1)
Dokter sedang mengoperasi pasien.
(2)
Perwira muda itulah yang berhasil memimpin operasi penumpasan pengacau
keamanan.
(3)
Banyak pencopet yang beroperasi di bus‑bus.
Selanjutnya, polisemi dapat juga
ditimbulkan oleh pengaruh asing yang berupa peminjaman makna. Contoh :
(1)
Tini membeli telur sepuluh butir
(2)
Jalur pemerataan dalam P4 terdiri atas delapan butir
(padanan
kata item).
2.4
Homonim
Homonim ialah dua kata atau lebih yang
ejaan dan/atau lafalnya sama, tetapi maknanya berbeda. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia kata‑kata yang berhomonim dijelaskan sebagai berikut.
1 bak p kata depan untuk menyatakan
perbandingan; bagaikan: kedua anak itu wajahnya mirip , ... pinang dibelah
dua.
2 bak n 1 kotak besar (tempat sampah dsb); 2
kolom tempat air.
3 bak n tinta Cina (hitam warnanya)
4 bak n tiruan bunyi; debak
Angka
arab 1, 2, 3 dan 4 yang diletakkan di depan lema itu menunjukkan homonim yang
homograf dan homofon.
Kata‑kata yang berhomonim dapat dibedakan
atas tiga macam, yaitu homonim yang (1) homograf, (2) homofon,
dan (3) homograf dan homofon. Contoh:
1)
homograf (sama ejaannya, berbeda ucapannya)
teras
n : bagian kayu yang keras, inti kayu
teras
n : teras rumah; lantai yang agak tinggi di
depan rumah
apel n
: buah apel
apel v
: naik banding ke pengadilan yang lebih
tinggi
apel v
: wajib hadir dalam upacara resmi
2)
homofon (sama ucapannya, berbeda ejaannya)
bang
: bang Amat 'kak'
bank
: bank Bumi Daya
sangsi
: tidak sangsi 'bimbang', 'ragu‑ragu'
sanksi
: tidak ada sanksinya apa‑apa tindakan‑
tindakan, hukuman, dsb.
3) homograf dan homofon (homonim yang ejaan dan
ucapannya sama)
1 genting a : tegang; berbahaya
2
genting n : tutup atap rumah yang dibuat dari tanah
liat yang dicetak dan dibakar
1 babat v tebas
2 babat n daging perut besar : soto babat
3 babat n golongan yang sama jenisnya
(keadaannya)
Dalam bahasa Indonesia terdapat homonim
yang homograf dan homofon yang berupa kata turunan (berimbuhan). Contoh :
(i) beruang (ber ‑+ ruang) 'mempunyai ruang'
beruang
(ber ‑+ ruang) 'mempunyai uang'
(ii)
mengarang (meng ‑+ arang) 'menjadi arang'
mengarang
(meng ‑+ karang) 'menjadi seperti batu karang'
mengarang
(meng ‑+ karang) 'membuat karangan'
Bagaimanakah
homonim itu dapat terjadi ? Ada dua kemungkinan yang menyebabkan terjadinya
homonim, yaitu (1) masuknya unsur serapan baik dari bahasa daerah maupun asing
dan (2) proses morfologis.
Contoh
(1) :
1
bisa : 'racun' (bahasa Indonesia)
2 bisa : 'dapat' (dari bahasa Jawa)
bang : 'azan' / 'abang' (kakak)
bank : 'bank' Bumi Daya
Contoh
(2) :
mengukur
(meng ‑+ kukur): 'memarut' kelapa; menggaruk
garuk kepala karena gatal'
mengukur (meng ‑+ ukur): 'menghitung
ukurannya
(panjang, luas, tinggi, dan
besar)
berevolusi (ber ‑+ evolusi)
berevolusi (ber ‑+ revolusi)
Catatan
:
Polisemi tidak sama dengan homonim. Perbedaannya
Sebagai berikut:
Polisemi Homonim
(1) bersumber pada satu bersumber pada dua kata
kata saja; atau lebih;
(2) maknanya masih ber ‑ maknanya berbeda dan tidak
hubungan. berhubungan.
Perhatikanlah
contoh perbadingan berikut ini !
Polisemi Homonim
(1) kopi bubuk kopi kahwa (coffee : Inggris)
(2) kopi beras (kopi yang kopi
'salinan surat' (copy :
kental/pahit) Inggris
(3) mendapat kopi pahit
(kena marah)
(4) uang kopi (uang lelah)
(5) mengopi minum kopi mengopi surat 'memfotokopi'
surat'
2.5.
Hiponim
Hiponim
ialah kata‑kata yang maknanya tercakup atau ada di bawah kata yang menjadi
hipernimnya (atasannya). Contoh : kata mawar, melati, cempaka, kenanga,
kantil, dan anggrek adalah hiponim dari bunga.. Semua jenis
bunga termasuk atau ada di bawah kata bunga yang menjadi hipernimnya.
Hubungan antara mawar, melati, cempaka, kenanga, kantil, dan anggrek
(sama‑sama jenis bunga) disebut kohiponim).
Perlu
dicatat bahwa hiponim itu pada gilirannya dapat menjadi hipernim
bagi sejumlah hiponim yang ada di bawahnya.
Contoh
(1):
bunga
│
┌─────────┬─────┴────┬───────────┐
│ │ │ │
melati
mawar kenanga
kantil
│
┌────── ┼──────┐
│ │ │
merah putih kuning
Contoh
(2) :
makhluk
│
┌─────────┼─────────┐
│ │ │
manusia binatang tumbuh‑tumbuhan
│
┌─────────┼─────────┐
│ │ │
ikan Unggas
insekta
│
┌──────┬───────┼─────┬───────┐
│ │ │ │ │
lele tongkol
teri gurami mujair
Catatan
:
Sering kita jumpai pemakaian hiponim
sebagai "bawahan" dan hipernim sebagai "atasan" sekaligus
sehingga menimbulkan bentuk yang mubazir.
Contoh:
(i) Saya suka makan pecal ikan lele.
(ii) Sehabis makan, dia makan buah pisang
(iii)
Warna putih merupakan lambang kesucian.
(iv) Jalan‑jalan di kota saya sudah diterangi oleh
lampu‑
lampu neon.
Kalimat‑kalimat
di atas dapat dihematkan menjadi
(ia) Saya suka makan pecal lele.
(iia) Sehabis makan, dia makan pisang.
(iiia)
Putih merupakan lambang kesucian.
(iva) Jalan‑jalan di kota saya sudah diterangi oleh
neon‑
neon.
3.
Perbedaan Makna
Kadang-kadang kita sulit memahami makna
kata terutama kata-kata bersinonim. Banyak kata -- lebih-lebih kata bersinonim
-- memang memiliki perbedaan makna yang halus. Bagaimanakah cara kita
membedakannya? Kita dapat membedakan atau menjelaskannya dengan cara melihat
hubungannya dengan kata lain. Dengan cara itu, kita akan menemukan perbedaan
makna kata. Perbedaan makna kata itu ada bermacam-macam sebagaimana dijelaskan
berikut.
3.1
Perbedaan Taraf (Gradasi)
Kata-kata bisa memiliki perbedaan taraf.
Dua kata bersinonim dapat memiliki perbedaan taraf makna. Contoh:
sumpah
-- janji
cita-cita
-- keinginan
Kata
sumpah lebih tinggi tarafnya daripada janji sebab sumpah saksinya
Tuhan, sedang janji saksinya manusia. Kata cita-cita lebih tinggi
tarafnya daripada keinginan. Contoh dalam kalimat:
1) Sumpah itu diucapkannya dengan tulus.
Janjinya
kepada ayah belum dipenuhi.
2) Ia bercita-cita menjadi dokter.
Ia
berkeinginan membeli rujak.
3.2
Perbedaan Tekanan
Kata-kata dapat berbeda tekanan maknanya.
Dua kata bersinonim kadang-kadang mengandung perbedaan tekanan makna. Inti
maknanya sama. Contoh:
perawan
-- gadis
sahabat
-- teman
Sebenarnya
kata perawan dan gadis bermakna sama, hanya tekanannya berbeda.
Kata perawan lebih menekankan sifat emosional yang lebih kuat daripada
kata gadis. Demikian juga kata sahabat lebih menekankan keakraban
daripada teman. Contoh dalam kalimat:
1) Gadis itu pergi sendiri.
Dia
sudah perawan.
2) Dia sahabat karib saya.
Dia
teman saya.
3.3
Perbedaan Luas-Sempit
Kata-kata dapat memiliki perbedaan
luas-sempit cakupan maknanya. Kata-kata berhiponimi umumnya memiki perbedaan
luas-sempit cakupan makna. Contoh:
unggas
--- burung
binatang
--- kera
Kata
unggas lebih luas cakupan maknanya daripada kata burung. Kalau
burung pasti unggas, tetapi unggas belum tentu burung. Demikian juga kata binatang
lebih luas cakupan maknanya daripada kata kera. Kalau kera pasti binatang,
tetapi binatang belum tentu kera. Contoh dalam kalimat:
1) Hasnah berternak unggas.
Arief
memelihara burung.
2) Sahdubudi pergi ke kebun binatang.
Syarif
memiliki seekor kera.
3.4
Perbedan Asal-Usul
Kata-kata kadang-kadang memiliki makna
sama persis, tetapi asal-usulnya berbeda. Perbedaan asal-usul saja yang ada.
Contoh:
kawin
-- nikah
roh
-- jiwa -- nyawa
Kata
kawin berasal dari bahasa Parsi,
sedang kata nikah dari bahasa Arab. Kata roh berasal dari bahasa
Arab, jiwa dari bahasa Sanskerta, dan nyawa dari bahasa
Indonesia/Jawa. Contoh dalam kalimat:
1) Ia sudah menikah.
Ia
sudah kawin.
2) Semoga rohnya diterima di sisi-Nya.
Jiwanya
terancam.
Nyawanya
terancam.
3.5
Perbedaan Bentuk Kata
Kata-kata kadang-kadang memiliki makna
inti sama, tetapi bentuk katanya berbeda. Perbedaan bentuk kata saja yang ada.
Contoh:
roh
-- arwah
unsur
-- anasir
Kata
roh merupakan bentuk tunggal, arwah merupakan bentuk jamak.
Demikian juga kata unsur merupakan bentuk tunggal, anasir
merupakan bentuk jamak. Contoh dalam kalimat:
1) Semoga rohnya diterima di sisi-Nya.
Arwah
pahlawan yang mendahului kita.
2) Unsur apa saja yang terlibat kerusuhan?
Anasir
apa saja yang terlibat kerusuhan?
3.6
Perbedaan Konsep
Kata-kata juga dapat memiliki perbedaan
konsep, yaitu gagasan atau pikiran yang terkandung dalam kata tersebut. Contoh:
segan
-- enggan
menanti
-- menunggu
Kata
segan berarti hormat kepada seseorang, sedang kata enggan berarti
tidak mau atau malas. Kata menanti menggambarkan objek yang jauh, sedang
kata menunggu menggambarkan objek yang dekat. Contoh dalam kalimat:
1) Muaz segan terhadap Bapak Guru yang berwibawa
itu.
Ia
enggan ke rumah Salim.
2) Ikram menanti kereta api.
Maulana
menunggui orang sakit.
3.7
Perbedaan Pemakaian
Kata-kata dapat memiliki perbedaan wilayah
pemakaian. Makna intinya sama. Contoh:
sumber
-- mata air
segala
-- semua
Dalam
bahasa Indonesia ada istilah sumber hukum, sumber berita, sumber kemiskinan,
dan sumber masalah. Tidak ada istilah mata air hukum, mata air
berita, mata air kemiskinan, dan mata air masalah. Demikian juga ada
istilah segala sesuatu, segala-galanya, dan segala kebaikan,
tetapi tidak ada istilah semua sesuatu, semua-muanya; ada semua
kebaikan.
4.
Perubahan Makna
4.1
Penyebab Perubahan Makna
Makna kata-kata bahasa Indonesia dapat
berubah. Perubahan makna itu dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu (1) faktor
kebahasaan dan (2) faktor nonkebahasaan. Masing‑masing diuraikan berikut.
4.1.1
Faktor Kebahasaan
Perubahan
makna yang disebabkan oleh faktor kebahasaan berkaitan dengan proses (1) morfologi
atau (2) sintaksis. Contoh :
(1)
(i) Mereka sedang makan dan minum.
(ii)
Rumah makan dijual berbagai makanan dan minuman.
(iii) Dia seorang peminum dan
pemabuk.
(iv)
Mereka sedang makan‑makan dan minum‑minum.
(2)
(i) Tono sungguh mencintai Tini.
(ia)
Tini sungguh dicintai Tono.
(ic)
Tini mencintai Tono.
Perubahan
kata makan pada contoh (i) disebabkan oleh proses pengimbuhan, pengulangan,
dan pemajemukan, sedangkan pada contoh (2) kalimat (i) berubah maknanya
karena diubah menjadi pasif ((ia)) dan diubah subyek‑obyeknya ((ie)).
Pengaruh
asing ke dalam bahasa Indonesia yang berupa peminjaman makna dapat
menyebabkan perubahan makna. Misalnya, kata butir yang semula dipakai
sebagai kata penolong benda yang bulat‑bulat dan kecil‑kecil (sebutir kelereng/
telur/biji) sekarang dipakai sebagai padanan kata asing item.
Contoh:
(i) Jalur
pemerataan P4 terdiri atas delapan butir (hal/soal). (ii) Dalam
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil Bab II, Pasal 2 butir (nomor)
pertama disebutkan bahwa setiap pegawai negeri sipil wajib setia dan taat
kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintah.
Contoh‑contoh
lain :
acuan : (i)
cetakan (klise,peluru,dsb)
(2) rujukan (padanan kata referen)
kemudahan : (i) kegampangan
(2) padanan kata fasilitas
merakit : (i) naik rakit
(2) merakit mobil (padanan kata to
assemble)
perakitan = assembling
meliput : (i)
menutupi
(2) padanan kata meng‑cover
Gejala bahasa dapat menyebabkan perubahan
makna kata bahasa Indonesia. Misalnya, kata sahaya yang semula bermakna
hamba, abdi, budak, tetapi karena berubah bentuknya menjadi saya
(gejala pemendekan) artinya berubah menjadi orang pertama yang hormat. Kata sah
yang berarti berlaku/diakui kebenarannya oleh pihak resmi sering dilafalkan
dan ditulis syah (gejala pembenaran berlebihan). Padahal, kata syah
berarti 'raja'.
Selanjutnya,
akibat pengaruh dialek suatu kata dapat berubah maknanya. Misalnya, kata tahu
yang dalam bahasa Indonesia berarti 'mengerti sesudah melihat', tetapi karena
pengaruh dialek Jakarta, artinya menjadi 'tidak tahu'.
4.1.2
Faktor Nonkebahasaan
Perubahan
makna yang disebabkan oleh faktor nonkebahasaan berkaitan faktor (i) waktu,
(2) tempat, (3) sosial, (4) lingkungan (domain), dan (5) perubahan
konotasi.
4.1.2.1
Perubahan Makna karena Perubahan Waktu
Kata
pujangga semula bermakna 'ular', kemudian bermakan sarjana, dan sekarang
bermakna pengarang hasil‑hasil sastra baik puisi maupun prosa.
Contoh‑contoh
lain :
Makna dahulu Makna
sekarang
berlayar
'bepergian' dengan 'bepergian dengan menumpang menumpang perahu yang perahu yang memakai layar
memakai
'layar' atau tidak, yaitu dengan
kapal yang memakai mesin
uap atau motor disel
juara
'pengatur dan pelerai pemenang pertama dalam
dalam
persambungan ayam' perlombaan/pertandingan
bapak
'orang tua laki‑laki; sapaan terhadap orang laki‑
'ayah' laki yang umurnya lebih tua
atau yang kedudukannya
lebih tinggi
4.1.2.2
Perubahaan Makna karena Perbedaan Tempat
Kata
bangsat di Minangkabau bermakna 'orang miskin/jembel; di Jakarta bermakna 'kepinding'; dalam bahasa Indonesia
bermakna 'orang yang bertabiat jahat (suka mencuri, merampok, dsb.)
Contoh‑contoh
lain :
batin : di Sumatra bermakna 'penghulu adat; dalam
bahasa
Indonesia bermakna 'yang terdapat
dalam hati
(perasaan hati)
lurah : di Jawa bermakna 'kepala desa; dalam
bahasa Indonesia bermakna 'lembah; jurang'
butuh : di Jawa berarti 'perlu', di
Kalimantan
Timur/Palembang berarti 'kemaluan
laki‑laki;
dalam bahasa Indonesia berarti
'perlu'
4.1.2.3
Perubahan Makna karena Faktor Sosial
Kata
oknum bermakna 'penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik, lalu bermakna
'orang yang terlibat dalam hal‑hal yang kurang baik.
Contoh‑contoh
lain :
kebijaksanaan
: selalu menggunakan akal budinya,
arif, dan tajam pikiran; sekarang kata yang bernilai positif ini merosot
konotasinya akibat kasus‑kasus di masyarakat yang tidak baik
gerombolan : kelompok
orang yang berkumpul/bergerombol; lalu kata tersebut tidak disukai masyarakat
karena kata ini dihubungkan dengan pengacau, pemberontak, perampok, dsb.
pahlawan : pejuang
yang rela berkorban untuk membela tanah air dan bangsa (pahlawan
nasional/revolusi), kata tersebut lalu dipakai untuk menyebut orang dapat
menentukan suatu keberhasilan (pahlawan Piala Uber/Piala Thomas)
4.1.2.4
Perubahan Makna karena Perbedaan Lingkungan
Kata
kitab secara umum bermakna 'buku' (kitab tulis = buku tulis); di
lingkungan agama kata kitab bermakna 'buku suci' (kitab suci Alquran, Injil,Taurat,Zabur)
Contoh‑contoh
lain :
jurusan : (i)
di lingkungan lalu lintas bermakna 'arah;tujuan'
(2)
di lingkungan pendidikan tinggi bermakna
'bagian fakultas (jurusan
bahasa dan
sastra Indonesia,jurusan bahasa
Inggris,
dan sebagainya.)
(3) di lingkungan olahraga pencak
silat kata
jurus bermakna 'bagian
sikap badan
(tegak,condong,dsb.)
operasi : (i) di lingkungan kedokteraan bermakna
'pembedahan'
(2) di lingkungan kemiliteran bermakna
'taktik berperang'
(3) di lingkungan kepolisian
bermakna
'tindakan ekonomi'/'kejahatan'
imam : (i) di lingkungan agama Islam bermakna
'pemimpin pada waktu sholat;
(2) di lingkungan agama Katolik
bermakna
'padri atau pendeta Katolik'
4.1.2.5
Perubahan Makna karena Perubahan Konotasi
Kata
mengamankan bermakna 'menjadikan tidak berbahaya, tidak rusuh (kacau,
kemelut, dsb.)/tenteram'. Karena ada perubahan konotasi, maknanya kemudian
berubah menjadi 'menahan, menangkap, atau memenjarakan': polisi mengamankan
pembunuh/perampok/koruptor,dsb. Dalam hal ini, ada faktor psikologis,
yaitu mengurangi ketakutan dari pihak yang ditahan/ditangkap atau perlakuan
yang sopan/halus terhadap dia.
Contoh‑contoh
lain :
dibebastugaskan :
(1) 'diberi
izin tidak melaksanakan tugasnya '; misalnya : Dia dibebastugaskan
karena cuti hamil.
(2)
'diberhentikan dari tugasnya/jabatanya; misalnya : Dia dibebastugaskan
karena melanggar peraturan pemerintah (PP10)
diistirahatkan : (1) 'disuruh berhenti sebentar untuk
mengaso';
(2) 'diberhentikan dari pekerjaan (di‑PHK‑kan)'
dirumahkan : (1) 'disuruh bertempat tinggal di rumah,
tidak bergelandengan';
(2) 'dibebaskan tidak bekerja dengan menyuruh
tinggal dirumah saja'
4.2
Macam‑macam Perubahan Makna
Berdasarkan
sebab‑sebab perubahan makna, dapat dibedakan enam macam perubahaan makna, yaitu
(1) perluasan makna, (2) penyempitan (pembatasan) makna, (3) peninggian makna,
(4) penurunan makna, (5) persamaan makna, dan (6) pertukaran makna.
4.2.1
Perluasan Makna
Perluasan
makna ialah perubahan makna dari yang sempit/khusus ke yang luas/umum. Jadi,
cakupan makna baru menjadi luas (makna) dibandingkan dengan makna lama/semula.
Contoh :
Lama Baru
bapak
'orang tua laki‑laki; 'semua orang laki‑laki yang
ayah' umurnya
lebih tua atau
kedudukannya lebih tinggi'
saudara
'anak‑anak yang se‑ 'semua orang yang
sama umur
kandung/seibu se‑ /kedudukan' (kata sapaan)
bapak' (kata ke‑
kerabatan)
berlayar'mengarungi
laut 'mengarungi laut tidak hanya
dengan kapal yang dengan kapal layar,
menggunakan layar' tetapi juga dengan kapal
yang bermesin'
Catatan
:
Dalam
bahasa Indonesia terdapat pasangan kata yag berjenis kelamin laki‑laki/pria
dan perempuan/wanita, yaitu :
pemuda
‑ pemudi;
mahasiswa ‑ mahasiswi;
karyawan ‑ karyawati;
hadirin ‑ hadirat;
Dalam
perkembangannya kata‑kata yang berjenis laki‑laki/pria mengalami perluasan
makna sebab kata pemuda/mahasiswa/karyawan/hadirin mencakup yang laki‑laki/pria
dan yang perempuan/wanita.
4.2.1
Penyempitan Makna
Penyempitan
makna ialah perubahan makna yang luas/umum ke yang sempit/khusus. Jadi,
cakupan makna baru menjadi sempit (menyempit) jika dibandingkan dengan cakupan
makna lama. Contoh :
Lama Baru
sarjana
'orang pandai/ 'lulusan perguruan
tinggi/
cendekiawan lulusan universiter'
pendeta '
orang yang ber‑ 'guru agama Kristen
atau
ilmu'(dari bahasa Domine'
Sanskerta)
sastra '
semua tulisan ' 'tulisan yang
bersifat
seni/karya seni bahasa'
4.2.3
Peninggian Makna
Peninggian
makna ialah perubahan makna yang mengakibatkan makna yang baru dirasakan lebih
tinggi/hormat/baik/halus daripada makna yang lama (semula).
Contoh
:
Lama Baru
wanita
'yang diinginkan' 'lebih
tinggi/hormat dari‑
(oleh pria) pada kata perempuan'
seni
'air kencing' 'ciptaan yang bernilai/
indah/halus (seni
sastra, seni musik,
bung 'panggilan kepada 'panggilan kepada tokoh/
orang laki‑laki pemimpin (Bung Karno,
(abang) Bung Tomo, Bung sahrir)
4.2.4
Penurunan Makna
Penurunan
ialah perubahan makna yang mengakibatkan makna baru dianggap lebih
rendah/kurang baik/kurang halus daripada makna lama (semula).
Contoh
:
Lama Baru
Perempuan
'menjadi tuan' 'lebih rendah
daripada kata
wanita'
bini
'perempuan yang 'lebih rendah
daripada kata
sudah dinikahi' istri/nyonya'
bekas
'pernah menjabat 'dianggap lebih
rendah dari
atau menjadi ...' pada kata mantan
(bekas menteri, (mantan menteri,mantan
bekas gubernur, gubernur, mantan wali
bekas walikota,dsb) kota,dsb.)
Catatan
:
a. Penggantian kata bekas dengan mantan
dimaksudkan untuk menghilangkan konotasi yang buruk dan juga dipakai untuk
menghormati orang yang pernah memangku suatu jabatan atau profesi yang baik.
Untuk menyebut orang‑ orang yang pernah berbuat jahat, misalnya ,tetap dipakai
kata bekas (bekas perampok/pemberontak/pengacau/narapidana, dsb.)
Untuk menyebut barang‑barang/binatang yang tidak dipakai lagi dipakai kata bekas
(bekas mobil gubernur, bekas kuda balap).
b. Kata‑kata bentukan baru dengan kata tuna
dirasakan lebih halus/hormat daripada kata yang sudah ada dan merupakan ungkapan
halus (eufemisme). Contoh :
tunarungu ‑ tuli
tunanetra ‑ buta
tunawicara
‑ bisu
tunawisma ‑ gelandangan
tunasusila
‑ pelacur
4.2.5
Persamaan (Asosiasi)
Persamaan
atau asosiasi ialah perubahan makna yang terjadi akibat persamaan sifat antara
makna lama (semula) dan makna baru. Contoh :
Lama Baru
amplop
'sampul surat' 'uang
sogok/suap'
samir
'lemak berwarna untuk 'uang suap'
mengkilapkan kulit/
sepatu'
mencatut
'mencabut paku 'menarik
keuntungan'
dengan catut'
4.2.6
Pertukaran (Sinestesia)
Pertukaran
ialah perubahan makna akibat pertukaran tanggapan dua indra yang berbeda.
Contoh
:
Kata‑katanya
pedas.
(pendengar
perasa)
Rupanya
manis.
(penglihat
perasa)
Suaranya
halus. (pendengar perasa)
Warna
lukisan itu sangat ramai.
(penglihat pendengar)
Catatan
:
a.
Bandingkan tuturan dengan kata manis berikut ini !
(i) gula manis (makna lugas)
(ii) gadis manis (makna kiasan)
(iii)
Kata‑katanya manis (sinestesia)
b. Sinestesia adalah sejenis metafora. Bedanya
dengan metafora adalah sebagai berikut.
Sinestesia Metafora
terjadi
dari pertukaran majas
yang berupa per‑
tanggapan
dua indra yang bandingan secara lang‑
berbeda
(tidak ada per ‑ sung (raja siang=mata‑
bandingan
antara dua hal) hari; ratu dunia=koran)
5.
Cara Memperkaya Kosakata
Para pengguna bahasa Indonesia perlu
terus-menerus memperkaya, memperluas, dan memperdalam kosakata yang
dimilikinya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara (1) memanfaatkan kamus, (2)
menganalisis kata, dan (3) berlatih menggunakan kata bahasa Indonesia.
5.1
Memanfaatkan Kamus
Kamus baik kamus umum, sinonim, ungkapan
maupun tesaurus merupakan daftar kosakata yang terdapat atau dimiliki oleh
suatu bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Umum Bahasa Indonesia
susunan W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Badudu-Zain susunan St. Mohammad
Zain dan J.S. Badudu, Kamus Ungkapan susunan J.S. Badudu, dan Kamus
Sinonim susunan Harimurti Kridalaksana, misalnya, memuat daftar kosakata
yang terdapat atau dimiliki oleh bahasa Indonesia. Kamus-kamus itu merupakan
sumber kosakata bahasa Indonesia bagi para pengguna bahasa Indonesia. Oleh
karena itu, dapat dimanfaatkan untuk memperkaya, memperluas, dan memperdalam
kosakata yang dimiliki oleh pengguna bahasa Indonesia.
Pemanfaatannya bisa dilakukan dengan
berbagai cara.
1) Cara pertama, pengguna bahasa
Indonesia dapat membuka kamus setiap kali menemukan kesulitan atau mengalami
masalah yang berkenaan dengan jenis, makna, atau fungsi kata pada waktu
berbahasa Indonesia. Misalnya, pada waktu mengalami masalah dengan kata mantan
dan bekas, pengguna bahasa Indonesia dapat mencari penjelasan dengan
jalan membuka kamus.
2) Cara kedua, pengguna bahasa Indonesia
perlu sesering mungkin membuka kamus untuk memperluas dan memperdalam makna
dan fungsi kata yang telah diketahuinya. Setelah secara umum mengetahui makna canggih
itu sophisticated, perlu kiranya pengguna bahasa Indonesia membuka kamus
guna mengetahui makna lain canggih.
3) Cara ketiga, pengguna bahasa
Indonesia dapat mengecek kata-kata sukar yang diperoleh dalam berbahasa
Indonesia dengan bantuan kamus. Misalnya, ketika pengguna bahasa Indonesia
tidak mengetahui makna waralaba dan imbal beli sewaktu membaca
berita di surat kabar, dia dapat memanfatkan kamus.
5.2
Menganalisis Kata
Menganalisis kata berarti menghimpun
(menginventariasi), mengidentifikasi, menggolongkan, dan menjelaskan struktur,
jenis, makna, dan fungsi kata baik secara terpisah maupun kontekstual. Kegiatan
itu sangat bermanfaat bagi para pengguna bahasa Indonesia. Kebiasaan dan
kegemaran pengguna bahasa Indonesia menganalisis kata akan memperkaya,
memperluas, dan memperdalam kosakata yang mereka miliki atau ketahui. Oleh
karena itu, ada baiknya mereka membiasakan diri menganalisis kata-kata bahasa
Indonesia yang kurang (tidak) mereka ketahui makna dan fungsinya; mereka gunakan
dalam berbahasa Indonesia; mereka temui dalam bacaan dan pembicaraan.
Ada beberapa cara menganalisis kosakata
yang dapat dilakukan oleh para pengguna bahasa Indonesia.
1) Cara pertama, pengguna bahasa Indonesia
dapat menganalisis pasangan-pasangan tetap, sandingan tetap, atau konteks
pemakaian yang dimiliki oleh sebuah kata. Misalnya, kata bunga memiliki
pasangan tetap bunga desa, bunga bangsa, bunga pinjaman, bunga uang, bunga
jantan, bunga betina, dan bunga api. Kata cantik bersanding dengan kata dengan gadis,
wanita, boneka, dan permainan. Kata cantik juga memiliki
pasangan tetap dengan kata molek dan jelita. Contoh selanjutnya,
kata mati, wafat, mangkat, gugur, tewas, mampus, berpulang, meninggal dunia,
dan kembali ke rahmatullah memiliki konteks pemakaian yang berbeda,
tetapi relatif tetap. (Perampok itu tewas/mampus, Ia telah mati, Sang Raja
telah mangkat, Pahlawan itu gugur di medan tempur, Nenek/Kakek meninggal
dunia/wafat/berpulang/kembali ke rahmatullah tiga tahun lalu).
2) Cara kedua, pengguna bahasa Indonesia
menganalisis tata hubungan makna kata, yaitu hubungan kesinoniman,
keantoniman, kehiponiman, dan kepolisemian. Misalnya, setelah membaca sebuah
bacaan tentang bunga, pembaca bisa mencatat kata-kata penting tentang bunga,
yaitu bunga, mawar, melati, bunga bangkai, harum, dan busuk. Setelah itu, kata-kata penting itu dicari
sinonim, antonim, hiponim, homonim atau poliseminya: apakah sinonim bunga?;
apakah hiponim bunga?;apakah polisemi bunga?.
3) Cara ketiga, pengguna bahasa Indonesia
dapat menganalisis hubungan mendatar (sintagmatis) dan menurun (paradigmatis).
Misalnya, berdasarkan hubungan mendatar, jenis dan makna kata cangkul,
telepon, dan membaca dapat
diketahui dengan cara menempatkannya dalam berbagai posisi dalam kalimat: (i)
Cangkul itu mahal harganya;Ia cangkul juga ladang itu, (ii) Telepon
sudah memasyarakat; Ia telepon kakaknya, dan (iii) Membaca menjadi kegemarannya;
Dia membaca koran pagi . Selanjutnya, berdasarkan hubungan menurun,
dengan kata pramu atau pramugari
dapat dikembangkan kata pramugara, pramuwisata, pramuwisma,
pramusiwi, pramuria, dan pramusaji. Dengan kata juru dapat
dibentuk juru lampu, juru rawat, juru rias, juru catat, dan juru
tagih. Dengan imbuhan me- dapat dibentuk memerah, menguning,
menghijau, menangis, mengeluh, meminta, mencangkul, menyabit, dan sebagainya.
4) Cara keempat, pengguna bahasa Indonesia
dapat menganalisis konteks kata bahasa Indonesia baik konteks kalimat maupun
wacana. Dengan konteks itu akan dapat diketahui berbagai macam makna suatu
kata. Misalnya, kata bisa dalam konteks Saya bisa membaca
dan Ia menelan bisa ular bermakna 'dapat' dan 'racun'; kata roman
dalam konteks Roman mukanya muram dan Ia membaca roman
bermakna 'raut muka' dan 'jenis karya sastra'; dan kata tanggal
dalam konteks Giginya telah tanggal dan Sekarang tanggal
lima bermakna 'lepas' dan 'urutan hari'.
5.3
Berlatih Menggunakan Kata
Berlatih menggunakan kata berarti
mempraktikkan atau menerapkan kata-kata dalam kegiatan berbahasa Indonesia
secara nyata. Secara berarti, kegiatan ini dapat memperkaya, memperluas, dan
memperdalam kosakata seseorang. Semakin sering seseorang berlatih menggunakan kosakata,
semakin kaya, luas, dan dalam kosakata yang dimiliki dan diketahuinya.
Dikatakan demikian karena berlatih menggunakan kata selalu melibatkan seseorang
secara nyata dalam kegiatan berbahasa Indonesia sehingga ia benar-benar dapat
belajar. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara.
1) Cara pertama, pengguna bahasa
Indonesia, terutama murid-murid SD atau MI, dapat berlatih menggunakan kata
bahasa Indonesia dalam permainan tertentu. Mengisi teka-teki silang, bermain scrable,
dan mencocokkan pasangan kata adalah contoh bentuk permainan yang bisa
dipakai untuk memperkaya, memperluas, dan memperdalam kosakata bahasa
Indonesia.
2) Cara kedua, pengguna bahasa Indonesia,
terutama murid-murid SD atau MI, dapat berlatih menggunakan kata bahasa Indonesia
dalam berbicara dan menulis. Berbagai bentuk kegiatan berbicara dan menulis
memerlukan kata-kata kunci berbeda. Mengenalkan diri, berdoa, bertanya harga,
bercakap-cakap tentang pelajaran, dan sebagainya membutuhkan kata-kata berbeda.
Demikian juga menulis telegram, slogan, iklan, surat izin, pengalaman liburan,
dan sebagainya membutuhkan kata-kata berbeda. Kegiatan ini membutuhkan kosakata
yang kaya, luas, dan dalam. Hal ini menuntut sekaligus membuat pengguna bahasa
Indonesia memiliki perbendaharaan kata yang kaya, luas, dan dalam.
6.Pembelajaran
Kosakata Bahasa Indonesia
Bagaimanakah pembelajaran kosakata bahasa
Indonesia pada murid-murid MI? Pembelajaran itu dapat dilaksanakan dengan
mengindahkan seperangkat asas berikut ini.
1) Pembelajaran kosakata bahasa Indonesia
berhubungan langsung dengan pembelajaran makna dan fungsi kata; belajar
kosakata Indonesia berarti belajar makna dan fungsi kata Indonesia dalam
konteks kalimat atau wacana bahasa Indonesia.
2) Pembelajaran kosakata bahasa Indonesia
dilakukan dalam konteks kalimat atau wacana bahasa Indonesia. Kosakata
diajarkan secara kontekstual dan fungsional, tidak terpisah-pisah. Oleh karena
itu, pembelajaran kosakata terikat konteks.
3) Pembelajaran kosakata bahasa Indonesia dilakukan
secara terpadu dengan kegiatan pembelajaran menyimak, membaca, berbicara, dan
menulis serta apresiasi sastra Indonesia. Jika dimungkinkan atau diperlukan,
dapat pula dilakukan secara terpadu dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran
lain, misalnya IPA dan IPS.
4) Pembelajaran kosakata bahasa Indonesia
dilakukan dengan cara menjelaskan kosakata kepada murid-murid, melatihkan
penggunaan kata kepada murid, dan melibatkan murid-murid dalam berbagai
kegiatan berbahasa Indonesia. Kegiatan melatihkan penggunaan kata dan
melibatkan murid dalam kegiatan harus diutamakan daripada kegiatan menjelaskan
kosakata kepada murid-murid.
mnta nmer tlp Umi ada ga ..saya mau kosultasi mengenai bahasa..
ReplyDeletenmer saya 085251882348
ReplyDelete