Sunday, August 4, 2013

Kata dan Makna dalam Bahasa Indonesia




KOSAKATA DAN MAKNA BAHASA INDONESIA 

A. TUJUAN UMUM PEMBELAJARAN
     Setelah mempelajari topik ini, diharapkan Anda menguasai seluk-beluk kosakata bahasa Indonesia dan mampu menerapkannya ke dalam keterampilan ber­bahasa Indonesia.

B. TUJUAN KHUSUS PEMBELAJARAN
     Setelah mempelajari topik ini, diharapkan Anda:
1)  memahami pengertian kosakata bahasa Indonesia;
2)  memahami jenis-jenis kosakata bahasa Indonesia dan mampu menerapkan­nya ke dalam keterampilan berbahasa Indonesia;
3)  memahami asas-asas pemilihan kata bahasa Indonesia dan mampu menggu­nakannya dalam keterampilan berbahasa Indonesia;
4)  memahami sifat-sifat penggunaan kata bahasa Indonesia dan mampu mene­rapkannya ke dalam keterampilan berbahasa Indonesia;
5)  memahami jenis-jenis makna kata bahasa Indonesia dan mampu mene­rapkannya ke dalam keterampilan berbahasa Indonesia;
6)  memahami tata hubungan makna kata bahasa Indonesia dan mampu mene­rapkannya dalam keterampilan berbahasa Indonesia;
7)  memahami perubahan makna kata bahasa Indonesia dan mampu menerap­kannya dalam keterampilan berbahasa Indonesia;
8)  memahami perbedaan-perbedaan makna kata bahasa Indonesia dan mampu menerapkannya dalam keterampilan berbahasa Indonesia;dan
9)  memahami cara-cara memperkaya kosakata bahasa Indonesia dan mampu memprakti­k­kannya dalam keterampilan berbahasa Indonesia.
baca selanjutnya


C. URAIAN MATERI
1) Kosa Kata Bahasa Indonesia
1. Pengertian Kosakata Bahasa Indonesia
     Kosakata yang sering disebut perbendaharaan kata dapat diartikan sebagai berikut:
1)  semua kata yang terdapat dalam satu bahasa;
2)  kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang pembicara atau penulis;
3)  kata yang dipakai dalam suatu bidang ilmu atau pengetahuan;dan

4)  daftar kata yang disusun seperti kamus disertai penjelasan secara singkat dan praktis.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa kosakata bahasa In­donesia adalah semua kata yang terdapat dalam bahasa Indonesia, daftar kata bahasa Indonesia yang disusun dalam kamus-kamus, dan kekayaan kata bahasa Indonesia yang dimiliki oleh penutur bahasa Indonesia.
     Jumlah kosakata bahasa Indonesia secara pasti memang susah diketahui. Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat 62.100 kata bahasa Indonesia. Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminto memuat 40.00 kata bahasa Indonesia. Penutur bahasa Indonesia diharapkan menguasai sejumlah kata yang diperlukan­nya. Murid-murid sekolah dasar atau MI diharapkan mengu­asai sekitar 6.000 kosakata bahasa Indonesia. Murid-murid sekolah lanjutan per­tama dan sekolah me­nengah atau MTs dan MA diharapkan menguasai 15.000 kosakata bahasa Indonesia. Jumlah ini terdiri atas bermacam-macam jenis kosakata yang dijelaskan berikut.

2. Jenis-jenis Kosakata Bahasa Indonesia
     Jenis kosakata bahasa Indonesia ada bermacam-macam. Hal ini bergantung pada dasar penggolongannya. Berdasarkan ben­tukannya, ada kata dasar dan kata turunan (kata berimbuh­an, kata ulang, kata majemuk). Berdasarkan sifat, fungsi, dan perilakunya dalam kalimat, ada kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata tugas.Berdasarkan taraf keumumannya, ada kata umum dan kata khusus. Berda­sarkan taraf kebakukann­ya, ada kata baku dan kata tidak baku. Berdasar­kan ke­luasan pemakaiannya, ada kata populer dan kata kajian. Berdasarkan ke­seringannya dipakai, ada kata aktif dan kata pasif. Berdasarkan kejelasan acuan­nya atau apa yang dirujuknya, ada kata abstrak dan kata konkret. Masing-masing jenis kosakata itu dijelaskan berikut.

2.1 Kata Dasar dan Kata Turunan
     Kata dasar ialah kata yang belum mengalami proses penambahan baik be­rupa pengimbuhan, pengu­langan, maupun pemajemukan. Kata itu memiliki ben­tuk yang tidak dapat diuraikan lagi unsur dasar dan tambahan katanya. Contoh:
gambar                 merah
jalan                     putih
kerja                     bagi


main                     buat  
     Kata turunan ialah kata yang sudah mengalami proses penambahan baik be­rupa pengimbuhan, pengulangan, maupun pemajemukan. Kata itu memiliki ben­tuk yang dapat diuraikan menjadi bentuk dasar dan unsur tambahan yang beru­pa imbuhan, ulangan, dan majemukan. Berdasarkan unsur tambahannya, jenis kata itu dapat dipilih menjadi kata berimbuhan, kata ulang, dan kata majemuk. Contoh:
Kata Berimbuhan            Kata Ulang                     Kata Majemuk
menggambar                  gambar-gambar              mata air
menjalankan                  jalan-jalan                     air terjun
bermain                         bermain-main                 sendok makan
memerah                        kemerah-merahan          pesawat terbang

2.2 Kata Benda, Kata Kerja, Kata Sifat, dan Kata Tugas
     Kata benda ialah semua kata yang menyatakan makna 'benda', nama benda, dan segala yang dibendakan. Kata itu mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep. Di samping itu, kata itu dapat menempati posisi subjek, objek, dan pelengkap, diperluas dengan kata yang, dan dinegatifkan dengan bukan. Kata itu dapat diperinci menjadi kata ganti, kata bilangan, dan kata benda. Selain itu, kata itu dapat diperinci menjadi kata benda dasar dan kata benda turunan. Contoh:
Kata benda      :    guru, harimau, anjing, rumah, penggaris, kenaikan, persiapan, pertukaran
Kata ganti        :    saya, engkau (kau), kami, ayah, kakek, aba, umi, Fuad Hassan, ini, begini
Kata bilangan   :    satu, lima, delapan, kesepuluh
     Kata kerja ialah semua kata yang menyatakan makna 'kegiatan atau laku'. Kata itu mengacu pada perbuatan, laku, proses, dan keadaan yang bukan sifat atau mutu. Di samping itu, kata itu lazim menempati posisi inti predikat, dapat diper­luas dengan kelompok kata dengan + kata sifat, dapat didahului de­ngan kata boleh , dapat dinegatifkan dengan kata tidak atau bukan jika dipertentang­kan dengan hal lain, dan tidak dapat didampingi kata-kata yang menyatakan ke­sangatan. Kata itu dapat diperinci menjadi kata kerja dasar dan kata kerja turunan. Kata kerja turunan dapat berupa kata berimbuhan, kata ulang, dan kata mejemuk. Conto­h:
ada
mandi


tidur
belajar
bekerja sama
mengaji
merintangi
berjalan dengan cepat
bernyanyi dengan gembira
berdoa dengan sungguh-sungguh
boleh makan
boleh mengambil
boleh bertanya
tidak berdusta
tidak mendengarkan
tidak terburu-buru
bukan menangis, melainkan tersenyum
bukan bermain-main, melainkan belajar
bukan tertawa, melainkan mencibir
     Kata sifat adalah semua kata yang menyatakan makna 'sifat atau hal keada­an' orang, benda, dan binatang. Kata itu dapat menempati posisi predikat, objek, dan keterangan, diberi keterangan pembanding lebih, kurang, dan paling, dapat diberi keterangan penyangat sangat, sekali, benar, dan terlalu, dapat diulang de­ngan se+nya, dapat diingkarkan dengan kata tidak, dan pada kata tertentu ber­akhir dengan -iah, -i, -wi, -if, -al, dan -er. Kata itu dapat diperinci menjadi kata sifat dasar dan kata sifat turunan. Kata sifat turunan dapat berupa kata sifat berimbuhan, kata sifat ulang, dan kata sifat majemuk. Contoh:
asin
lama
sunyi
alamiah/alami
jasmaniah/jasmani
rohaniah/rohani
surgawi
maknawi
efektif


aktif
terhormat
pemalas
subur-subur
besar-besar
kering kerontang
cantik jelita
lemah lembut
     Kata tugas ialah kata yang berfungsi atau bertugas merangkaikan satu kata dengan kata lain atau satu kelompok kata dengan kelompok kata lain sehingga menjadi untaian kata atau kalimat. Di samping itu, tugasnya mene­gaskan atau menguat­kan suatu kata. Ada pula kata tugas yang berfungsi meng­ungkapkan perasaan manusia. Kata itu tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata, tetapi harus bersama dengan kata lain dalam suatu kalimat. Secara umum, kata tugas dipe­rinci menjadi kata depan, kata sambung, kata seru, kata sandang, dan partikel penegas. Contoh:
Kata depan      :    dari, daripada, ke, di sana, di bawah, untuk, guna
Kata sambung  :    dan, atau, biarpun, seolah-olah, bahwa, sehingga, hingga, baik ... maupun, padahal, sesudah itu, setelah itu, kemudian, sebab itu, oleh karena itu
Kata seru         :    aduhai, bah, astagfirullah, hai, amboi, sialan, busyet, aduh, astaga, ayo, mari, nah, syukur, duilah, halo
Kata sandang   :    sang, sri, para, si, dang (sang juara, sri baginda, si manis jembatan ancol)
Partikel            :    lah, kah, pun, tah (pergilah, apakah, sekalipun)

2.3 Kata Umum dan Kata Khusus
     Kata umum ialah kata yang mengacu pada hal yang luas cakupannya, se­dang kata khusus ialah kata yang mengacu pada hal yang khusus dan tampak jelas (konkret). Perbedaan ini bersifat nisbi (relatif). Jadi, kata umum memuat makna luas dan kata khusus memuat makna khusus yang merupakan pengkhu­susan kata umum. Contoh:
1)  Kata umum      :    merah
Kata khusus :    merah muda, merah tua, merah jambu


2)  Kata umum      :    melihat
Kata khusus :    menatap, memandang, menengok, melotot
3)  Kata umum      :    kendaraan
Kata agak umum   :    mobil
Kata khusus      :    sedan
Kata amat khusus  :    sedan Mazda, sedan Toyota, sedan BMW

2.4 Kata Baku dan Kata Tidak Baku
     Kata baku ialah kata yang diterima atau ditetapkan oleh masyarakat bahasa sebagai acuan atau ukuran sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan, sedang kata tidak baku ialah kata yang tidak sesuai dengan kaidah yang telah ditentu­kan sehingga tidak dijadikan acuan atau ukuran. Kata-kata tidak baku meliputi kata yang tidak mengikuti kaidah, dialek, dan percakapan sehari-hari. Contoh:
Kata Baku                       Kata Tidak Baku
jadwal                            jadual
Senin                         Senen
hakikat                           hakekat
pikir                               fikir
telepon                          telpon
terampil                         trampil
ambilkan                   ambilken
kata                               bilang
hanya                        cuma/cuman
tidak, tak                       nggak
mudah                            gampang
buat, membuat          bikin, membikin        
Ia menulis surat             Ia tulis surat
saya                               gue
kamu, Anda               lu

2.5 Kata Kajian dan Kata Populer


     Kata-kata bahasa Indonesia dipakai oleh seluruh lapisan masyarakat penutur bahasa Indonesia baik terpelajar maupun awam atau orang kebanyakan dalam komunikasi. Kata-kata yang dipakai oleh kaum terpelajar atau terdidik untuk ke­perluan ilmiah baik menulis karya ilmiah maupun mengomunikasikan karya ilmi­ah disebut kata kajian. Kata-kata yang dipakai oleh awam atau orang kebanyak­an untuk keperluan komunikasi sehari-hari disebut kata populer. Hal ini menun­jukkan kata kajian merupakan kata teknis, sedangkan kata populer meru­pakan kata umum. Sebab itu, kata kajian terbatas pemakaiannya dibanding­kan dengan kata populer. Contoh:
Kata Kajian               Kata Populer
volume                      isi
harmonis               selaras
unsur                    bagian
antipati                     rasa benci
anarki                        kekacaubalauan
tentatif                     sementara
desain                       rancangan
reformasi                   perbaikan
evaluasi                     penilaian

2.6 Kata Aktif dan Kata Pasif
     Kata aktif adalah kata yang sering dipakai dalam berbicara atau menulis, sedangkan kata pasif adalah kata yang jarang/tidak pernah dipakai dalam berbi­cara atau menulis. Kata-kata aktif banyak digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Kata-kata pasif dipakai secara terbatas baik keperluan dan tempat terbatas. Bahasa lirik lagu dan bahasa karya sastra Indonesia masih menggunakan kata-kata pasif. Contoh:
Kata Aktif                  Kata Pasif
bunga, kembang         puspa, kusuma
matahari                   mentari, surya
angin                         bayu
seperti                       bak, laksana
hati                           kalbu
jiwa                           sukma
yang                          nan

2.7 Kata Abstrak dan Kata Konkret


     Kata abstrak adalah kata yang memiliki rujukan berupa konsep, pengertian, dan gagasan yang tidak kasat mata, sedangkan kata konkret adalah kata yang memiliki rujukan berupa objek yang dapat dicerap oleh pancaindera (dilihat, diraba, dirasakan, didengarkan, atau dicium). Oleh sebab itu, kata abstrak cukup sukar dikenali oleh pengguna bahasa Indonesia, sedang kata konkret cukup mu­dah dipahami. Contoh:
Kata Abstrak              Kata Konkret
kemakmuran              rumah, pangan, sandang
kerajinan                   belajar, bekerja, membaca
kaya                          banyak uang, sawah, rumah
kenang-kenangan       cincin, foto,
kemajuan                  membuat jalan, membangun pabrik

2.8 Kata Tanya dan Kata Sapaan
     Kata tanya adalah kata ganti yang berfungsi menanyakan sesuatu atau diper­guna­kan untuk mengungkapkan pertanyaan. Secara umum, kata itu dapat digo­long­kan sebagai kata benda, dalam hal ini kata ganti tanya. Dalam bahasa Indo­nesia, kata tanya terdiri atas kata apa, siapa, mana/di mana/ke mana, mengapa/­kena­pa, kapan, bila/bilaman­a, bagaimana, dan berapa. Contoh:
1)  Apa yang kau baca?
Dia mau menanam pohon apa?
Mengambil apa anak kecil itu?
2)  Siapa yang kau cari?
Mau menemui siapa?
Buku itu dibaca oleh siapa?
3)  Mana adikmu?
Pak Yasin di mana?
Ke mana Bu Rahma pergi?
Yang mana buku yang kau perlukan?
4)  Bagaimana kabar adikmu?
Mangga yang bagaimana yang kau inginkan?
Bagaimana pencuri itu bisa sampai masuk rumah?
Bagaimana cara membuat boneka kayu itu?
5)  Kapan kita akan berangkat?
Sejak kapan kamu senang nasi pecel?


Bila kamu datang ke rumahku?
Bilamana pencuri masuk rumah itu?
6)  Mengapa lampu itu mati?
Mengapa kau tak belajar mengaji?
Kenapa buku itu belum engkau kembalikan?
7)  Berapa uangmu?
Jam berapa sekarang?
Anak ke berapa dia itu?
     Kata sapaan adalah kata ganti yang dipergunakan untuk menyapa orang. Secara umum, kata itu dapat digolongkan sebagai kata benda, dalam hal ini kata ganti penyapa. Kata kera­bat, kata ganti, kata sapaan hormat, dan kata ganti/ke­rabat diikuti nama terma­suk kata sapaan. Contoh:
Kata kerabat    :    Kakek, Nenek, Bapak, Ayah, Ibu, Paman, Bibi, Abang, Adik, Kakak, Ananda, Cucunda
Kata ganti        :    kamu, engkau, kau, dia, saudara, anda, tuan, nyonya, nona, kalian, mereka
kata hormat     :    Paduka Yang Mulia (PYM), Yang Mulia (YM), Yang ter­hormat (Yth.).
Kata nama       :    Adik Hasan, Abang Fuad, Saudara Effendi, Ibu Malikah, Bapak Imam Agus Basuki
Catatan:
1)  Pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama) digunakan kata Paduka Yang Mulia untuk menyapa Presiden dan Yang Mulia untuk menyapa Menteri dan Pejabat Setingkat Menteri.
2)  Nenenda, Ayahanda, Ibunda, Kakanda, dan sejenisnya merupakan sapaan takzim atau hormat. Biasanya dipakai dalam surat-menyurat atau karya tulis.
3)  Kata Pakcik dan Makcik yang dahulu banyak dipakai, sek­arang sudah tidak lazim dalam bahasa Indonesia modern.
4)  Kata Bung, Mas, dan Mbak dipakai dalam suasana akrab. Untuk memberikan suasana akrab, kata Bung dan Mbak sekarang juga dipakai dalam suasana resmi. Misalnya, Bung Harmoko, Mbak Tutut, dan Mbak Mega.




2.9 Kata, Istilah, dan Ungkapan
     Kata merupakan satuan bahasa yang terkecil dan bermakna yang dapat ber­diri sendiri tanpa harus bersama dengan unsur lain. Istilah merupakan kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu. Sedang ungkapan merupa­kan gabungan kata yang tetap atau beku, bermakna mantap yang berbeda dari unsurnya, dan bersifat teradat. Jadi, kata dapat menjadi istilah dan unsur isti­lah dan ungkapan; istilah dapat berupa kata dan gabungan kata; dan ungkapan selalu berupa gabungan kata. Contoh:
1)  Kata            :    nabi, nada, nabati, musuh, musik, murung, murid
2)  Istilah          :    pidana, hukum, ulama, gaya tarik bumi, rukun iman, rukun Islam
3)  Ungkapan    :    kuda hitam, makan hati, makan garam, panjang tangan, rendah hati, membanting tulang, bergantung pada, sesuai dengan

2.10 Singkatan dan Singkatan
     Baik singkatan maupun akronim merupakan kependekan. Bedanya, singkat­an ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih, se­dangkan ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, atau gabungan huruf dan suku kata dari untaian kata yang diperlakukan sebagai kata utuh. Contoh:
Singkatan                   Akronim
MBA                           ABRI
dsb.                           rudal
d.a.                           berdikari
kg                         Bappenas

2.11 Peribahasa dan Majas


     Peribahasa ialah untaian kata-kata yang sudah membeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat. Peribahasa umumnya digunakan untuk hiasan karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, dan pemberi nasihat atau pedoman hidup. Peribahasa itu dapat berupa bidal, pepatah, perumpama­an, ibarat, dan pemeo. Bidal ialah bahasa kias yang sudah tetap susunan dan tak berubah maknanya. Pepatah ialah kiasan tentang keadaan dan kelakuan se­seorang yang dinyatakan dengan untaian kalimat. Isinya nasihat atau ajaran. Per­umpamaan ialah untaian kata yang menyatakan keadaan atau kelakuan sese­orang dengan cara mem­bandingkan dengan alam sekitar. Biasanya didahului oleh kata-kata perbandingan. Seperti perumpamaan, ibarat ialah untaian kata yang menyatakan perban­dingan. Bedanya, ibarat diiringi atau diikuti dengan ba­gian-bagian yang menjelaskan bagian sebelumnya. Pemeo ialah untaian kata yang sudah beku dan populer di masyarakat yang mengandung dorongan se­mangat. Contoh:
1)  Bidal           :    Habis gelap terbitlah terang
Ada gula ada semut
Bahasa menunjukkan bangsa
2)  Pepatah       :    Ikut hati mati, ikut rasa binasa
Berjalan pelihara kaki, berkata pelihara lidah
Hancur badan dikandung tanah, baik budi dikenang jua
3) Perumpaan   :    Bagai bumi dan langit
Laksana kera dapat bunga
Seperti anjing berebut tulang
4)  Ibarat :    Bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau
Ibarat bolam, mata lepas badan terkurung
5)  Pemeo    :    Esa hilang, dua terbilang
Patah tumbuh, hilang berganti
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh
Daripada berputih mata, lebih baik berputih tulang
     Majas ialah untaian kata-kata yang melukiskan sesuatu dengan cara menya­makan dengan sesuatu yang lain. Majas tercipta ketika makna harfiah kata atau ungkapan dialihkan dan melingkupi makna harfiah lain. Majas itu terdiri atas ma­jas perbandingan, pertentangan, dan pertautan. Majas perbandingan dapat be­rupa perumpamaan, metafora, dan personifikasi. Majas pertentangan dapat be­rupa hiperbola, litotes, dan ironi. Majas pertautan dapat berupa metonimia, sinek­doke, alusi, dan eufemisme. Contoh:
1) Majas perbandingan    :    bagai air di daun talas
telur mata sapi
ombak berkejar-kejaran
2)  Majas pertentangan   :    sejuta kenangan indah


hasilnya tak mengecewakan
bukan main bersihnya
3)  Majas pertautan         :    Chairil Anwar dapat kita nikmati
Nanti sore Bandung melawan Surabaya
Madura akan menjadi Batam Jatim.
dimintai keterangan (diinterogasi)

3. Asas (Prinsip) Pemilihan dan Penggunaan Kata
     Kosakata bahasa Indonesia digunakan untuk mewadahi dan mengungkap­kan pikiran, pendapat, dan perasaan pengguna baha­sa Indonesia. Kosakata itu perlu dipilih dan digunakan dengan penuh pertim­bangan agar pikiran, pendapat, dan perasaan yang diwadahi dan diungkapkan­nya dapat diterima atau tidak disalahpahami oleh orang lain. Untuk itu, ada tiga asas yang perlu dipertimbang­kan dalam memilih dan menggunakan kosakata. Ketiga asas yang dimaksud adalah (1) asas kebenaran dan kecermatan, (2) asas ketepatan dan kejelasan, dan (3) asas kelaziman dan keserasian.

3.1 Asas Kebenaran dan Kecermatan
     Asas kebenaran dan kecermatan mengatur kesesuaian kata dengan kaidah tata bahasa. Kata-kata yang kita pilih dan gunakan harus sesuai dengan kaidah tata bahasa, tidak boleh melanggar kaidah tata bahasa: kaidah ejaan, kata, dan kalimat. Kata-kata yang sesuai dengan kaidah tata bahasa itu dapat disebut kata yang benar dan cermat. Kata yang tidak benar dan tidak cermat dapat berupa kata mubazir, rancu, dan tak idiomatis (tak sesuai ungkapan umum). Contoh:
1)  Ia menyinta ibunya. (Seharusnya: mencinta)
2)  Jadual pelajaran belum diberitahukan oleh Bu Guru. (Seharusnya: jadwal)
3)  Fuad dan Effendi saling berpukul-pukulan kemarin. (Seharusnya: sa­ling memukul, berpukul-pukulan)
4)  Maulana adalah merupakan murid terbaik.
(Seharusnya: pilih salah satu saja adalah atau merupakan)
5)  Meskipun sakit, namun Sri Azemi tetap masuk sekolah. (Seharusnya: kata namun dihilangkan)


6)  Mulai sejak kemarin Ibu Malikah tidak mengajar di kelas III. (Seharus­nya: Cukup dipakai kata mulai atau sejak).
7)  Jumlah murid di kelas ini terdiri 20 laki-laki dan 15 wanita. (Seharus­nya: terdiri atas)
8)  Antara Fuad dengan Effendi ada perbedaan. (Seharusnya: antara ... dan ....).    
9)  Ketekunan daripada murid-murid perlu ditingkatkan. (Seharusnya: tan­pa kata daripada).
10)Waktu kami persilakan.
(Seharusnya : Hassan/Aulia kami persilakan atau Waktu kami berikan kepada Ibu Hastuti).

3.2 Asas Ketepatan dan Kejelasan
     Asas ketepatan dan kejelasan mengatur kesesuaian kandungan makna kata dengan  gagasan, pikiran, pendapat, dan perasaan yang kita maksudkan. Kata-kata yang kita pilih dan gunakan memang harus dapat mengungkapkan secara tepat dan jelas apa yang kita mak­sudkan. Kata yang dapat mengungkapkan apa  yang kita maksudkan dapat disebut kata yang tepat dan jelas. Kata yang tepat dan jelas membuat maksud kita dapat cepat diterima atau dipahami oleh orang lain, tidak disalahpa­hami. Hal ini dapat mendukung pekerjaan kita cepat sele­sai (efisien), misalnya pekerjaan bidang hukum. Sebaliknya, kata yang tidak tepat dan jelas membuat maksud kita tidak dimengerti, disalahpahami oleh orang lain. Contoh:
1)  Mia nyaris mendapat nilai seratus dalam pelajaran IPA.
(Seharusnya: nyaris diganti hampir karena kata nyaris biasanya untuk hal negatif, sedang kata hampir untuk hal positif)
2)  Shanti belajar tekun untuk dapat nilai seratus.
(Seharusnya: kata untuk diganti dengan agar atau kata dapat diberi imbuhan men sehingga menjadi mendapat)
3)  Hasnah lebih pandai dari Hasnun.
(Seharusnya: kata dari diganti daripada)
4)  Kursi ini dibuat daripada kayu jati.
(Seharusnya: kata daripada diganti dari)
5)  Sri mengacuhkan nasihat Bu Guru sehingga mendapat nilai buruk.
(Seharusnya: mengacuhkan diganti mengabaikan)


3.3 Asas Kelaziman dan Keserasian
     Asas kelaziman dan keserasian mengatur kewajaran, kecocokan, kepatutan, dan kebiasaan pemilihan dan penggunaan kata dengan keadaan pembicara, suasana pembicaraan, sarana pembicaraan, dan tujuan pembicaraan. Kata yang sesuai dengan itu dapat disebut kata yang lazim dan serasi. Dalam berbahasa, kita perlu memilih dan menggunakan kata yang lazim dan serasi. Kata yang lazim dan serasi membuat maksud kita dapat diterima oleh orang lain dengan cepat dan mudah, tidak menimbulkan kesalahpahaman. Contoh kata yang tidak lazim dan serasi:
1)  (Murid) Saudara guru, saya minta ngomong agak pelan.
(Seharusnya: Bapak guru, saya mohon berbicara agak pelan)
2)  Berapa gerangan harga buku ini?
(Seharusnya: Berapa harga buku ini?)
3)  Hamba mau ke belakang, Bu Guru.
(Seharusnya: Saya mau ke belakang, Bu Guru.)
4)  Manakala hari hujan, aku tak jadi ke rumahmu.
(Seharusnya: Jika hari hujan, aku tak jadi ke rumahmu.)
5)  Guru : "Anak-anak, saya mohon tenang".
(Seharusnya: Anak-anak, saya minta tenang.)

4. Sifat-sifat Penggunaan Kata
     Dalam berbahasa Indonesia, ada kata-kata yang wajib, manasuka, dan terla­rang kita gunakan. Kata yang wajib kita gunakan adalah kata yang bisa menga­burkan maksud, mengacaukan jalan pikiran, dan melanggar kaidah tata bahasa jika kita tanggalkan. Kata yang manasuka kita gunakan adalah kata yang boleh kita pakai atau tidak karena tidak akan mengaburkan maksud, mengacaukan jalan pikiran, dan melanggar kaidah tata bahasa meskipun kita tanggalkan. Kata yang terlarang kita gunakan adalah kata yang justru akan mengaburkan maksud, mengacaukan jalan pikiran, dan melanggar kaidah tata bahasa kalau kita pakai. Contoh:
1)  Wajib          :    Dia sudah sadar akan kewajibannya.
Kelas kita terdiri atas  20 wanita dan 15 laki-laki.      
Kelakuannya bertentangan dengan nasihat ayah.
2)  Manasuka    :    Buku saya dipinjam (oleh) Tohir.
(Adalah) tidak benar saya memukulnya.
Tono disuruh (oleh) ibu (untuk) membeli gula.


3)  Terlarang    :    Ayah Malik adalah guru sekolah kami.
Dia telah menyadari tentang kesalahannya.
Murid-murid wajib untuk mengikuti nasihat Bu Guru.
Catatan:
1)  Kata akan, atas, dan dengan wajib digunakan dalam contoh 1) agar kalimat-kalimat di atas cermat dan benar.
2)  Kata oleh, adalah, dan oleh-untuk boleh digunakan atau boleh tidak dalam contoh 2) karena hadir tidaknya kata-kata tersebut tidak merusak kecermatan kalimat.
3)  Kata adalah, tentang, dan untuk dalam contoh 3) dilarang digunakan karena merusak kebenaran dan kecermatan kalimat.

2) Makna Bahasa Indonesia
1. Jenis-jenis Makna Kata
     Makna adalah hubungan antara bentuk bahasa dengan barang/hal yang diacunya. Kata batu yang terdiri atas susunan fonem /b/, /a/, /t/, /u/ mengandung makna sebab mempunyai hubungan dengan barang yang diacu oleh kata batu itu. Sebaliknya, ujaran utab yang terdiri atas susunan fonem /u/, /t/, /a/, /b/ tidak mengandung makna sebab ujaran utab itu dapat bermakna dalam "bahasa balikan" yang terbentuk berdasarkan perjanjian antar pemakainya. Selanjutnya, empat fonem di atas dapat disusun menjadi enam kata, yaitu baut, buat, buta, tabu, tuba, dan ubat (obat). Keenam kata tersebut memiliki makna sebab ada barang/hal yang diacunya.
     Ada bermacam-macam jenis makna kata. Jenis‑jenis makna itu dapat dibeda­kan berdasarkan kriteria tertentu diuraikan berikut ini.

1.1 Makna Lugas dan Makna Kiasan
     Berdasarkan sesuai tidaknya barang atau hal yang diacu, terdapat makna lugas dan makna kiasan. Makna lugas ialah makna yang sebenarnya sesuai de­ngan barang/hal yang diacu, sedangkan makan kiasan ialah makna yang tidak sebenarnya/­tidak sesuai dengan barang/hal yang diacu. Contoh :
Makna Lugas                        Makna Kiasan
   kaki si Didik                     kaki meja
   kaki kambing                   kaki gunung


   makan nasi                           makan angin    
   makan pisang              makan uang
Dari contoh di atas jelas bahwa kata kaki yang lazimnya menunjukkan kaki orang atau binatang diterapkan pada benda. Dengan demikian kata makan yang lazimnya mengacu makanan diterapkan pada bukan makanan. Akibatnya, timbullah makna kiasan (figuratif).
Sebuah kata/frase dapat bermakna (1) lugas dan (2) kiasan seperti yang tampak pada kalimat berikut.
(1) Setelah ditandatangani, surat itu dimasukkan ke dalam amplop.
(2) Setelah diberi amplop, barulah berkas urusan saya  dibereskan.
(1) Ayah membeli kambing hitam untuk disembelih.
(2) Dia yang bersalah, tetapi saya yang jadi kambing hitam.

Contoh‑contoh lain :
makan hati  :    (1) makan hati ayam/sapi/kambing
          (2) susah akibat perbuatan orang lain
jago merah  :    (1) jago yang berbulu merah
          (2) api kebakaran
baju hijau    :    (1) baju yang berwarna hijau
          (2) tentara ; militer
orang kecil  :    (1) orang yang badannya kecil
          (2) rakyat kebanyakan
jalan buntu  :    (1) jalan yang tidak terus
                        (2) terhenti karena tidak mendapat kata sepa­kat dalam diskusi, perun­dingan, dsb.
bunga desa :     (1) bunga dari desa atau tumbuh di desa
(2) gadis cetak se-desa

Catatan :
a.  Kata‑kata lugas digunakan dalam surat‑menyurat resmi, laporan resmi, peraturan, skripsi, dsb. Dengan demikian, isinya menjadi jelas, dapat dipa­hami secara langsung tanpa penafsiran lebih dahulu. Contoh :
              Kurang Jelas                   Jelas


(1) Seorang pemimpin harus    Seorang pemimpin  harus
          bertindak dan bersikap       bertindak dan bersikap 
          tidak pandang bulu dan            tegas dan adil terhadap
          tidak berat sebelah ter‑           bawahannya.            
          hadap bawahannya.           

(2)     Perusahaan kami hanya            Perusahaan kami hanya  
          menerima pegawai yang          menerima pegawai yang  
          sudah kenyang makan              sudah berpengalaman    
          garam dalam bidangnya.          dalam bidangnya.       
                                                        
(3)     Atas uluran tangan bapak,        Atas bantuan bapak, kami    
          kami sampaikan terima            ucapkan terima kasih.  
          kasih.                      
b.  Kata‑kata kiasan lazim dipakai dalam cerita, lukisan, kisah, berita sensasi, dsb. Dengan cara demikian, penuturan menjadi hidup, mengesankan, dan menarik perhatian.  Contoh :
Biasa                                   Hidup
(1)     Semangat juang para pemuda      Di seluruh tanah air meluap‑
          di seluruh tanah air sungguh    luap semangat dan darah men‑
          hebat.                                     didih kemerdekaan. Gelora revo‑
                                                             lusi membakar jiwa pemuda.
     (2)     Awas! Penyakit demam berdarah   Awas! Penyakit demam berdarah
          menjalar ke mana‑mana.              mengganas ke mana‑mana.

1.2 Makna Denotatif (Tersurat) dan Makan Konotatif (Tersirat)
     Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa, terdapat makna denotatif dan makna konotatif. Makna denotatif (tersurat, ideasional, kognitif, konseptual) adalah mak­na kata/kelompok kata yang bersifat lugas dan obyektif, sedangkan makna konotatif (tersirat, emotif) adalah makna tambahan terhadap makna dasar yang berupa nilai rasa (positif atau negatif). Contoh :
Makna Denotatif                           Makna Konotatif


rumah                                 wisma (rumah yang bagus, indah,
                                                    dan mentereng) ; gubuk ( rumah
                                                    yang jelek, kecil, dan sangat
                                                    sederhana
pegawai (pegawai negeri)   buruh (pekerja yang mendapat                                                                       upah kecil : buruh pabrik rokok)
                                                    karyawan (bernilai rasa halus)
pemberian (bersifat netral)      sedekah (pemberian kepada fakir
                                                    miskin, mengandung rasa kasihan);
                                                    derma (pemberian bantuan berda‑
                                                    sarkan kemurahan hati dan keting‑
                                                    gian moral); anugerah (pemberian
                                                    atau ganjaran dari pihak atas
                                                    kepada pihak bawah, bernilai                                                                                rasa tinggi karunia (mengandung unsur                                                             kemulian/­keluhuran
     Konotasi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu konotasi positif dan kono­tasi negatif. Konotasi positif mengandung nilai rasa tinggi, halus, sopan, dan sejenisnya, sedangkan konotasi negatif mengandung nilai rasa rendah, jelek, kasar, kotor, porno, tidak sopan, dan sejenisnya. Kedua sifat tersebut bergan­tung kepada masyarakat pemakai bahasa  yang bersangkutan. Contoh:
     Konotasi Positif             Konotasi Negatif
     makan                                santap
     meninggal dunia,                tewas, mampus,
     berpulang, wafat
     mangkat, gugur
     jenazah                          mayat, bangkai
     tunanetra                       buta
     tunawicara                     bisu
     wanita                           perempuan
     pria                                laki‑laki


     Sering terjadi sebuah kata merosot nilai rasanya akibat ulah para anggota masyarakat yang menggunakan kata tersebut. Misalnya, kata bijaksana yang makna denotasinya menunjukkan sikap atau tindakan yang arif dalam mengha­dapi suatu masalah menjadi negatif konotasinya seperti contoh ber­ikut ini.
"Mohon kebijaksanaan Bapak, bagaimana caranya agar anak saya
dapat naik kelas," kata orang tua murid kepada kepala sekolah.
Kata‑kata yang bermakna denotatif tepat digunakan dalam karya ilmiah, sedang­kan kata‑kata yang bermakna konotatif wajar digunakan dalam karya sastra atau komunikasi sehari-hari. Karya ilmiah pada dasarnya bertujuanmenyampaikan/ meng­ungkapkan pikiran, sedangkan karya sastra mengungkap­kan perasaan.

Catatan:
a.  Makna konotatif sering dikacaukan dengan makna kiasan. Makna konotatif tidak sama dengan makna kiasan. Kata mati, meninggal, berpulang, wafat, mangkat, gugur, tewas, mampus, tutup usia, dan telah tiada mempunyai denotasi yang sama, yaitu hilangnya nyawa. Kata‑kata yang bersinonim tersebut memiliki konotasi yang berbeda, yaitu biasa, halus/hormat, luhur, dan kasar. Makna tambahan terhadap makna dasar (mati) itulah yang disebut makna konotatif. Selanjutnya, marilah kita perhatikan contoh berikut ini!
lampu mati
jam mati
mesin mati
harga mati
Kata mati pada contoh diatas bermakna kiasan (tidak sebenarnya) yang terjadi akibat penerapan terhadap yang tidak bernyawa.
b.  Makna denotatif sama pengertiannya dengan makna lugas yang diperten­tangkan dengan makna kiasan. Contoh:
              Makna Denotatif/Lugas                      Makna Kiasan
              Kucingnya mati                                 Mesinnya mati
              Penjahat itu mati tertembak             Lampunya mati

1.3 Makna Leksikal dan Makna Gramatikal


     Berdasarkan ada  tidaknya hubungan antar unsur bahasa, terdapat makna leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal adalah makna kata yang masih berdiri sendiri, tidak dalam hubungan  dengan unsur yang lainnya, sedangkan makna gramatikal ialah makna yang baru yang muncul akibat proses gramatika  (morfologis atau sintaksis). Contoh:
Makna Leksikal                             Makna Gramatikal
makan  'memasukkan nasi        makanan 'apa‑apa yang biasa     
makan­an) ke dalam mulut             dimakan'
     mengunyah dan menelannya
     rumah, bangunan untuk            rumah makan 'rumah tempat makan'                         bertempat tinggal               rumah ayah 'rumah milik ayah'

Catatan:
a. Makna leksikal sama pengertiannya dengan makna denotatif/lugas.
b. (i)  Tini sedang makan pisang 
   (ii)  Pegawai itu dipecat sebab makan suap.


Kata makan pada (i) dan (ii) bermakna gramatikal. Makna gramatikal kata makan pada  (i) sama dengan makna leksikalnya, sedangkan makna gra­matikal kata makan  pada (ii) tidak sama dengan makna leksikalnya. Kata  makan pada (i) bermakna lugas, sedangkan pada  (ii) bermakna kiasan. Perlu dingat bahwa makna lugas/leksikal sama dengan makna denotatif, sedangkan makna kiasan tidak sama dengan makna  konotatif.

c.  Kata tugas (kata depan dan kata sambung) hanya memiliki makna gramatikal. Ini berarti bahwa makna kata tugas ditentukan oleh kata lain dalam frasa/kali­mat, bukan oleh kata itu secara lepas/berdiri sendiri. Kata tugas seperti dan, karena, di, ke, dan dari barulah memiliki makna jika dirangkai­kan dengan kata lain (kata benda, kata ganti orang), misalnya dalam kalimat berikut.
              Tono dan Tini tidak pergi ke Jakarta karena tidak
              mempunyai uang.

1.4 Makna Referensial dan Makna Nonreferensial
     Berdasarkan ada tidaknya benda/hal yang diacu, terdapat makna referensial dan makna nonreferensial. Makna referensial ialah makna kata yang ada acuan­nya (referen), sedang­kan makna nonreferensial ialah makna kata yang tidak ada acuannya. Contoh :
          Makna Referensial                   Makna Non referensial
Meja, kursi, lemari (benda)           di, ke, dari, tentang dan,
kebersihan, kemanusiaan,             karena, jika (kata tugas)
pembangunan (hal/proses)

Catatan:
Kata tugas mempunyai makna gramatikal, tetapi tidak mempunyai acuan (refe­ren). Makna referensial disebut juga makna denotatif. Makna referensi­al dapat dijelaskan dengan analisis komponen makna. Misalnya, kita dapat menganalisis kata meja sebagai berikut:
perkakas (perabot) rumah
berkaki empat
berbidang datar
berbentuk segiempat/lonjong/bundar
digunakan untuk menulis/makan
          dibuat dari kayu/besi



1.5 Makna Kontekstual
     Makna kontekstual ialah makna kata yang ditentukan oleh konteksnya dalam pemakaian. Pada dasarnya ada dua macam konteks, yaitu (1) koteks kebahasa­an dan (2) konteks bukan kebahasaan (sosial, budaya, situasi, latar, dsb.)
Contoh (1) :
(i)   Tono sedang makan pisang.
(ii)  Upacara adat itu makan ongkos besar.
(iii) Sepeda itu remnya tidak makan.
(iv)  Penjahat itu ditembak tiga kali, tetapi tidak makan.
(v)   Pemuda itu makan gadis tetangganya.
Contoh di atas menunjukkan bahwa makna kata ditentukan konteksnya dalam kalimat.

Contoh (2) :
(i)      Atas bantuan Bapak, kami ucapkan terima kasih.
(ia)   A : "Mari kita makan bersama‑sama !"
                   B : "Terima kasih, saya sudah makan."
Pada  kalimat B ekspresi "terima kasih" bermakna 'tidak mau' .
(ii)   Tolong belikan saya amplop.
(iia)  Beri saja dia amplop, tentu beres urusan Anda !
          Memberi amplop (uang suap/pelicin) kepada orang yang dimintai bantuan sudah membudaya di masyarakat kita.
(iii)  Laki‑laki  itu ayah Tono.
(iiia) Ih, dasar laki‑laki hidung belang !
          Kata laki‑laki pada (iii) memiliki makna yang negatif (tamak, rakus, suka mengganggu perempuan).
           
1.6 Makna Afektif
     Makna afektif ialah makna yang berhubungan dengan perasaan (makna emotif). Contoh :
(i)  Pemulung itu tinggal di gubuk yang reyot.
(ia) Silakan Bapak tinggal di gubuk saya.


Kata gubuk pada (ii) dimaksudkan untuk merendahkan diri.
     Makna afektif lebih terasa secara lisan daripada secara tertulis. Contoh :
(i)      "Tutup mulut kalian !" bentaknya kepada mereka.
(iia)   "Coba diam sebentar !" katanya kepada mereka.
(iii)    "Dapatkah  kalian  diam  sebentar ?"  kata  Ibu  Guru kepada mu­rid‑murid.
Contoh (i) adalah ungkapan utuh (penuh), yaitu ungkapan yang maknanya tidak tergamb­arkan dari unsur‑unsurnya; sedang contoh (ii) adalah ungkapan sebagi­an, yaitu ungkapan yang maknanya masih dapat digambarkan dari unsur‑un­surnya.

Catatan:
Bangun bersifat ungkapan memiliki ciri‑ciri sebagai berikut.
(i) Unsur‑unsur pembentuknya tidak boleh kurang, tidak boleh lebih, dan tidak boleh diganti dengan unsur yang lain. Contoh:
        Tidak Bersifat Ungkapan              Bersifat Ungkapan
terdiri empat bab                         terdiri atas empat bab   
    sesuai peraturan                           sesuai dengan peraturan  
    bertemu dia                             bertemu dengan dia       
    tahu tugasnya                               tahu akan/tetang tugasnya
    terdiri daripada                            terdiri atas             
    berdasarkan daripada                   berdasarkan/berdasar pada
    Pancasila                                      Pancasila                
    bersama dengan ini                  bersama ini/dengan ini   
    disebabkan karena                   disebabkan oleh kurangnya dana                 kurangnya dana         


(ii) Makna keseluruhannya tidak dapat dijabarkan dari makna unsurnya ma­sing‑masing. Perkataan kambing hitam dapat bermakna kambing (bina­tang pemamah biak) yang warna bulunya hitam. Dalam hal ini, baik kata kambing maupun hitam, maknanya masih sama dengan makna leksikal­nya (referensinya). Perkataan kambing hitam dapat bermakna ungkapan, yaitu orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, tetapi dipersalah­kan atau menjadi tumpuan kesalahan. Disini makna keseluruhan ungakpan itu tidak dapat dijabarkan dari makna leksikal kata kambing dan hitam. Jadi, ungkapan itu bentuk bahasa yang memiliki kekhusu­san dan merupak­an bahasa teradat.

1.7 Makna Kolokatif
     Makna kolokatif ialah makna kata yang memiliki pertautan pikiran dengan kata‑kata tertentu yang berdampingan (bersandingan). Contoh:
gadis cantik/molek/jelita
pemuda tampan/ganteng
Kata gadis tidak berkolokasi dengan tampan/ganteng, juga kata pemuda tidak berkolokasi degan kata cantik/molek/jelita. Jadi, tidak lazim dikatakan
gadis tampan/ganteng
pemuda cantik/molek/jelita
     Kata‑kata bersinonim seperti besar ‑ raya ‑ agung ‑ akbar ‑ raksasa dapat dilihat bedanya berdasarkan keterbatasan kolokasinya.
            besar/raya
(i)   jalan
            * agung/akbar/raksasa
                  agung               
    (ii)  jaksa                      
                 * besar/raya/akbar/raksasa

                 besar/akbar/raksasa 
     (iii) rapat                      
                 * raya/agung

2. Tata Hubungan Makna
     Antara satu kata dan kata lain terdapat hubungan makna. Dengan kata lain, ada hubungan makna antar kata. Ini dinamakan tata hubungan makna. Hubung­an makna antarkata itu meliputi (1) sinonim, (2) antonim, (3) polisemi, (4) homonim, dan (5) hiponim. Masing‑masing diuraikan berikut.

2.1 Sinonim (Persamaan Kata)
     Sinonim ialah dua kata atau lebih yang maknanya (1) sama atau (2) hampir sama (mirip). Contoh :
(1) yang sama maknanya:


             sudah ‑ telah
             sebab ‑ karena
             amat  ‑ sangat
             bunga ‑ kembang
             meskipun ‑ walaupun ‑ biarpun
(2) yang hampir sama maknanya :
             cinta ‑ kasih ‑ sayang
             indah ‑ permai ‑ baik
             meninggal ‑ wafat ‑ gugur
             melihat ‑ memandang ‑ menengok
             untuk ‑ bagi ‑ guna
Kata‑kata bersinonim dapat berupa (1) kata asli dan kata asli, (2) kata asli dan kata serapa, dan (3) kata serapan dan kata serapan. Contoh :
(1) baik ‑ bagus ‑ indah
    mati ‑ meninggal ‑ berpulang
    cepat ‑ lekas ‑ layu
(2) bunga ‑ kembang (Jawa), puspa/kusuma (Sanskerta)
    dapat ‑ bisa (Jawa)
    datang ‑ hadir (Arab)
(3) buku (Inggris/Belanda) ‑ kitab (Arab)
    sebab (Arab) ‑ karena (Sanskerta)
    waktu (Arab) ‑ ketika (Sanskerta)

     Kata‑kata bersinonim dapat berbentuk (1) kata dasar dan kata dasar, (2) kata dasar dan kata turunan dan (3) kata turunan. Contoh :
(1) betul ‑ benar
         dapat ‑ bisa
         cinta ‑ kasih ‑ sayang
(2) tampak ‑ terlihat/kelihatan
         awal ‑ permulaan
         gawat ‑ berbahaya
(3) ketua ‑ pemimpin
         jangan‑jangan ‑ kalau‑kalau
         orang tua ‑ ibu bapa

     Sinonim yang terdiri atas kata dasar dan kata dasar seperti contoh (1) di atas setelah menjadi kata turunan mungkin tetap bersinonim, mungkin tidak. Contoh :



                 dapat
(i)   Saya         menyelesaikan tugas itu dengan baik.
             bisa 

                                    sedapat‑dapatmu
(ii)  Kerjakan tugas itu                     (bersinonim)
                                 sebisa‑bisamu  

                          x kedapatanya
(iii) Ardy memperlihatkan                 dimuka
                          kebiasaannya 
     penonton tidak bersinonim
     Rangkaian kata‑kata bersinonim berikut ini menghasilkan bentuk rancu. Contoh :
demi untuk
seperti misalnya
agar supaya
adalah merupakan
amat sangat
Perlu dicatat bahwa kata‑kata bersinonim itu kelas katanya harus sama. Con­toh :
(1) kata benda da kata benda
    hadiah ‑ derma ‑ sedekah
    pegawai ‑ karyawan
    murid ‑ siswa
(2) kata kerja dan kata kerja
         melihat ‑ menonton ‑ memandang
    jatuh ‑ gugur ‑ roboh
    terbit ‑ timbul ‑ muncul
(3) kata sifat dan kata sifat
    pandai ‑ cerdik ‑ cakap
    susah ‑ sedih ‑ gundah


    enak ‑ nyaman ‑ sedap
(4) kata keterangan dan kata keterangan
    sudah ‑ telah
    barangkali ‑ mungkin
    sangat ‑ amat
(5) kata depan dan kata depan
    bagi ‑ untuk ‑ guna
    kepada ‑ terhadap
    tentang ‑ mengenai
(6) kata sambung dan kata sambung
    sebab ‑ karena
    jika ‑ apabila
    meskipun ‑ walaupun ‑ biarpun Catatan:
     Kata‑kata bersinonim itu dapat dibedakan atas beberapa perangkat sebagai berikut .
(1) Perangkat sinonim yang berbeda makna emotifnya, tetapi sama makna kognitifnya. Contoh :
             buruh ‑ pekerja ‑ pegawai ‑ karyawan
             mati ‑ meninggal ‑ wafat ‑ mangkat ‑ gugur
(2) Perangkat sinonim yang berbeda kolokasinya (persandingan yang sudah lazim)  Contoh :
             cantik ‑ molek ‑ jelita  (berkolokasi  dengan
             gadis).
             tampan ‑ ganteng (berkolokasi dengan pemuda)
(3)     Perangkat sinonim yang berbeda berdasarkan situasi pemakaiannya. Con­toh :
             saya (resmi) ‑ aku (tidak resmi/akrab)
             mari (resmi) ‑ ayo (tidak resmi)
(4) Perangkat sinonim yang berbeda berdasarkan kaidah bahasa (baku ‑ tidak baku). Contoh :
             supaya ‑ biar
             daripada ‑ ketimbang
             selagi ‑ mumpung
(5)     Perangkat sinonim yang berbeda berdasarkan laras bahasa (register)    Contoh :gadis ‑ cewek (bahasa percakapan)


             bunga ‑ kusuma/puspa (bahasa sastra)
(6) Perangkat sinonim yang berbeda persebarannya (posisi yang dapat diduduki oleh unsur bahasa). Contoh :
             sangat tinggi ‑ tinggi sekali
             hanya sehari ‑ sehari saja

Catatan :
a.  Sinonim tidak hanya terdapat antara kata dan  kata, tetapi terdapat juga antara (1) morfem dan morfem (2) antara frasa dan frasa, dan (3) antara kalimat dan kalimat. Contoh :
     (1) rumahku ‑ rumah saya
       kubaca ‑ saya baca
     (2) orang tua ‑ ibu bapa
       meninggal dunia ‑ berpulang ke rahmatullah
     (3) Tono mencintai Tini ‑ Tini dicintai Tono
b.  Sinonim tidak sama dengan padanan. Padanan ialah kata/frasa yang sama maknanya dengan kata/frasa dalam bahasa lain (asing). Contoh :
     (1)     upgrading ‑ penataran
              editing ‑ penyuntingan
              kiper ‑ penjaga gawang
     (2)     standar ‑ baku
              konsisten ‑ taat asas/ajek
              definisi ‑ batasan
Pemakaian kata‑kata berpadanan seperti contoh di atas sering bersaingan. Dalam persaingan itu ada salah satu yang tidak dapat bertahan, ada yang sama‑sama dapat bertahan. Pada contoh (1) kata upgrading, editing, dan kiper menghilang, sedangkan kata penataran, penyuntingan, dan penjaga gawang muncul sebagai kata‑kata baru yang hidup. Pada contoh (2) baik kata‑kata asing maupun padanannya sama‑sama dipakai dan menjadi kata‑kata yang bersino­nim. Berdasarkan kebijakan bahasa yang kita anut, sebaiknya yang kita pakai adalah padanannya.

2.2 Antonim (Lawan Kata)
Antonim ialah kata‑kata yang berlawanan maknanya. Contoh :
         besar x kecil
         tinggi x rendah
         keluar x masuk
         pulang x pergi
         siang x malam


Kata‑kata yang berlawanan itu dapat dibedakan atas empat macam, yaitu (1) berlawanan kembar (mutlak), (2) berlawanan bertingkat, (3) berlawanan kebalik­an, (4) berlawanan majemuk, dan (5) berlawanan tata urutan. Contoh‑contoh :
(1) berlawanan kembar (mutlak)
          pria x wanita
          jantan x betina
          hidup x mati
    Berlawanan kembar hanya terbatas pada dua unsur dan pada umumnya          berupa kata benda dan kata benda.
(2)     berlawanan bertingkat
tinggi x rendah
besar x kecil
panas x dingin
Berlawanan bertingkat tidak terbatas pada dua unsur saja. Antara dua kata yang berlawanan itu masih terdapat tingkatan, misalnya : panas ‑ hangat ‑ dingin Kata‑kata berlawanan bertingkat pada umumnya terdapat antara kata sifat dan kata sifat.
(3)     berlawanan kebalikan
guru x murid
belajar x mengajar
utara x selatan
    Pada kata‑kata yang berlawanan kebalikan terdapat hubungan timbal‑balik atau arah. Pada umumnya kata‑kata berlawanan kebalik­an itu berupa kata benda atau kata kerja.
(4)     berlawanan majemuk :
          kemarin x sekarang x besok pagi
          kakak  x saya x adik
          barat x utara x timur
Berlawanan majemuk tidak terbatas pada satu lawan satu, tetapi satu kata dapat berlawanan dengan dua atau lebih. Kata putih dapat berlawanan dengan kata hitam, hujan, kuning dan merah.
(5)     berlawanan tata urutan
          meter x sentimeter
          liter x sentiliter
          prajurit x opsir
          Yang termasuk berlawanan tata urutan adalah nama satuan ukuran (berat, panjang, isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, dan nama satuan jenjang kepangkatan.


2.3 Polisemi
Polisemi ialah satu kata yang bermakna banyak (lebih dari satu/ganda). Con­toh:
(1) Dia jatuh dari sepeda.
(2) Harga beras jatuh (turun, merosot).
(3) Setiba dirumah dia jatuh sakit (menjadi).
(4) Dia jatuh dalam ujiannya (gagal/tidak lulus).
(5) Hari ulang tahunnya jatuh pada hari minggu (tepat
    pada).
(6) Perusahaan yang dipimpinannya jatuh (bangkrut).
Pada kalimat (1) kata jatuh (bangkrut) bermakna lugas. Pada kalimat (2), (3), (4), dan (5) bermakna kias. Polisemi seperti contoh di atas muncul karena berbeda dalam konteksnya (konteks gramatikal)
     Di samping itu, polisemi dapat terjadi karena lingkungan sosial yang berbe­da. Contoh :
(1) Dokter sedang mengoperasi pasien.
(2) Perwira muda itulah yang berhasil memimpin operasi penumpasan               pengacau keamanan.
(3) Banyak pencopet yang beroperasi di bus‑bus.
     Selanjutnya, polisemi dapat juga ditimbulkan oleh pengaruh asing yang be­rupa peminjaman makna. Contoh :
(1) Tini membeli telur sepuluh butir  
(2) Jalur pemerataan dalam P4 terdiri atas delapan butir
    (padanan kata  item).

2.4 Homonim
     Homonim ialah dua kata atau lebih yang ejaan dan/atau lafalnya sama, tetapi maknanya berbeda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata‑kata yang ber­homonim dijelaskan sebagai berikut.
1   bak p kata depan untuk menyatakan perbandingan; bagai­kan: kedua anak itu wajahnya mirip , ... pinang dibelah dua.
2   bak n 1 kotak besar (tempat sampah dsb); 2 kolom tempat air.
3   bak n tinta Cina (hitam warnanya)
4   bak n tiruan bunyi; debak
Angka arab 1, 2, 3 dan 4 yang diletakkan di depan lema itu menunjukkan homonim yang homograf dan homofon.
     Kata‑kata yang berhomonim dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu homo­nim yang (1) homograf, (2) homofon, dan (3) homograf dan homo­fon. Contoh:
1) homograf (sama ejaannya, berbeda ucapannya)


    teras  n : bagian kayu yang keras, inti kayu
    teras  n : teras rumah; lantai yang agak tinggi di
                 depan rumah
    apel n   : buah apel
    apel v   : naik banding ke pengadilan yang lebih
               tinggi
    apel v   : wajib hadir  dalam upacara resmi
2) homofon (sama ucapannya, berbeda ejaannya)
    bang     : bang Amat 'kak'
    bank     : bank Bumi Daya
    sangsi   : tidak sangsi 'bimbang', 'ragu‑ragu'
    sanksi   : tidak ada sanksinya apa‑apa tindakan‑
                 tindakan, hukuman, dsb.
3)  homograf dan homofon (homonim yang ejaan dan ucapannya sama)
    1 genting a : tegang; berbahaya    
2 genting n : tutup atap rumah yang dibuat dari tanah
                 liat yang dicetak dan dibakar
    1 babat v tebas
    2 babat n daging perut besar : soto babat
    3 babat n golongan yang sama jenisnya (keadaannya)
     Dalam bahasa Indonesia terdapat homonim yang homograf dan homofon yang berupa kata turunan (berimbuhan). Contoh :
(i)  beruang (ber ‑+ ruang) 'mempunyai ruang'
          beruang (ber ‑+ ruang) 'mempunyai uang'
(ii) mengarang (meng ‑+ arang) 'menjadi arang'
          mengarang (meng ‑+ karang) 'menjadi seperti batu karang'
          mengarang (meng ‑+ karang) 'membuat karangan' 
Bagaimanakah homonim itu dapat terjadi ? Ada dua kemungkinan yang menyebabkan terjadinya homonim, yaitu (1) masuknya unsur serapan baik dari bahasa daerah maupun asing dan (2) proses morfologis.
Contoh (1) :
1 bisa : 'racun' (bahasa Indonesia)
    2 bisa : 'dapat' (dari bahasa Jawa)
 
      bang : 'azan' / 'abang' (kakak)
      bank : 'bank' Bumi Daya



Contoh (2) :
mengukur (meng ‑+ kukur): 'memarut' kelapa; menggaruk
              garuk kepala karena gatal'
     mengukur (meng ‑+ ukur): 'menghitung ukurannya
              (panjang, luas, tinggi, dan besar)
     berevolusi (ber ‑+ evolusi)
     berevolusi (ber ‑+ revolusi)

Catatan :
  Polisemi tidak sama dengan homonim. Perbedaannya Sebagai berikut:

         Polisemi                   Homonim 
 (1) bersumber pada satu       bersumber pada dua kata
     kata saja;                atau lebih;
 (2) maknanya masih ber ‑      maknanya berbeda dan tidak
     hubungan.                 berhubungan.

Perhatikanlah contoh perbadingan berikut ini !

         Polisemi                    Homonim
 (1) kopi bubuk                     kopi kahwa (coffee : Inggris)
 (2) kopi beras (kopi yang      kopi 'salinan surat' (copy :
     kental/pahit)                   Inggris
 (3) mendapat kopi pahit    
     (kena marah)
 (4) uang kopi (uang lelah)
 (5) mengopi minum kopi      mengopi surat 'memfotokopi'
                                           surat'

2.5. Hiponim
Hiponim ialah kata‑kata yang maknanya tercakup atau ada di bawah kata yang menjadi hipernimnya (atasannya). Contoh : kata mawar, melati, cempaka, kenanga, kantil, dan anggrek adalah hiponim dari bunga.. Semua jenis bunga termasuk atau ada di bawah kata bunga yang menjadi hipernimnya. Hubungan antara mawar, melati, cempaka, kenanga, kantil, dan anggrek (sama‑sama jenis bunga) disebut kohiponim).
Perlu dicatat bahwa hiponim itu pada gilirannya dapat menjadi hipernim bagi sejumlah hiponim yang ada di bawahnya.


Contoh (1):


                                         bunga
                                            
            ­
                                                                        
     melati              mawar        kenanga     kantil                   
                              
              
                                        
             merah    putih    kuning

Contoh (2) :

                                   makhluk
                                      
                 
                                                      
               manusia   binatang  tumbuh‑tumbuhan
                                      
                 
                                                      
                 ikan         Unggas    insekta
                 
  
                                                     
 lele      tongkol       teri        gurami  mujair


Catatan :
     Sering kita jumpai pemakaian hiponim sebagai "bawahan" dan hipernim sebagai "atasan" sekaligus sehingga menimbulkan bentuk yang mubazir.
Contoh:
(i)   Saya suka makan pecal ikan lele.
(ii)  Sehabis makan, dia makan buah pisang
(iii) Warna putih merupakan lambang kesucian.


(iv)  Jalan‑jalan di kota saya sudah diterangi oleh lampu‑
      lampu neon.
Kalimat‑kalimat di atas dapat dihematkan menjadi
(ia)   Saya suka makan pecal lele.
(iia)  Sehabis makan, dia makan pisang.
(iiia) Putih merupakan lambang kesucian.
(iva)  Jalan‑jalan di kota saya sudah diterangi oleh neon‑
       neon.

3. Perbedaan Makna
     Kadang-kadang kita sulit memahami makna kata terutama kata-kata bersino­nim. Banyak kata -- lebih-lebih kata bersinonim -- memang memiliki perbedaan makna yang halus. Bagaimanakah cara kita membedakan­nya? Kita dapat mem­bedakan­ atau menjelaskannya dengan cara melihat hubungannya dengan kata lain. Dengan cara itu, kita akan menemukan perbedaan makna kata. Perbedaan makna kata itu ada bermacam-macam sebagaimana dijelaskan berikut.

3.1 Perbedaan Taraf (Gradasi)
     Kata-kata bisa memiliki perbedaan taraf. Dua kata bersinonim dapat memiliki perbedaan taraf makna. Contoh:
sumpah -- janji
cita-cita -- keinginan
Kata sumpah lebih tinggi tarafnya daripada janji sebab sumpah saksinya Tuhan, sedang janji saksinya manusia. Kata cita-cita lebih tinggi tarafnya daripada ke­inginan. Contoh dalam kalimat:
1)  Sumpah itu diucapkannya dengan tulus.
Janjinya kepada ayah belum dipenuhi.
2)  Ia bercita-cita menjadi dokter.
Ia berkeinginan membeli rujak.



3.2 Perbedaan Tekanan
     Kata-kata dapat berbeda tekanan maknanya. Dua kata bersinonim kadang-kadang mengandung perbedaan tekanan makna. Inti maknanya sama. Contoh:
perawan -- gadis
sahabat -- teman
Sebenarnya kata perawan dan gadis bermakna sama, hanya tekanannya berbe­da. Kata perawan lebih menekankan sifat emosional yang lebih kuat daripada kata gadis. Demikian juga kata sahabat lebih menekankan keakraban daripada teman. Contoh dalam kalimat:
1)  Gadis itu pergi sendiri.
Dia sudah perawan.
2)  Dia sahabat karib saya.
Dia teman saya.

3.3 Perbedaan Luas-Sempit
     Kata-kata dapat memiliki perbedaan luas-sempit cakupan maknanya. Kata-kata berhiponimi umumnya memiki perbedaan luas-sempit cakupan makna. Contoh:
unggas --- burung
binatang --- kera
Kata unggas lebih luas cakupan maknanya daripada kata burung. Kalau burung pasti unggas, tetapi unggas belum tentu burung. Demikian juga kata bina­tang lebih luas cakupan maknanya daripada kata kera. Kalau kera pasti binatang, tetapi binatang belum tentu kera. Contoh dalam kalimat:
1)  Hasnah berternak unggas.
Arief memelihara burung.
2)  Sahdubudi pergi ke kebun binatang.
Syarif memiliki seekor kera.

3.4 Perbedan Asal-Usul
     Kata-kata kadang-kadang memiliki makna sama persis, tetapi asal-usulnya berbeda. Perbedaan asal-usul saja yang ada. Contoh:
kawin -- nikah


roh -- jiwa -- nyawa
Kata kawin  berasal dari bahasa Parsi, sedang kata nikah dari bahasa Arab. Kata roh berasal dari bahasa Arab, jiwa dari bahasa Sanskerta, dan nyawa dari baha­sa Indonesia/Jawa. Contoh dalam kalimat:
1)  Ia sudah menikah.
Ia sudah kawin.
2)  Semoga rohnya diterima di sisi-Nya.
Jiwanya terancam.
Nyawanya terancam.

3.5 Perbedaan Bentuk Kata
     Kata-kata kadang-kadang memiliki makna inti sama, tetapi bentuk katanya berbeda. Perbedaan bentuk kata saja yang ada. Contoh:
roh -- arwah
unsur -- anasir
Kata roh merupakan bentuk tunggal, arwah merupakan bentuk jamak. Demikian juga kata unsur merupakan bentuk tunggal, anasir merupakan bentuk jamak. Contoh dalam kalimat:
1)  Semoga rohnya diterima di sisi-Nya.
Arwah pahlawan yang mendahului kita.
2)  Unsur apa saja yang terlibat kerusuhan?
Anasir apa saja yang terlibat kerusuhan?

3.6 Perbedaan Konsep
     Kata-kata juga dapat memiliki perbedaan konsep, yaitu gagasan atau pikiran yang terkandung dalam kata tersebut. Contoh:
segan -- enggan
menanti -- menunggu
Kata segan berarti hormat kepada seseorang, sedang kata enggan berarti tidak mau atau malas. Kata menanti menggambarkan objek yang jauh, sedang kata menunggu menggambarkan objek yang dekat. Contoh dalam kalimat:
1)  Muaz segan terhadap Bapak Guru yang berwibawa itu.


Ia enggan ke rumah Salim.
2)  Ikram menanti kereta api.
Maulana menunggui orang sakit.


3.7 Perbedaan Pemakaian
     Kata-kata dapat memiliki perbedaan wilayah pemakaian. Makna intinya sama. Contoh:
sumber -- mata air
segala -- semua
Dalam bahasa Indonesia ada istilah sumber hukum, sumber berita, sumber ke­miskinan, dan sumber masalah. Tidak ada istilah mata air hukum, mata air berita, mata air kemiskinan, dan mata air masalah. Demikian juga ada istilah segala sesuatu, segala-galanya, dan segala kebaikan, tetapi tidak ada istilah semua sesuatu, semua-muanya; ada semua kebaikan.

4. Perubahan Makna
4.1 Penyebab Perubahan Makna
     Makna kata-kata bahasa Indonesia dapat berubah. Perubahan makna itu dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu (1) faktor kebahasaan dan (2) faktor nonkebahasaan. Masing‑masing diuraikan berikut.

4.1.1 Faktor Kebahasaan
Perubahan makna yang disebabkan oleh faktor kebahasaan berkaitan de­ngan proses (1) morfologi atau (2) sintaksis.  Contoh :
(1) (i)   Mereka sedang makan dan minum.
    (ii)  Rumah makan dijual berbagai makanan dan minuman.
    (iii) Dia seorang peminum dan pemabuk.
    (iv)  Mereka sedang makan‑makan dan minum‑minum.
(2) (i)   Tono sungguh mencintai Tini.
    (ia)  Tini sungguh dicintai Tono.
    (ic)  Tini mencintai Tono.


Perubahan kata makan pada contoh (i) disebabkan oleh proses pengimbuh­an, pengulangan, dan pemajemukan, sedangkan pada contoh (2) kalimat (i) ber­ubah maknanya karena diubah menjadi pasif ((ia)) dan diubah subyek‑­obyeknya ((ie)).
Pengaruh asing ke dalam bahasa Indonesia yang berupa peminjaman makna dapat menyebabkan per­ubahan makna. Misalnya, kata butir yang semula dipakai sebagai kata penolong benda yang bulat‑bulat dan kecil‑kecil (sebutir kelereng/ telur/biji) sekarang dipakai sebagai padanan kata asing item.


Contoh:
 (i)     Jalur pemerataan P4 terdiri atas delapan butir (hal/soal). (ii) Dalam Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil Bab II, Pasal 2 butir (nomor) pertama disebutkan bahwa setiap pegawai negeri sipil wajib setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintah.


Contoh‑contoh lain :
acuan         :     (i) cetakan (klise,peluru,dsb)
                   (2) rujukan (padanan kata referen)
kemudahan     : (i) kegampangan
                   (2) padanan kata fasilitas
merakit       : (i) naik rakit
                   (2) merakit mobil (padanan kata to   
                    assemble)
                    perakitan = assembling
meliput       :    (i) menutupi
                   (2) padanan kata meng‑cover


     Gejala bahasa dapat menyebabkan perubahan makna kata bahasa Indonesia. Misalnya, kata saha­ya yang semula bermakna hamba, abdi, budak, tetapi karena berubah bentuknya menjadi saya (gejala pemendekan) artinya berubah menjadi orang pertama yang hormat. Kata sah yang berarti berlaku/diakui kebe­narannya oleh pihak resmi sering dilafalkan dan ditulis syah (gejala pembenar­an berlebihan). Padahal, kata syah berarti 'raja'.
Selanjutnya, akibat pengaruh dialek suatu kata dapat berubah maknanya. Misalnya, kata tahu yang dalam bahasa Indonesia berarti 'mengerti sesudah melihat', tetapi karena pengaruh dialek Jakarta, artinya menjadi 'tidak tahu'.

4.1.2 Faktor Nonkebahasaan
Perubahan makna yang disebabkan oleh faktor nonkebahasaan berkaitan fak­tor (i) waktu, (2) tempat, (3) sosial, (4) lingkungan (domain), dan (5) perubah­an konotasi.

4.1.2.1 Perubahan Makna karena Perubahan Waktu
Kata pujangga semula bermakna 'ular', kemudian bermakan sarjana, dan sekarang bermakna pengarang hasil‑hasil sastra baik puisi maupun prosa.
Contoh‑contoh lain :
        Makna dahulu                  Makna sekarang
berlayar 'bepergian' dengan      'bepergian dengan menumpang                    menumpang perahu yang          perahu yang memakai layar  
memakai 'layar'                        atau tidak, yaitu dengan
                                               kapal yang memakai mesin
                                               uap atau motor disel

juara 'pengatur dan pelerai           pemenang pertama dalam
dalam persambungan ayam'          perlombaan/pertandingan

bapak 'orang tua laki‑laki;        sapaan terhadap orang laki‑
      'ayah'                                 laki yang umurnya lebih tua
                                               atau yang kedudukannya      
                                               lebih tinggi




4.1.2.2 Perubahaan Makna karena Perbedaan Tempat
Kata bangsat di Minangkabau bermakna 'orang miskin/jembel; di Jakarta  bermakna 'kepinding'; dalam bahasa Indonesia bermakna 'orang yang bertabiat jahat (suka mencuri, merampok, dsb.)
Contoh‑contoh lain :
batin   : di Sumatra bermakna 'penghulu adat; dalam bahasa                        
            Indonesia bermakna 'yang terdapat dalam hati              
            (perasaan hati)
lurah   : di Jawa bermakna 'kepala desa; dalam bahasa Indonesia bermakna           'lembah; jurang'
butuh   : di Jawa berarti 'perlu', di Kalimantan         
              Timur/Palembang berarti 'kemaluan laki‑laki;
              dalam bahasa Indonesia berarti 'perlu'

4.1.2.3 Perubahan Makna  karena Faktor Sosial
Kata oknum bermakna 'penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik, lalu ber­makna 'orang yang terlibat dalam hal‑hal yang kurang baik.
Contoh‑contoh lain :
kebijaksanaan :     selalu menggunakan akal budinya, arif, dan tajam pikiran; sekarang kata yang bernilai positif ini merosot konotasinya akibat kasus‑kasus di masyarakat yang tidak baik
gerombolan    : kelompok orang yang berkumpul/bergerombol; lalu kata tersebut tidak disukai masyarakat karena kata ini dihubung­kan dengan pengacau, pemberontak, perampok, dsb.
pahlawan      : pejuang yang rela berkorban untuk membela tanah air dan bangsa (pahlawan nasional/revolusi), kata tersebut lalu dipakai untuk menyebut orang dapat menentukan suatu keberhasilan (pahlawan Piala Uber/Piala Thomas)

4.1.2.4 Perubahan Makna karena Perbedaan Lingkungan
Kata kitab secara umum bermakna 'buku' (kitab tulis = buku tulis); di lingkungan agama kata kitab bermakna 'buku suci' (kitab suci Alquran, In­jil,Taurat,Zabur)
Contoh‑contoh lain :
jurusan   :    (i) di lingkungan lalu lintas bermakna 'arah;tujuan'


(2) di lingkungan pendidikan tinggi bermakna  
                'bagian fakultas (jurusan bahasa dan 
                sastra Indonesia,jurusan bahasa Inggris,
                dan sebagainya.)
            (3) di lingkungan olahraga pencak silat kata
                jurus bermakna 'bagian sikap badan 
                (tegak,condong,dsb.)
operasi   : (i) di lingkungan kedokteraan bermakna
                'pembedahan'
            (2) di lingkungan kemiliteran bermakna
                'taktik berperang'
            (3) di lingkungan kepolisian bermakna
                'tindakan ekonomi'/'kejahatan'
imam      : (i) di lingkungan agama Islam bermakna
                'pemimpin pada waktu sholat;
            (2) di lingkungan agama Katolik bermakna
                'padri atau pendeta Katolik'

4.1.2.5 Perubahan Makna karena Perubahan Konotasi
Kata mengamankan bermakna 'menjadikan tidak berbahaya, tidak rusuh (kacau, kemelut, dsb.)/tenteram'. Karena ada perubahan konotasi, maknanya kemudian berubah menjadi 'menahan, menangkap, atau memenjarakan': polisi mengamankan pembunuh/perampok/koruptor,dsb. Dalam hal ini, ada faktor psikologis, yaitu mengurangi ketakutan dari pihak yang ditahan/ditangkap atau perlakuan yang sopan/halus terhadap dia.
Contoh‑contoh lain :
dibebastugaskan    :
(1) 'diberi izin tidak melaksanakan tugasnya '; misalnya : Dia dibebastugaskan  
     karena cuti hamil.
                             
(2) 'diberhentikan dari tugasnya/jabatanya; misalnya : Dia                                        dibebastu­gaskan karena melanggar peraturan pemerintah (PP10)


diistirahatkan     : (1) 'disuruh berhenti sebentar untuk mengaso';
                            (2) 'diberhentikan dari pekerjaan (di‑PHK‑kan)'
dirumahkan         : (1) 'disuruh bertempat tinggal di rumah, tidak bergelandengan';
                           (2) 'dibebaskan tidak bekerja dengan menyuruh tinggal dirumah                                      saja'
4.2 Macam‑macam Perubahan  Makna
Berdasarkan sebab‑sebab perubahan makna, dapat dibedakan enam macam perubahaan makna, yaitu (1) perluasan makna, (2) penyempitan (pembatasan) makna, (3) peninggian makna, (4) penurunan makna, (5) persamaan makna, dan (6) pertukaran makna.

4.2.1 Perluasan Makna
Perluasan makna ialah perubahan makna dari yang sempit/khusus ke yang luas/umum. Jadi, cakupan makna baru menjadi luas (makna) dibandingkan de­ngan makna lama/semula. Contoh :
          Lama                             Baru
bapak 'orang tua laki‑laki;        'semua orang laki‑laki yang
          ayah'                              umurnya lebih tua atau
                                               kedudukannya lebih tinggi'                            
saudara 'anak‑anak yang se‑   'semua orang yang sama umur
            kandung/seibu se‑     /kedudukan' (kata  sapaan)                               
            bapak' (kata ke‑        
            kerabatan) 
berlayar'mengarungi laut      'mengarungi laut tidak hanya
            dengan kapal yang     dengan kapal layar,
            menggunakan layar'    tetapi juga dengan kapal
                                             yang bermesin'



Catatan :
Dalam bahasa Indonesia terdapat pasangan kata yag berjenis kelamin laki‑laki/­pria dan perempuan/wanita, yaitu :
     pemuda    ‑ pemudi;
     mahasiswa ‑ mahasiswi;
karyawan  ‑ karyawati;
hadirin   ‑ hadirat;
Dalam perkembangannya kata‑kata yang berjenis laki‑laki/pria mengalami perluasan makna sebab kata pemuda/mahasiswa/karyawan/hadirin mencakup yang laki‑laki/pria dan yang perempuan/wanita.

4.2.1 Penyempitan Makna
Penyempitan makna ialah perubahan makna yang luas/umum ke yang sem­pit/khusus. Jadi, cakupan makna baru menjadi sempit (menyempit) jika diban­dingkan dengan cakupan makna lama. Contoh :
            Lama                        Baru
sarjana 'orang pandai/         'lulusan perguruan tinggi/
            cendekiawan            lulusan universiter'
pendeta ' orang yang ber‑      'guru agama Kristen atau
            ilmu'(dari bahasa      Domine'
            Sanskerta)
sastra ' semua tulisan '       'tulisan yang bersifat
                                      seni/karya seni bahasa'

4.2.3 Peninggian Makna
Peninggian makna ialah perubahan makna yang mengakibatkan makna yang baru dirasakan lebih tinggi/hormat/baik/halus daripada makna yang lama (semu­la).


Contoh :
         Lama                          Baru
wanita 'yang diinginkan'       'lebih tinggi/hormat dari‑
           (oleh pria)                 pada kata perempuan'
seni 'air kencing'                   'ciptaan yang bernilai/


                                            indah/halus (seni
                                            sastra, seni musik,
 bung 'panggilan kepada         'panggilan kepada tokoh/
         orang laki‑laki               pemimpin (Bung Karno,
         (abang)                         Bung Tomo, Bung sahrir)


4.2.4 Penurunan Makna
Penurunan ialah perubahan makna yang mengakibatkan makna baru dianggap lebih rendah/kurang baik/kurang halus daripada makna lama (semula).
Contoh :
          Lama                         Baru
Perempuan 'menjadi tuan'       'lebih rendah daripada kata
                                              wanita'
bini 'perempuan yang           'lebih rendah daripada kata
         sudah dinikahi'           istri/nyonya'
bekas 'pernah menjabat         'dianggap lebih rendah dari
         atau menjadi ...'         pada kata mantan
         (bekas menteri,           (mantan menteri,mantan
         bekas gubernur,           gubernur, mantan wali
         bekas walikota,dsb)       kota,dsb.)

Catatan :
a.  Penggantian kata bekas dengan mantan dimaksudkan untuk menghilangkan konotasi yang buruk dan juga dipakai untuk menghor­mati orang yang pernah memangku suatu jabatan atau profesi yang baik. Untuk menyebut orang‑ orang yang pernah berbuat jahat, misalnya ,tetap dipakai kata bekas (bekas perampok­/pemberontak/pen­gacau/narapidana, dsb.) Untuk menyebut ba­rang‑barang/bin­atang yang tidak dipakai lagi dipakai kata bekas (bekas mobil gubernur, bekas kuda balap).
b.  Kata‑kata bentukan baru dengan kata tuna dirasakan lebih halus/h­ormat daripada kata yang sudah ada dan merupakan ungkapan halus (eufemisme). Contoh :


tunarungu  ‑ tuli
tunanetra  ‑ buta
tunawicara ‑ bisu
tunawisma  ‑ gelandangan
tunasusila ‑ pelacur

4.2.5 Persamaan (Asosiasi)
Persamaan atau asosiasi ialah perubahan makna yang terjadi akibat persama­an sifat antara makna lama (semula) dan makna baru. Contoh :
           Lama                           Baru
amplop 'sampul surat'              'uang sogok/suap'
samir 'lemak berwarna untuk    'uang suap'
          mengkilapkan kulit/       
          sepatu'
mencatut 'mencabut paku         'menarik keuntungan'
            dengan catut'

4.2.6 Pertukaran (Sinestesia)
Pertukaran ialah perubahan makna akibat pertukaran tanggapan dua indra yang berbeda.


Contoh :
Kata‑katanya pedas.
(pendengar perasa)
Rupanya manis.
(penglihat perasa)
Suaranya halus.     (pendengar perasa)
Warna lukisan itu sangat ramai.
(penglihat    pendengar)

Catatan :
a. Bandingkan tuturan dengan kata manis berikut ini !
(i)   gula manis (makna lugas)
(ii)  gadis manis (makna kiasan)


(iii) Kata‑katanya manis (sinestesia)
b.  Sinestesia adalah sejenis metafora. Bedanya dengan metafora adalah sebagai berikut.
          Sinestesia                           Metafora
terjadi dari pertukaran            majas yang berupa per‑
tanggapan dua indra yang       bandingan secara  lang‑
berbeda (tidak ada per ‑           sung (raja siang=mata‑
bandingan antara dua hal)        hari; ratu dunia=koran)
  
5. Cara Memperkaya Kosakata
     Para pengguna bahasa Indonesia perlu terus-menerus memperkaya, mem­perluas, dan memperdalam kosakata yang dimilikinya. Hal ini bisa dilakukan de­ngan cara (1) memanfaatkan kamus, (2) menganalisis kata, dan (3) berlatih meng­guna­kan kata bahasa Indonesia.

5.1 Memanfaatkan Kamus
     Kamus baik kamus umum, sinonim, ungkapan maupun tesaurus merupakan daftar kosakata yang terdapat atau dimiliki oleh suatu bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan Pusat Pembinaan dan Pe­ngembangan Baha­sa, Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwa­darminto, Kamus Badudu-Zain susunan St. Mohammad Zain dan J.S. Badudu, Kamus Ungkapan susunan J.S. Badudu, dan Kamus Sinonim susunan Harimurti Kridalaksan­a, misalnya, memuat daftar kosakata yang terdapat atau dimiliki oleh bahasa Indonesia. Kamus-kamus itu merupakan sumber kosakata bahasa Indo­nesia bagi para pengguna bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dapat dimanfaat­kan untuk memperkaya, memperluas, dan memperdalam kosakata yang dimiliki oleh pengguna bahasa Indonesia.
     Pemanfaatannya bisa dilakukan dengan berbagai cara.


1)  Cara pertama, peng­guna bahasa Indonesia dapat membuka kamus setiap kali menemukan kesulitan atau mengalami masalah yang berkenaan dengan jenis, makna, atau fungsi kata pada waktu berbahasa Indonesia. Misalnya, pada waktu mengalami masalah de­ngan kata mantan dan bekas, pengguna bahasa Indonesia dapat mencari penje­lasan dengan jalan membuka kamus.
2)  Cara kedua, pengguna bahasa Indonesia perlu sesering mungkin membuka kamus untuk memperluas dan memperd­alam makna dan fungsi kata yang telah diketahuinya. Setelah secara umum mengeta­hui makna canggih itu sophisticated, perlu kiranya pengguna bahasa Indonesia membuka kamus guna mengetahui makna lain canggih.
3)  Cara ketiga, pengguna bahasa Indonesia dapat mengecek kata-kata sukar yang diperoleh dalam berba­hasa Indonesia dengan bantuan kamus. Misal­nya, ketika pengguna bahasa In­donesia tidak mengetahui makna waralaba dan imbal beli sewaktu membaca berita di surat kabar, dia dapat memanfat­kan kamus.

5.2 Menganalisis Kata
     Menganalisis kata berarti menghimpun (menginventariasi), mengidentifikasi, menggolongkan, dan menjelaskan struktur, jenis, makna, dan fungsi kata baik secara terpisah maupun kontekstual. Kegiatan itu sangat bermanfaat bagi para pengguna bahasa Indonesia. Kebiasaan dan kegemaran pengguna bahasa In­donesia menganali­sis kata akan memperkaya, memperluas, dan mem­perdalam kosakata yang mereka miliki atau ketahui. Oleh karena itu, ada baiknya mereka membiasakan diri menganalisis kata-kata bahasa Indonesia yang kurang (tidak) mereka ketahui makna dan fungsinya; mereka guna­kan dalam berbahasa Indo­nesia; mereka temui dalam bacaan dan pembicaraan.
    Ada beberapa cara menganalisis kosakata yang dapat dilakukan oleh para pengguna bahasa Indonesia.


1)  Cara pertama, pengguna bahasa Indonesia dapat menganalisis pasangan-pasangan tetap, sandingan tetap, atau konteks pemakaian yang dimiliki oleh sebuah kata. Misal­nya, kata bunga memiliki pasangan tetap bunga desa, bunga bangsa, bunga pinjaman, bunga uang, bunga jantan, bunga betina, dan bunga api. Kata cantik  bersandin­g dengan kata dengan ga­dis, wanita, boneka, dan permain­an. Kata cantik juga memi­liki pasang­an tetap dengan kata molek dan jelita. Contoh selanjutnya, kata mati, wafat, mangkat, gugur, tewas, mampus, berpulang, meninggal dunia, dan kembali ke rahmatullah memiliki konteks pemakaian yang berbeda, tetapi relatif tetap. (Perampok itu tewas/mampus, Ia telah mati, Sang Raja telah mangkat, Pahlawan itu gugur di medan tempur, Nenek/Kakek meninggal dunia/wafat/berpulang/kembali ke rahmatullah tiga tahun lalu).
2)  Cara kedua, pengguna baha­sa Indonesia menganalisis tata hubungan makna kata, yaitu hubungan kesino­niman, keantoniman, kehiponiman, dan kepolise­mia­n. Misalnya, setelah memba­ca sebuah bacaan tentang bunga, pembaca bisa mencatat kata-kata penting tentang bunga, yaitu bunga, mawar, melati, bunga bangkai, harum, dan busuk.  Setelah itu, kata-kata penting itu dicari sinonim, antonim, hiponim, homonim atau poliseminya: apakah sinonim bunga?; apakah hiponim bunga?;a­pakah polisemi bunga?.
3)  Cara ketiga, pengguna bahasa Indonesia dapat menganalisis hubungan men­datar (sintagmatis) dan menurun (paradigmatis). Misalnya, berdasarkan hu­bungan mendatar, jenis dan makna kata cang­kul, tele­pon, dan membaca  dapat diketahui dengan cara menem­patkan­nya dalam berbagai posisi dalam kalimat: (i) Cangkul itu mahal harga­nya;Ia cangkul juga ladang itu, (ii) Tele­pon sudah memasyarakat; Ia telepon kakaknya, dan (iii) Membaca menjadi kegemarannya; Dia membaca koran pagi . Selanjutnya, berdasarkan hubung­an me­nurun, dengan kata pramu atau pramugari  dapat dikembangkan kata pramugar­a, pramuwisata, pramuwisma, pramusiwi, pramuria, dan pramusaji. Dengan kata juru dapat dibentuk juru lampu, juru rawat, juru rias, juru catat, dan juru tagih. Dengan imbuhan me- dapat dibentuk memerah, menguning, menghijau, menangis, mengeluh, meminta, mencangkul, menyabit, dan se­bagainya.
4)  Cara keempat, pengguna bahasa Indonesia dapat menganalisis konteks kata bahasa Indonesia baik konteks kalimat maupun wacana. Dengan konteks itu akan dapat diketahui berbagai ma­cam makna suatu kata. Misalnya, kata bisa dalam konteks Saya bisa mem­baca dan Ia menelan bisa ular bermakna 'dapat' dan 'racun'; kata roman dalam konteks Roman mukanya muram dan Ia membaca roman bermakna 'raut muka' dan 'jenis karya sastra'; dan kata tanggal dalam konteks Giginya telah tanggal dan Sekarang tanggal lima bermakna 'lepas' dan 'urutan hari'.

5.3 Berlatih Menggunakan Kata


     Berlatih menggunakan kata berarti mempraktikkan atau menerapkan kata-kata dalam kegiatan berbahasa Indonesia secara nyata. Secara berarti, kegiatan ini dapat mem­perkaya, memperluas, dan memperdalam kosakata seseorang. Se­makin sering seseorang berlatih menggunakan kosakata, semakin kaya, luas, dan dalam kosakata yang dimiliki dan diketahuinya. Dikatakan demikian karena berlatih menggunakan kata selalu melibatkan seseorang secara nyata dalam kegiatan berbahasa Indonesia sehingga ia benar-benar dapat belajar. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara.
1)  Cara pertama, pengguna bahasa Indonesia, terutama murid-murid SD atau MI, dapat berlatih menggunakan kata bahasa Indonesia dalam permainan tertentu. Mengisi teka-teki silang, bermain scrable, dan mencocokkan pa­sangan kata adalah contoh bentuk permainan yang bisa dipakai untuk mem­perka­ya, memperluas, dan memperdalam kosa­kata bahasa Indonesia.
2)  Cara kedua, pengguna bahasa Indonesia, terutama murid-murid SD atau MI, dapat berlatih menggunakan kata bahasa Indonesia dalam berbicara dan me­nulis. Berbagai bentuk kegiatan berbicara dan menulis memerlukan kata-kata kunci berbeda. Mengenalkan diri, berdoa, bertanya harga, bercakap-cakap tentang pelajaran, dan sebagainya membutuhkan kata-kata berbeda. Demiki­an juga menulis telegram, slogan, iklan, surat izin, pengalaman liburan, dan sebagainya membutuhkan kata-kata berbeda. Kegiatan ini membutuhkan ko­sakata yang kaya, luas, dan dalam. Hal ini menuntut sekaligus membuat pengguna bahasa Indo­nesia memiliki perbendaharaan kata yang kaya, luas, dan dalam.


6.Pembelajaran Kosakata Bahasa Indonesia
      Bagaimanakah pembelajaran kosakata bahasa Indonesia pada murid-murid MI? Pembelajaran itu dapat dilaksanakan dengan mengindahkan seperangkat asas berikut ini.
1)  Pembelajaran kosakata bahasa Indonesia berhubungan langsung dengan pembelajaran makna dan fungsi kata; belajar kosakata Indonesia berarti bel­ajar makna dan fungsi kata Indonesia dalam konteks kalimat atau wacana bahasa Indo­nesia.


2)  Pembelajaran kosakata bahasa Indonesia dilakukan dalam konteks kalimat atau wacana bahasa Indonesia. Kosakata diajarkan secara kontekstual dan fungsional, tidak terpisah-pisah. Oleh karena itu, pembelajaran kosakata ter­ikat konteks.
3)  Pembelajaran kosakata bahasa Indonesia dilakukan secara terpadu dengan kegiatan pembelajaran menyimak, membaca, berbicara, dan menulis serta apresiasi sastra Indonesia. Jika dimungkinkan atau diperlukan, dapat pula dilakukan secara terpadu dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran lain, misalnya IPA dan IPS.
4)  Pembelajaran kosakata bahasa Indonesia dilakukan dengan cara menjelas­kan kosakata kepada murid-murid, melatihkan penggunaan kata kepada mu­rid, dan melibatkan murid-murid dalam berbagai kegiatan berbahasa Indone­sia. Kegiatan melatihkan penggunaan kata dan melibatkan murid dalam kegi­atan harus diutamakan daripada kegiatan menjelaskan kosakata kepada murid-murid.

2 comments: