Friday, July 26, 2013

GENDER DISPARITY





GENDER DISPARITY IN AYAT AYAT CINTA (AAC) NOVEL BY
HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY AND PEREMPUAN BERGKALUNG SORBAN (PBS) NOVEL BY ABIDAH EL KHOLIEQY:  GENDER ANALYSIS STUDY FEMINIST LITERARYCRITICISM
Umi Salamah
 
ABSTRACT: Chosen Ayat-ayat Cinta (AAC) novel by Habiburrahman El Shirazy and Perempuan Berkalung Sorban (PBS) Novel by Abidah El Shyrazy because it is written by two different authors gender. This research problem is formulated as follows: How is the implementation of the gender imbalance in the domestic space, in a public space, the causes of gender inequality and gender inequality resolution models. The approach used gender analysis and feminist literary criticism. Sources of data two novels written by male authors and female, namely AAC and PBS. In this study, the researcher acted as the main instrument. Data was collected and analyzed through the steps (1) read the heuristic and hermeneutical, (2) registering data, (3) classifying the data, (4) interpreting the data, and check the validity of the data.
Based on data analysis concluded: (1) forms of gender inequalities in domestic space in the form of a novel AAC violence (violent) and the physical form lug whipng and psychological violence (mental distress), whereas in the novel form stereotip PBS, a disproportionate burden, physical violence, sexual, and psychological, subordinate women, and marginalization (2) forms of gender inequality in public spaces in AAC form of abuse and mistreatment in public, whereas in the tradition of dichotomous PBS steriotip and marginalization of women who are rooted in society, (3) causes of gender inequality in the novel AAC is patriarchal and capitalist ideology that was deflected in destiny and humanitarian appeals, while. in the novel idelogi patriakhi PBS is clearly and consistently, and (4) model in solving the gender imbalance in the form of a novel AAC placement of women in inferior positions, until the end of the story and the superior position of male, female characters do not fight. As in the novel PBS, the model resolution of the problems of gender imbalance against women is a women's resistance to the ideology of patriarchy through discussion/logical thinking and working hard. At the end of the story, she was successfully placed on a more equal with men.

Keywords: gender inequality, women, novel, gender analysis, feminist criticism



KETIMPANGAN GENDER DALAM NOVEL AYAT AYAT CINTA (AAC)
KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY DAN  NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHOLIEQY:
 KAJIAN ANALISIS GENDER KRITIK SASTRA FEMINIS

Umi Salamah*)

ABSTRAK


            Dipilihnya novel Ayat-ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban (PBS) karya Abidah El Shyrazy karena ditulis oleh dua pengarang yang berbeda jender. Masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah implementasi bentuk ketimpangan jender dalam ruang domestik, dalam ruang publik, penyebab terjadinya ketimpangan jender; dan model penyelesaian ketimpangan jender. Pendekatan yang digunakan analisis jender dan kritik sastra feminis. Sumber data dua novel yang ditulis oleh pengarang laki-laki dan perempuan, yaitu AAC dan PBS. Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen utama. Pengumpulan dan analisis data dilakukan dengan langkah-langkah (1) membaca secara heuristik dan hermeneutis, (2) mendaftar data, (3) mengklasifikasi data, (4) menafsirkan data, dan mengecek keabsahan data.
Berdasarkan analisis data disimpulkan: (1) bentuk ketimpangan jender dalam ruang domestik pada novel AAC berupa kekerasan (violent) fisik berupa penyeretan dan pencambukan dan kekerasan psikis (jiwa tertekan), sedangkan pada novel PBS berupa steriotip, beban yang tidak proporsional, kekerasan fisik, seksual, dan psikhis, perempuan tersubordinasi, dan  marginalisasi (2) bentuk ketimpangan jender di ruang publik pada AAC berupa makian dan perlakuan kasar di depan publik,  sedangkan dalam PBS berupa tradisi dikotomis steriotip dan marginalisasi terhadap perempuan yang sudah mengakar di masyarakati, (3) penyebab terjadinya ketimpangan jender dalam novel AAC adalah ideologi patriarkhi dan kapitalis yang dibelokkan pada takdir dan dalih kemanusiaan, sedangkan. dalam novel PBS adalah idelogi patriakhi secara jelas dan konsisten, dan (4) model penyelesaian ketimpangan jender dalam novel AAC berupa penempatan perempuan pada posisi inferior, sampai akhir cerita dan posisi superior pada laki-laki, tokoh perempuan tidak melakukan perlawanan. Adapun dalam novel PBS, model penyelesaian permasalahan ketimpangan jender terhadap perempuan adalah perlawanan perempuan terhadap ideologi patriarkhi melalui diskusi/ logika berfikir dan bekerja keras. Pada akhir cerita, perempuan berhasil ditempatkan pada posisi setara dengan laki-laki.
           
Kata kunci: Ketimpangan jender, perempuan, novel, analisis jender, kritik feminis




PENDAHULUAN
Masalah ketimpangan jender terhadap perempuan merupakan masalah global yang harus disikapi dan dicarikan solusi secara arif dan bijaksana. Penelitian ini mengangkat masalah ketimpangan jender yang sampai saat ini masih merupakan isu global dan masih menarik perhatian banyak orang. Dipilihnya novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Shyrazy karena kedua novel ini sama-sama menonjolkan masalah perempuan dari sudut pandang jender yang berbeda.
Sehubungan dengan itu, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah implementasi bentuk ketimpangan jender dalam ruang domestik pada novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy?; (2) Bagaimanakah implementasi bentuk ketimpangan jender dalam ruang publik pada novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy?; (3) Bagaimanakah penyebab terjadinya ketimpangan jender dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy?; dan (4) Bagaimanakah model penyelesaian ketimpangan jender dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy? Adapun tujuan umum penelitian ini (1) untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang ketimpangan jender dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy, (2) dapat memperkaya khasanah penelitian sastra Indonesia, khususnya teori kritik sastra feminis, (3) membedah karya sastra feminis, yaitu novel,  dengan penekanan pada bentuk ketimpangan jender, baik dalam ruang domestik maupun publik yang diarahkan pada sosok perempuan yang diperlakukan secara timpang. Permasalahan tersebut dapat dijabarkan secara rinci apabila memahami alur cerita awal munculnya ketimpangan hingga akhir penyelesaian ketimpangan, sehingga semua bentuk ketimpangan dapat diidentifikasi secara rinci dan mendetail. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi tentang, (1) implementasi bentuk ketimpangan jender dalam ruang domestik pada novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy; (2) implementasi bentuk ketimpangan jender dalam ruang publik pada novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy;(3) penyebab terjadinya bentuk ketimpangan jender dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy; dan (4) model penyelesaian ketimpangan jender dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy.

TEORI ANALISIS JENDER
Teori analisis jender menyelidiki ihwal jender, sehingga teori ini terpusat pada konsep jender. Jender bersangkutan dengan maskulinitas dan feminisme, yang merupakan suatu konstruksi sosial, bukan kodrat dan ciptaan Tuhan. Dikemukakan Oakley dalam tulisan Sex, Jender, and Society, jender berhubungan dengan perbedaan behavioral antara laki-laki dan wanita yang dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Caplan dalam The Cultural Construction of Sexuality, menegaskan bahwa perbedaan behavioral antara laki-laki dan perempuan bukan sekedar biologis, tetapi juga sosial dan kultural. Dengan berlandaskan konsep jender ini, analisis jender mencoba menyelidiki identitas jender, di antaranya profil jender, peran jender, relasi jender, keadilan, dan ketimpangan jender di dalam berbagai wilayah sosial budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Hal ini mengimplikasikan bahwa analisis jender mencoba menyelidiki ihwal jender dalam arti seluas-luasnya (Saryono, 1997:19-20).
Sesuai dengan fokus penelitian ini, yakni ketimpangan jender yang ada di dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy, maka secara teoritis ketimpangan jender adalah ketimpangan sosial yang bersumber dari perbedaan jender yang sangat merugikan posisi perempuan dalam berbagai komunitas sosial masyarakat. Implikasi dari adanya  ketimpangan jender tersebut timbul perlakuan-perlakuan seperti (1) marginalisasi perempuan, (2) subordinasi, (3) stereotipe, (4) kekerasan, dan (5) beban kerja yang tidak proporsional (Fakih, 1997 dalam Mufidah, 2004:90). Kelima bentuk ketimpangan jender akibat bisa jender tersebut akan dipaparkan secara singkat berikut ini.
Marginalisasi perempuan merupakan proses pemiskinan terhadap kaum perempuan dari segala lapisan sosial masyarakat, terutama pada masyarakat lapisan bawah yang sangat memprihatinkan, karena dalam kehidupannya serba kekurangan. Marginalisasi perempuan dalam masyarakat menengah dan elit merupakan proses perampasan hak yang setara dengan laki-laki.  Selain itu marginalisasi di lingkungan keluarga sudah biasa terjadi dalam kehidupan masyarakat, misalnya anak laki-laki memperoleh fasilitas, kesempatan dan hak-hak yang lebih dari pada anak perempuan. Budaya semacam itu selalu diperkuat oleh penafsiran agama dan adat istiadat, sehingga perempuan harus selalu pasrah menjadi korban ketimpangan jender akibat marginalisasi tersebut.
Penempatan perempuan pada posisi subordinasi. Sebuah pandangan yang sangat tidak adil dan butuh pembuktian terhadap perempuan dengan anggapan bahwa perempuan itu irasional, emosional, lemah, mudah terpengaruh, dan lain-lainnya, menyebabkan perempuan menempati posisi yang kurang penting atau kurang diperhitungkan. Sementara itu arrijaalu qawwamuna alannisa (laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan)–salah satu dalil dari Al Quran, selalu dijadikan sebagi penguat sekaligus legitimasi bahwa perempuan itu memang merupakan begian dari laki laki, dan harus selalu ada di bawah
Oleh karena itu, sangat kecil presentase posisi perempuan yang mampu menembus posisi-posisi strategis dalam suatu komunitas, terutama yang berhubungan dengan peran pengambilan keputusan. Karena seakan-akan posisi strategis yang ada di segala aspek kehidupan masyarakat hanya untuk kaum laki-laki, manun pada kenyataanya dewasa ini sudah banyak perempun yang sudah mementahkan anggapan tersebut, terbukti dengan munculnya Megawati Sukarno Putri, yang terpilih sebagai Presiden RI.
Stereotipe Perempuan adalah pelabelan terhadap kelompok, suku bangsa tertentu yang berkonotasi negatif, sehingga sering merugikan dan timbul ketimpangan jender terhadap salah satu pihak. Penandaan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin tertentu itu, menimbulkan anggapan negatif yang harus disandang kaum perempuan, misalnya pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap perempuan yang sering terjadi di masyarakat merupakan kesalahan perempuan itu sendiri, karena perempuan dikatakan makhluk yang suka bersolek dan senang memancing nafsu birahi laki-laki, maka tidak bisa disalahkan jika ada laki-laki yang mengganggunya.
Kekerasan (violence) terhadap perempuan perempuan baik secara fisik maupun psikis, merupakan salah satu bukti ketimpangan jender. Kekerasan tersebut terjadi karena beberapa faktor, termasuk anggapan bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi terhadap berbagai sektor kehidupan. Ironisnya semua itu dianggapnya sebagai sesuatu yang sudah wajar, dan tidak perlu ada protes.
Beban kerja yang tidak proporsional. Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, itulah salah satu ungkapan yang dijadikan sebagai legitimasi adanya  budaya patriarki, budaya ini beranggapan bahwa perempuan tidak berhak untuk menjadi pemimpin dalam segala sektor kehidupan—termasuk dalam sektor rumah tangga. Perempuan identik dengan pekerjaan domistik yang sangat banyak dan memberatkan, mulai dari memasak, mencuci, menyetrika, mengurus anak, menyapu dan lain-lainnya. Pekerjaan tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi, haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Sementara laki-laki dengan peran publiknya menurut kebiasaan masyarakat (konstruk sosial), tidak bertanggung jawab terhadap beban kerja tersebut, karena hanya perempuan yang layak mengerjakan pekerjaan domestik. Pembagian kerja secara dikotomi publik-domistik, yang menganggap pekerjaan di sektor publik mendapat imbalan secara ekonomis, sedangkan ruang domestik tidak mendapatkan. Pekerjaan itulah yang dianggap sebagai pekerjaan yang rendah, atau kurang berharga. Realitas tersebut memperkuat ketimpangan jender yang telah melekat dalam kultur masyarakat. Lebih-lebih lagi, jika perempuan harus bekerja pada peran publik untuk meningkatkan penghasilan ekonomi keluarga, maka akan semakin berat beban yang ditanggungnya (doble burden).
Bentuk-bentuk ketimpangan jender melalui marginalisasi, penempatan perempuan pada subordinasi, stereotipe, kekerasan, maupun beban kerja yang tidak proporsional pada umumnya dilakukan oleh laki-laki dalam segala kamunitas kehidupan. Hal itu dapat terjadi pada lingkungan rumah tangga, tempat kerja, tempgat umum, yang besar kemungkinan semua itu dilakukan oleh yang kurang peka terhadap persoalan jender dan kemanusiaan. Oleh karena itu, wawasan tentang jender sangatlah perlu untuk dipelajari oleh seluruh lapisan masyarakat, agar dapat dipahami konsep kesetaraan. Realitas di lapangan membuktikan bahwa kesetaraan jender diartikan sebagai kesamaan atau ketiadaan perbedaan, padahal manusia itu secara kodrati memang diciptakan dalam keadaan berbeda-beda, maka lebih tepat kalau kesetaran dimaknai dengan berkeadilan dan berkeseimbangan (Mufidah, 2004:93-95).

TEORI KRITIK SASTRA FEMINIS          
Digunakannya teori sastra feminis dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memahami dan menafsirkan unsur ketimpangan jender yang terimplementasi dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy. Dalam pengertian lain, kritik sastra feminis digunakan sebagai alat analisis konvensi-konvensi terhadap teks-teks novel dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy.
Kritik sastra feminis lahir dan berkembang sejalan dengan kelahiran dan perkembangan gerakan feminisme yang menyebar ke berbagai sektor, antara lain sektor sosial dan politik. Dengan lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai menyadari akan kedudukan perempuan yang sangat inferior. Kesadaran masyarakat mulai terkuak dengan kata seksisme. Kata itu pula yang merupakan kata dalam membuka lembaran baru kehidupan wanita, baik yang bertalian dengan keluarga, seks, dan pekerjaan, maupun yang berhubungan dengan pendidikan dan pelatihan (Susilastuti, 1993:15). Lebih lanjut dikatakan bahwa berkat perjuangan para feminis–khususnya wanita Amerika, membuat  posisi perempuan mengalami mobilisasi yang mengantarkan kaum perempuan pada strata yang lebih tinggi. Feminis–terutama yang masih berkecimpung di perguruan tinggi, juga menyadari adanya kebijakan seksisme, yang pada waktu itu diberlakukan di berbagai bidang ilmu.
Kritik sastra feminis berawal dari kenyataan bahwa pandangan tradisional maupun tokoh manusia dalam karya sastra, pada umumnya mencerminkan ketimpangan jender (Sugihastuti, 2000:83-84). Dalam arti leksikal feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan pria. Feminisme diartikan oleh Goef (dalam Sugihastuti, 2000:84) sebagai teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasai yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita. Kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita.
Meskipun secara umum agenda feminisme adalah menciptakan dunia yang adil untuk menganalisis mengapa dan bagaimana kaum perempuan tertindas, namun feminisme (yang disebut gelombang kedua tahun 1960-an di Eropa dan AS) tidak merupakan gerakan yang homogen, tetapi terbagi dalam tiga golongan besar, yakni feminisme radikal, liberal, dan sosialis (Saptari dan Holzner, 1997:48). Sehubungan itu, dalam penelitian ini juga dijelaskan pandangan feminis yang beragam sebagai dasar kajian.
1.   Feminisme Radikal
Kelompok feminisme radikal berpandangan bahwa penindasan perempuan berasal dari penempatan perempuan dalam kelas inferior dibandingan dengan laki-laki dengan menggunakan basis jender. Feminisme radikal bertujuan mengancurkan sistem kelas jenis kelamin. Ia memfokuskan pada akar dominasi laki-laki dan klaim laki-laki bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dari supremasi (keunggulan ) pada laki-laki. Patriarkhi adalah karakteristik yang ada dalam masyarakat, ia berkeyakinan bahwa persoalan politik dan keterpusatan pada perempuan bisa menjadi basis masyarakat di masa depan (Einstein dalam Humm, 2002:383-384). Perintis feminis radikal seperti Chorlette Perkins Gilman, Emma Golman, dan Margaret Sanger memandang teori feminis radikal kontemporer dikembangkan  oleh kelompok di New York pada akhir 1960-an.
Menurut Atkinson (Humm 2002:384), sistem peran laki-laki dan perempuan secara politik menindas merupakan model asli dari semua penindasan. Masalah-masalah tertentu menempatkan feminisme radikal berbeda dengan persfektif feminis lainnya, terutama pandangan sosialis, yang akan sentralitas kelas dan pandangan perempuan kulit hitam akan sentralitas ras. Berbeda dengan pendapat Mitchell (Humm, 2002:384-385), mengkritik Firestone secara khusus dari feminisme radikal, umumnya tidak berbicara mengenai penindasan perempuan dalam cara tertentu secara histories. Hal ini disebabkan feminis radikal berkaitan dengan seksualitas dan sosialisasi pekerja. Dengan memfokuskan pada kesadaran dan budaya di satu sisi dan ketidaksadaran di sisi lain, feminis radikal menganalisis struktur psikis, seksual, dan ideologis yang membedakan kedua jenis kelamin dalam kaitannya dengan kesetaraan jender.
Salah satu tema utama dalam tulisan feminis radikal yakni oposisi politik pada kelompok kiri, yang melibatkan perempuan sebagai seksisme. Menurut Morgan (Humm, 2002:385-386), seksisme adalah akar atau penindasan radikal, aliran ini menawarkan model analisis yang secara mendasar berbeda dengan marxisme. Perhatian bersama mereka (aliran feminis radikal) terhadap psikologis perempuan, menyatakan bahwa teori sebelumnya gagal untuk menganalisis dominasi terhadap perempuan sebagai bentuk psikososial. Sementara itu, aliran feminis radikal memberikan sumbangan terhadap teori feminisme dalam beberapa hal berbeda, yakni: (1) mereka menciptakan konsep budaya perempuan di mana institusi alternatif bisa menghasilkan perubahan sosial, suatu konsep yang analog dengan libertarianisme (kebebasan untuk membangun model-model masyarakat utopis (idaman); (3) mereka (aliran feminis radikal) mengugkapkan bahwa maskulin yang tersembunyi dalam kerangkan konseptual dari berbagai pengetahuan tradisional dan dualisme yakni penggunaan teori politik tradisional untuk menjustifikasi subordinasi perempuan. Mereka bekerja untuk memperjelas ketidaktampakan dengan membawa pada focus struktur jender pada masyarakat.
Kaum feminis radikal mengungkapkan bahwa struktur masyarakat berlandaskan pada relasi hirarkis berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki sebagai suatu kategori sosial mendominasi kaum perempuan sebagai kategori sosial yang lain, karena kaum laki-laki diuntungkan dengan adanya subordinasi perempuan. Menurut aliran feminis radikal, dominasi laki-laki itu merupakan model konsteptual yang biasa menjelaskan berbagai bentuk penindasan yang lain.
Kaum feminis radikal menyoroti dua konsep utama, yaitu patriarkhi dan seksualitas. Bagi kaum radikal, ideologi patriarkhi mendefinisikan perempuan sebagai kategori sosial yang fungsi khususnya untuk memuaskan dorongan seksual kaum laki-laki, untuk melahirkan, dan mengasuh anak. Garis patriarkhi tidak hanya memaksa kaum perempuan menjadi ibu mereka (anak-anak). Ideologi patriarkhi yang mengobjekan seksualitas perempuan tampak dalam wujud kekerasan seksual yang muncul sehari-hari dengan gejala pemerkosaan, pornigrafi, iklan seksual, seni kapitalis, dan pornoaksi.
Beberapa feminis radikal memuja atribut biologis perempuan sebagai sumber keunggulan daripada inferioritas (kerendahan). Setiap alasan yang ekstrem (perbedaan yang besar) bagi kodrat khusus perempuan menimbulkan resiko sampai dengan jalan yang berbeda dalam kedudukan yang sama dikuasai oleh chauvinis (sifat patriotik yang berlebihan) bagi laki-laki (Selden, 1996:137).
Kebanyakan kaum feminis radikal menganut pandangan bahwa para perempuan telah dicuci otaknya oleh tipe ideologi patriarkhi ini, yang menghasilkan gambaran stereotipe lelaki yang kuat dan perempuan yang lemah (Selden, 1996:138). Pada permualaan abad ke-19, aliran (fr) ini mengangkat isu besar menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti patriarkhi yang dinilai merugikan perempuan, karena term ini jelas-jelas menguntungkan laki-laki. Lebih dari itu, diantara kaum feminis radikal ada yang lebih ekstrem, tidak hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki, tetapi persamaan seks dalam arti kepuasan seksual juga bisa diperoleh dari sesama perempuan, sehingga mentolelir (memaklumi) praktek lesbian (Ramazanoglu via Umar, 2002:66-67). Menurutnya, perempuan tidak harus tergantung pada laki-laki dalam hal pemenuhan kepuasan kebendaan dan kepuasan seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraan, dan kepuasan seksual kepada sesama perempuan.kepuasan seksual dari laki-laki merupakan masalah psikologis. Melalui berbagai latihan dan pembiasaan kepuasan ini dapat terpenuhi dari sesama perempuan (Ramazanoglu via Umar, 2001:67)
Berdasarkan pemikiran itulah, Ramazanoglu (Umar, 2002:66-67), mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan mengungkapkan fakta bahwa laki-laki merupakan masalah bagi perempuan. Laki-laki selalu mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan dengan berbagai dalih (argument). Ketertindasan perempuan berlangsung cukup lama dan dinilai sebagai bentuk penindasan yang sangat panjang di belahan dunia. Penindasan ras, perbudakan, dan warna kulit dapat segera dihentikan dengan resolusi (peraturan), tetapi  pemerasan secara seksual sangat susah dihentikan, dan diperlukan gerakan yang lebih medasar agar mendapatkan hasil yang maksimal.
Menurut Brownmiller (Fakih,2001:64) para penganut feminis radikal muncul sebagai reaksi kultur sexism (yang merendahkan perempuan) di Barat pada tahun 60-an, khususnya dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi. Hal ini dipertegas Jaggar (Fakih,2001:85) para penganut feminis radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan unsur-unsur seksual individu dan politik. Menurut aliran ini penyebab penindasan terhadap perempuan adalah akar dari jenis laki-laki beserta ideologi patriarkhinya. Dengan demikian laki-laki secara biologis maupun politis merupakan bagian dari permasalahan. Berdasarkan hal tersebut, aliran feminisme menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual sebagai bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan. Sementara itu, menurut Eisenstein (Fakih,2001:85) bagi mereka patriarkhi merupakan dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarkhi seksual yang menempatkan laki-laki memiliki kekuatan superior (unggulan) dan privilege (hak istimewa) ekonomi. Lebih lanjut Stanley dan Wise (Fakih,2001:85—86) menjelaskan bahwa revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Revolusi dan perlawanan atas penindasan perempuan bisa dalam bentuk yang sangat individual seperti urusan subjektif personal perempuan.  
2.  Feminis Liberal
            Feminis liberal merupakan salah satu arus utama teori sosial dan politik feminis yang mempunyai sejarah jangka waktu yang paling lama. Humm (2001:250) menggambarkan perempuan sebagai agen rasional yang inferioritasnya disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Feminisme liberal kontemporer menyepakati optimisme bahwa akar dari penindasan perempuan terletak pada ada tidaknya hak sipil dan peluang pendidikan yang sama. Inti keyakinan feminis liberal pandangan bahwa  kehidupan pribadi seseorang tidak harus menjadi objek peraturan masyarakat. Feminisme liberal mendukung pemenuhan individu yang terbebas dari keterbatasan peran seks dan mendukung hak-hak perempuan dalam hal kebutuhan, kesejahteraan, pendidikan universal, dan layanan kesehatan, misalnya dengan cara mengkritik praktek ketenagakerjaan yang tidak fair daripada menyerang institusinya secara keseluruhan. Selanjutnya menurut Elshtain (Humm, 2002:250—251), feminisme liberal mereduksi (mengurangi) nilai motivasi manusia menjadi sekedar utilitarian (bermanfaat untuk kepentingan diri).
            Dasar pemikiran kelompok feminis liberal yakni semua manusia, laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi, yang seharusnya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Kelompok  ini diinspirasi oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususnan sendiri. Secara ontologis, keduanya sama, hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak-hak perempuan. Kelompok ini tetap menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan.
            Kelompok ini termasuk paling moderat yang membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki, yang menghendaki agar perempuan dintegrasikan secara total di dalam semua peran termasuk bekerja di rumah dan di luar rumah (sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan politik). Dengan demikian tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Berhubungan dengan peran perempuan mengenai organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran tersebut.  Pemikiran kelompok feminis liberal  muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan, nilai moral, dan kebebasan individu. Akan tetapi pada saat yang sama dianggap mendeskriminasikan perempuan. Masalah perempuan tidak dilihat dari struktur dan sistem sebagai pokok persoalan. Asumsi feminis liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja kelompok feminis liberal   dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada hak-hak mendapatkan kesempatan, hak yang sama bagi setiap individu, termasuk hukum bagi perempuan (Umar,2001:81).
            Usulan aliran ini untuk memecahkan masalah kaum perempuan dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas. kelompok feminis liberal  tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat patriarkhi sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal dan sosial. Ide feminis liberal  muncul sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, namun baru berkembang tahun 1960-an. Salah satu pengaruh feminis liberal  ini terekspresi dalam teori modernisasi dalam program global yang dikenal WID (perempuan dalam pembangunan).

2.       Feminisme Sosial           
            Feminisme sosial menolak memperlakukan penindasan ekonomi sekunder . Aliran feminisme sosial menyatakan bahwa laki-laki mempunyai kepentingan material khusus dalam mendominasi perempuan dan laki-laki mengonstruksikan berbagai tatanan institusional untuk melanggengkan dominasi ini. Batasan konvensional mengenai ekonomi dengan mempertimbangkan aktivitasnya yang tidak melibatkan pertukaran uang, misalnya dengan memasukkan kerja prokreatif dan seksual yang dilakukan perempuan di rumah. Dalam menganalisis semua bentuk kegiatan produktif aliran ini menggabungkan alat analisis jender dengan kelas.
            Menurut Ferguson (Humm, 2002449) salah satu problem aspek feminisme sosial ini bahwa mereka menjadikan konsep pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin sebagai dasar untuk mengeksploitasi relasi-relasi antara subordinasi perempuan, sistem ekonomi tertentu, dan cara mengorganisasikan seksualitas. Sementara itu, kaum feminisme sosial (marxis) berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu, sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki, karena faktor biologis dan latar belakang sejarah. Kelompok feminisme sosial menganggap bahwa ketimpangan jender di dalam masyarakat yakni akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan dalam lingkungan rumah tangga. Istri memiliki ketergantungan lebih tinggi pada suami dan senantiasa mencemaskan keamanan ekonominya karena menggantungkan diri pada kekuasaan suami.
            Kaum feminisme sosial bertolak dari tesis bahwa setiap laki-laki dan perempuan mempunyai keinginan dalam mengembangkan kemampuan dan rasionalitas secara optimal. Tidak ada lembaga atau individu yang boleh merenggut hak itu maupun intervensi. Negara hanyalah untuk menjamin agar hak tersebut terlaksana dengan baik.
            Perbedaan feminis liberal dan feminisme sosial adalah, kaum feminis sosial mengaitkan dominasi laki-laki dengan kapitalis, sedangkan kelompok feminis liberal mengaitkan dominasi laki-laki dengan ideologi patriarkhi.

METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan adalah analisis jender dan kritik sastra feminis yang merupakan salah satu komponen dalam bidang interdisipliner studi perempuan yang dapat diaplikasikan dalam kajian karya sastra. Metode yang digunakan adalah kualitatf. Sumber data penelitian ini (1) novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy, tebal buku 403 halaman, penerbit Republik a dan Pesantren Basmala Indonesia, Cetakan XX, Jakarta 2007 dan (2) Novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy, tebal buku 309 halaman, yayasan Kesejahteraan Fatayat, Yogyakarta, 2001.  Adapun data penelitian ini berupa paparan bahasa yang terkait dengan butir-butir ketimpangan jender terhadap perempuan dalam kedua novel yang dijadikan sebagai sumber data penelitian, yaitu (1) ketimpangan jender terhadap perempuan dalam ruang domestik, (2)  ketimpangan jender terhadap perempuan dalam ruang publik, (3) penyebab ketimpangan jender terhadap perempuan, (4) model penyelesaian ketimpangan jender terhadap perempuan. Masalah-masalah tersebut dibedah dengan teori analisis jender dan teori kritik sastra feminis.
Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrumen utama atau human instrument. Peneliti sebagai instrumen utama (human instrument) berarti peneliti bertindak sebagai perencana, pelaksana pengumpul data, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan kajian tekstual, dengan langkah-langkah  (1) membaca secara heuristik dan hermeneutis; (2) mendaftar data; (3) mengklasifikasi data; dan (4) menafsirkan data. Untuk menjaga keabsahan data dilakukan kegiatan trianggulasi data.

HASIL
1.       Bentuk ketimpangan jender dalam ruang domestik pada novel AAC berupa kekerasan (violent) fisik berupa penyeretan dan pencambukan, kekerasan seksual yang sangat sadis terhadap perempuan yang dilakukan Bahadur terhadap Noura. Di samping itu juga terdapat kekerasan psikhis sebagai akibat poligami yang dialami oleh Aisha  Adapun  ketimpangan jender dalam ruang domestik pada novel PBS berupa stereotip perlakuan seorang ayah terhadap putrinya (Nisa), kekerasan fisik, seksual, dan psikhis seorang suami terhadap istrinya (Nisa), perempuan tersubordinasi dalam pengambilan keputusan rumah tangga (Nisa dalam pengambilan keputusan nikah oleh ayah dan keputusan poligami oleh suaminya), marginalisasi persoalan keluarga, yakni kesalahan suami melakukan poligami (Samsudin) ditimpakan pada istri (Nisa yang belum dikarunia anak), steriotip pembagian pekerjaan antara Wildan dan Rizal dengan Nisa, dan pembagian beban yang tidak proporsional antara Wildan dan Rizal dengan Nisa.
2.       Bentuk ketimpangan jender terhadap perempuan di ruang publik pada AAC karya Habiburrahman El Kholieqy berupa makian dengan kata-kata kotor, perlakuan kasar di depan publik  yang dilakukan oleh Bahadur terhadap Noura dan Maria, dan poligami yang menimbulkan kekerasan psikologis pada  perempuan (Aisha). Adapun dalam PBS karya Abidah El Shirazy berupa tradisi ketimpangan beban tugas yang tidak proporsional yang sudah mengakar di masyarakat baik informal maupun formal di sekolah, ketimpangan perlakuan, yakni laki-laki diberi kekebasan yang seluas-luasnya untuk berekspresi dalam hal berbicara, bermain, dan berperilaku, sedangkan perempuan sangat dibatasi, serta ketimpangan kesempatan belajar dan berpendidikan. Perempuan dibatasi dalam hal belajar dan memperoleh pendidikan tinggi dan menjadi pemimpin, karena tugas perempuan berdasarkan idielogi patriarkhi adalah di dapur, di sumur, dan di kasur. Perempuan selalu ditempatkan pada posisi inferior, sedangkan laki-laki pada posisi superior.
3.       Penyebab terjadinya ketimpangan jender terhadap perempuan dalam novel AAC karya Habiburrahman El Kholieqy adalah ideologi patriarkhi yang dibelokkan pada takdir dan dalih kemanusiaan.  Takdir tertukarnya bayi Noura dianggap sebagai penyebab Noura mengalami berbagai penindasan oleh Bahadur. Dalih kemanusiaan yang menyebabkan Fakhri melakukan poligami. Adapun penyebab terjadinya ketimpangan jender terhadap perempuan dalam novel PBS Abidah El Shirazy adalah ideologi patriakhi yang menyebabkan berbagai ketimpangan jender terhadap perempuan, seperti steriotip laki-laki dan perempuan, marginalisasi terhadap perempuan,  perempuan tersubordinasi, dan berbagai kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan psikhis, serta pemberian beban yang tidak seimbang, yakni perempuan lebih banyak pekerjaan dibanding dengan laki-laki.
4.       Model penyelesaian ketimpangan jender terhadap perempuan dalam novel AAC karya Habiburrahman El Kholieqy berupa upaya kemanusiaan yang dilakukan Syaih Ahmad untuk membebaskan Noura dari belenggu penindasan Bahadur. Takdir kematian Maria yang menyelesaikan persoalan poligami yang dihadapi oleh Aisha.  Upaya kemanusiaan yang dilakukan oleh Syaih Ahmad dan takdir kematian Maria, menurut kritik sastra Feminis merupakan upaya laki-laki untuk tetap menempatkan perempuan pada posisi inferior. Perempuan dibuat tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, dan hanya laki-laki yang mampu menyelesaikannya. Perempuan dibuat tidak berdaya melepaskan/membebaskan diri dari berbagai ketimpangan yang menimpa dirinya. Ironisnya, perempuan yang memiliki status sosial dan pendidikan tinggi pun lebih memilih menyerah pada takdir daripada berjuang untuk melawan ideologi patriarkhi.. Para tokoh perempuan, baik Noura maupun Aisha yang dikenai ketimpangan jender tidak diizinkan pengarang untuk melakukan perlawanan. Seharusnya inisiatif melakukan perlawanan untuk membebaskan dirinya dari ketimpangan jender datang dari Noura dan Aisha bersama perempuan lainnya bukan dari  laki-laki (Syaih Ahmad ataupun takdir), sehingga perempuan memiliki kesetaraan jender dengan laki-laki.. Adapun dalam novel PBS karya Abidah El Shirazy, model penyelesaian permasalahan ketimpangan jender terhadap perempuan dilakukan dengan perlawanan mulai Nisa masih kecil sampai akhir cerita sebagai perempuan mandiri yang tangguh. Perlawanan yang dilakukan tokoh Nisa berupa diskusi dengan logika berfikir dan kerja keras. Penafsiran ajaran agama oleh adat yang berupa doktrin dari ideologi patriarkhi dipertanyakan dan dilawan sehingga ketimpangan jender terhadap perempuan dapat dieliminir.  Pada akhir cerira, perempuan berhasil ditempatkan pada posisi setara dengan laki-laki.

PENUTUP
Berdasarkan analisis data disimpulkan: (1) bentuk ketimpangan jender dalam ruang domestik pada novel AAC berupa kekerasan (violent) fisik berupa penyeretan dan pencambukan dan kekerasan psikis (jiwa tertekan), sedangkan pada novel PBS berupa steriotip, beban yang tidak proporsional, kekerasan fisik, seksual, dan psikhis, perempuan tersubordinasi, dan  marginalisasi (2) bentuk ketimpangan jender di ruang publik pada AAC berupa makian dan perlakuan kasar di depan publik,  sedangkan dalam PBS berupa tradisi dikotomis steriotip dan marginalisasi terhadap perempuan yang sudah mengakar di masyarakati, (3) penyebab terjadinya ketimpangan jender dalam novel AAC adalah ideologi patriarkhi dan kapitalis yang dibelokkan pada takdir dan dalih kemanusiaan, sedangkan. dalam novel PBS adalah idelogi patriakhi secara jelas dan konsisten, dan (4) model penyelesaian ketimpangan jender dalam novel AAC berupa penempatan perempuan pada posisi inferior, sampai akhir cerita dan posisi superior pada laki-laki, tokoh perempuan tidak melakukan perlawanan. Adapun dalam novel PBS, model penyelesaian permasalahan ketimpangan jender terhadap perempuan adalah perlawanan
perempua terhadap ideologi patriarkhi melalui diskusi/ logika berfikir dan bekerja keras. Pada akhir cerita, perempuan berhasil ditempatkan pada posisi setara dengan laki-laki. Sehubungan dengan itu disarankan  agar dilakukan penelitian terhadap bentuk ketimpangan jender terhadap perempuan dengan fokus penelitian di luar ruang tersebut. Akan lebih baik jika pengkajian merupakan kajian komparatif antara pengarang perempuan dan laki-laki dengan fokus dan pendekatan yang berbeda untuk memperluas khasanah temuan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Alisyahbana, Sutan Takdir. 1998. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru dan         YA3 Malang.

Aminuddin. 1990. Pengebangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan  Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh (YA3).

Budianta, Melani.1998. Sastra dan ideologi Jender. Horizon. Tahun XXXII Nomor 4 Jakarta

Fenanie, zaenuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Gardinest, Oey dan Mayling.1996. Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Yogyakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Humm, Maggie. 1986. Feminist Criticism. Great Britain: The Harvester Limited.

Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme (terjemahan Mundi Rahayu). Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka Baru.

Junus, Umar, 1985. Sosiologi Sastra, Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kholieqy, Abidah El. 2001. Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat.

No comments:

Post a Comment