GENDER DISPARITY IN AYAT AYAT CINTA (AAC) NOVEL BY
HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY AND PEREMPUAN BERGKALUNG SORBAN (PBS) NOVEL BY ABIDAH EL KHOLIEQY: GENDER ANALYSIS STUDY FEMINIST LITERARYCRITICISM
Umi Salamah
HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY AND PEREMPUAN BERGKALUNG SORBAN (PBS) NOVEL BY ABIDAH EL KHOLIEQY: GENDER ANALYSIS STUDY FEMINIST LITERARYCRITICISM
Umi Salamah
ABSTRACT: Chosen Ayat-ayat Cinta (AAC) novel by Habiburrahman El Shirazy and Perempuan Berkalung Sorban (PBS) Novel by Abidah El Shyrazy because it is written by two different authors gender. This research problem is formulated as follows: How is the implementation of the gender imbalance in the domestic space, in a public space, the causes of gender inequality and gender inequality resolution models. The approach used gender analysis and feminist literary criticism. Sources of data two novels written by male authors and female, namely AAC and PBS. In this study, the researcher acted as the main instrument. Data was collected and analyzed through the steps (1) read the heuristic and hermeneutical, (2) registering data, (3) classifying the data, (4) interpreting the data, and check the validity of the data.
Based
on data analysis concluded: (1) forms of gender inequalities in domestic space
in the form of a novel AAC violence
(violent) and the physical form lug whipng and psychological violence (mental
distress), whereas in the novel form stereotip PBS, a disproportionate burden,
physical violence, sexual, and psychological, subordinate women, and
marginalization (2) forms of gender inequality in public spaces in AAC form of
abuse and mistreatment in public, whereas in the tradition of dichotomous PBS
steriotip and marginalization of women who are rooted in society, (3) causes of
gender inequality in the novel AAC is patriarchal and capitalist ideology that
was deflected in destiny and humanitarian appeals, while. in the novel idelogi
patriakhi PBS is clearly and
consistently, and (4) model in solving the gender imbalance in the form of a
novel AAC placement of women in
inferior positions, until the end of the story and the superior position of
male, female characters do not fight. As in the novel PBS, the model resolution
of the problems of gender imbalance against women is a women's resistance to
the ideology of patriarchy through discussion/logical thinking and working
hard. At the end of the story, she was successfully placed on a more equal with
men.
Keywords: gender inequality, women, novel, gender analysis, feminist criticism
KETIMPANGAN GENDER DALAM NOVEL AYAT
AYAT CINTA (AAC)
KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY DAN
NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
KARYA ABIDAH EL KHOLIEQY:
KAJIAN ANALISIS GENDER KRITIK
SASTRA FEMINIS
Umi Salamah*)
ABSTRAK
Dipilihnya novel Ayat-ayat Cinta (AAC) karya
Habiburrahman El Shirazy dan novel Perempuan
Berkalung Sorban (PBS) karya
Abidah El Shyrazy karena ditulis oleh dua pengarang yang berbeda jender. Masalah
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah implementasi
bentuk ketimpangan jender dalam ruang domestik, dalam ruang publik, penyebab
terjadinya ketimpangan jender; dan model penyelesaian ketimpangan jender. Pendekatan yang digunakan analisis jender
dan kritik sastra feminis. Sumber data dua novel yang ditulis oleh pengarang laki-laki dan
perempuan, yaitu AAC dan PBS. Dalam penelitian
ini, peneliti bertindak sebagai instrumen utama. Pengumpulan dan analisis data dilakukan dengan langkah-langkah (1) membaca secara heuristik
dan hermeneutis, (2) mendaftar data, (3) mengklasifikasi data, (4) menafsirkan data,
dan mengecek keabsahan data.
Berdasarkan analisis
data disimpulkan: (1) bentuk
ketimpangan jender dalam
ruang domestik pada novel AAC berupa
kekerasan (violent) fisik berupa
penyeretan dan pencambukan dan kekerasan psikis (jiwa tertekan), sedangkan pada
novel PBS berupa steriotip, beban
yang tidak proporsional, kekerasan fisik, seksual, dan psikhis, perempuan
tersubordinasi, dan marginalisasi (2) bentuk
ketimpangan jender di ruang publik pada AAC
berupa makian dan
perlakuan kasar di depan publik, sedangkan dalam PBS berupa tradisi dikotomis steriotip dan marginalisasi terhadap
perempuan yang sudah mengakar di masyarakati, (3) penyebab terjadinya
ketimpangan jender dalam novel AAC adalah
ideologi patriarkhi dan kapitalis yang dibelokkan
pada takdir dan dalih kemanusiaan, sedangkan. dalam novel PBS adalah idelogi patriakhi secara jelas
dan konsisten, dan (4) model penyelesaian ketimpangan jender dalam novel AAC berupa penempatan perempuan pada
posisi inferior, sampai akhir cerita dan posisi superior pada laki-laki, tokoh
perempuan tidak melakukan perlawanan. Adapun dalam novel PBS, model penyelesaian permasalahan
ketimpangan jender terhadap perempuan adalah perlawanan perempuan
terhadap ideologi patriarkhi melalui diskusi/ logika berfikir dan bekerja keras.
Pada akhir cerita, perempuan berhasil ditempatkan pada posisi setara dengan
laki-laki.
Kata kunci:
Ketimpangan jender, perempuan, novel, analisis jender, kritik feminis
PENDAHULUAN
Masalah
ketimpangan jender terhadap perempuan merupakan masalah global yang harus
disikapi dan dicarikan solusi secara arif dan bijaksana. Penelitian ini
mengangkat masalah ketimpangan jender yang sampai saat ini masih merupakan isu
global dan masih menarik perhatian banyak orang. Dipilihnya novel Ayat-ayat
Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya
Abidah El Shyrazy karena kedua novel ini sama-sama menonjolkan masalah
perempuan dari sudut pandang jender yang berbeda.
Sehubungan
dengan itu, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah
implementasi bentuk ketimpangan jender dalam ruang domestik pada novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El
Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah
El Kholieqy?; (2) Bagaimanakah implementasi bentuk ketimpangan jender dalam
ruang publik pada novel Ayat-ayat Cinta karya
Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah
El Kholieqy?; (3) Bagaimanakah penyebab terjadinya ketimpangan jender dalam
novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur
Rahman El Shirazy dan novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy?; dan (4) Bagaimanakah model
penyelesaian ketimpangan jender dalam novel Ayat-ayat
Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy? Adapun tujuan
umum penelitian ini (1) untuk
memberikan gambaran yang komprehensif tentang ketimpangan jender dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El
Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah
El Kholieqy, (2) dapat memperkaya khasanah penelitian sastra Indonesia,
khususnya teori kritik sastra feminis, (3) membedah karya sastra feminis, yaitu
novel, dengan penekanan pada bentuk
ketimpangan jender, baik dalam ruang domestik maupun publik yang diarahkan pada
sosok perempuan yang diperlakukan secara timpang. Permasalahan tersebut dapat
dijabarkan secara rinci apabila memahami alur cerita awal munculnya ketimpangan
hingga akhir penyelesaian ketimpangan, sehingga semua bentuk ketimpangan dapat
diidentifikasi secara rinci dan mendetail. Adapun tujuan khusus penelitian ini
adalah untuk memperoleh deskripsi tentang, (1) implementasi bentuk ketimpangan jender
dalam ruang domestik pada novel Ayat-ayat
Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy
dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya
Abidah El Kholieqy; (2) implementasi bentuk ketimpangan jender dalam ruang
publik pada novel Ayat-ayat Cinta karya
Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah
El Kholieqy;(3) penyebab terjadinya bentuk ketimpangan jender dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El
Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah
El Kholieqy; dan (4) model penyelesaian ketimpangan jender dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El
Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah
El Kholieqy.
TEORI ANALISIS JENDER
Teori analisis jender
menyelidiki ihwal jender, sehingga teori ini terpusat pada konsep jender. Jender
bersangkutan dengan maskulinitas dan feminisme, yang merupakan suatu konstruksi
sosial, bukan kodrat dan ciptaan Tuhan. Dikemukakan Oakley dalam tulisan Sex, Jender,
and Society, jender berhubungan
dengan perbedaan behavioral antara laki-laki dan wanita yang dikonstruksikan
secara sosial dan kultural. Caplan dalam
The Cultural Construction of
Sexuality, menegaskan bahwa perbedaan behavioral antara laki-laki dan
perempuan bukan sekedar biologis, tetapi juga sosial dan kultural. Dengan
berlandaskan konsep jender ini, analisis jender mencoba menyelidiki identitas jender,
di antaranya profil jender, peran jender, relasi jender, keadilan, dan ketimpangan
jender di dalam berbagai wilayah sosial budaya, ekonomi, politik, dan
sebagainya. Hal ini mengimplikasikan bahwa analisis jender mencoba menyelidiki
ihwal jender dalam arti seluas-luasnya (Saryono, 1997:19-20).
Sesuai dengan fokus penelitian
ini, yakni ketimpangan jender yang ada di dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy, maka secara teoritis ketimpangan
jender adalah ketimpangan sosial yang bersumber dari perbedaan jender yang
sangat merugikan posisi perempuan dalam berbagai komunitas sosial masyarakat.
Implikasi dari adanya ketimpangan jender
tersebut timbul perlakuan-perlakuan seperti (1) marginalisasi perempuan, (2)
subordinasi, (3) stereotipe, (4) kekerasan, dan (5) beban kerja yang tidak
proporsional (Fakih, 1997 dalam Mufidah, 2004:90). Kelima bentuk ketimpangan jender
akibat bisa jender tersebut akan dipaparkan secara singkat berikut ini.
Marginalisasi perempuan merupakan proses pemiskinan terhadap kaum
perempuan dari segala lapisan sosial masyarakat, terutama pada masyarakat
lapisan bawah yang sangat memprihatinkan, karena dalam kehidupannya serba
kekurangan. Marginalisasi perempuan dalam masyarakat menengah dan elit
merupakan proses perampasan hak yang setara dengan laki-laki. Selain itu marginalisasi di lingkungan
keluarga sudah biasa terjadi dalam kehidupan masyarakat, misalnya anak
laki-laki memperoleh fasilitas, kesempatan dan hak-hak yang lebih dari pada
anak perempuan. Budaya semacam itu selalu diperkuat oleh penafsiran agama dan
adat istiadat, sehingga perempuan harus selalu pasrah menjadi korban
ketimpangan jender akibat marginalisasi tersebut.
Penempatan perempuan pada posisi subordinasi. Sebuah pandangan yang sangat tidak adil dan butuh
pembuktian terhadap perempuan dengan anggapan bahwa perempuan itu irasional,
emosional, lemah, mudah terpengaruh, dan lain-lainnya, menyebabkan perempuan
menempati posisi yang kurang penting atau kurang diperhitungkan. Sementara itu arrijaalu qawwamuna alannisa (laki-laki adalah pemimpin bagi
perempuan)–salah satu dalil dari Al Quran, selalu dijadikan sebagi penguat sekaligus legitimasi bahwa perempuan itu
memang merupakan begian dari laki laki, dan harus selalu ada di bawah
Oleh karena itu, sangat kecil presentase posisi
perempuan yang mampu menembus posisi-posisi strategis dalam suatu komunitas,
terutama yang berhubungan dengan peran pengambilan keputusan. Karena
seakan-akan posisi strategis yang ada di segala aspek kehidupan masyarakat
hanya untuk kaum laki-laki, manun pada kenyataanya dewasa ini sudah banyak
perempun yang sudah mementahkan anggapan tersebut, terbukti dengan munculnya
Megawati Sukarno Putri, yang terpilih sebagai Presiden RI.
Stereotipe Perempuan adalah pelabelan terhadap kelompok, suku
bangsa tertentu yang berkonotasi negatif, sehingga sering merugikan dan timbul
ketimpangan jender terhadap salah satu pihak. Penandaan yang dikaitkan dengan
perbedaan jenis kelamin tertentu itu, menimbulkan anggapan negatif yang harus
disandang kaum perempuan, misalnya pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap
perempuan yang sering terjadi di masyarakat merupakan kesalahan perempuan itu
sendiri, karena perempuan dikatakan makhluk yang suka bersolek dan senang
memancing nafsu birahi laki-laki, maka tidak bisa disalahkan jika ada laki-laki
yang mengganggunya.
Kekerasan (violence) terhadap
perempuan perempuan baik
secara fisik maupun psikis, merupakan salah satu bukti ketimpangan jender.
Kekerasan tersebut terjadi karena beberapa faktor, termasuk anggapan bahwa
laki-laki pemegang supremasi dan dominasi terhadap berbagai sektor kehidupan.
Ironisnya semua itu dianggapnya sebagai sesuatu yang sudah wajar, dan tidak
perlu ada protes.
Beban kerja yang tidak proporsional. Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, itulah
salah satu ungkapan yang dijadikan sebagai legitimasi adanya budaya patriarki, budaya ini beranggapan
bahwa perempuan tidak berhak untuk menjadi pemimpin dalam segala sektor
kehidupan—termasuk dalam sektor rumah tangga. Perempuan identik dengan
pekerjaan domistik yang sangat banyak dan memberatkan, mulai dari memasak,
mencuci, menyetrika, mengurus anak, menyapu dan lain-lainnya. Pekerjaan tersebut
dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi, haid, hamil, melahirkan dan
menyusui. Sementara laki-laki dengan peran publiknya menurut kebiasaan
masyarakat (konstruk sosial), tidak
bertanggung jawab terhadap beban kerja tersebut, karena hanya perempuan yang
layak mengerjakan pekerjaan domestik. Pembagian kerja secara dikotomi
publik-domistik, yang menganggap pekerjaan di sektor publik mendapat imbalan
secara ekonomis, sedangkan ruang domestik tidak mendapatkan. Pekerjaan itulah
yang dianggap sebagai pekerjaan yang rendah, atau kurang berharga. Realitas
tersebut memperkuat ketimpangan jender yang telah melekat dalam kultur
masyarakat. Lebih-lebih lagi, jika perempuan harus bekerja pada peran publik
untuk meningkatkan penghasilan ekonomi keluarga, maka akan semakin berat beban
yang ditanggungnya (doble burden).
Bentuk-bentuk ketimpangan jender
melalui marginalisasi, penempatan perempuan pada subordinasi, stereotipe,
kekerasan, maupun beban kerja yang tidak proporsional pada umumnya dilakukan
oleh laki-laki dalam segala kamunitas kehidupan. Hal itu dapat terjadi pada
lingkungan rumah tangga, tempat kerja, tempgat umum, yang besar kemungkinan
semua itu dilakukan oleh yang kurang peka terhadap persoalan jender dan
kemanusiaan. Oleh karena itu, wawasan tentang jender sangatlah perlu untuk
dipelajari oleh seluruh lapisan masyarakat, agar dapat dipahami konsep
kesetaraan. Realitas di lapangan membuktikan bahwa kesetaraan jender diartikan
sebagai kesamaan atau ketiadaan perbedaan, padahal manusia itu secara kodrati
memang diciptakan dalam keadaan berbeda-beda, maka lebih tepat kalau kesetaran
dimaknai dengan berkeadilan dan berkeseimbangan (Mufidah, 2004:93-95).
TEORI KRITIK SASTRA FEMINIS
Digunakannya teori sastra
feminis dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memahami dan menafsirkan unsur
ketimpangan jender yang terimplementasi dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy. Dalam
pengertian lain, kritik sastra feminis digunakan sebagai alat analisis
konvensi-konvensi terhadap teks-teks novel dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy dan novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy.
Kritik sastra feminis lahir
dan berkembang sejalan dengan kelahiran dan perkembangan gerakan feminisme yang
menyebar ke berbagai sektor, antara lain sektor sosial dan politik. Dengan
lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai menyadari akan kedudukan
perempuan yang sangat inferior. Kesadaran masyarakat mulai terkuak dengan kata
seksisme. Kata itu pula yang merupakan kata dalam membuka lembaran baru
kehidupan wanita, baik yang bertalian dengan keluarga, seks, dan pekerjaan,
maupun yang berhubungan dengan pendidikan dan pelatihan (Susilastuti, 1993:15).
Lebih lanjut dikatakan bahwa berkat perjuangan para feminis–khususnya wanita
Amerika, membuat posisi perempuan
mengalami mobilisasi yang mengantarkan kaum perempuan pada strata yang lebih
tinggi. Feminis–terutama yang masih berkecimpung di perguruan tinggi, juga
menyadari adanya kebijakan seksisme, yang pada waktu itu diberlakukan di
berbagai bidang ilmu.
Kritik sastra feminis berawal
dari kenyataan bahwa pandangan tradisional maupun tokoh manusia dalam karya
sastra, pada umumnya mencerminkan ketimpangan jender (Sugihastuti, 2000:83-84).
Dalam arti leksikal feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum perempuan dan pria. Feminisme diartikan oleh Goef (dalam
Sugihastuti, 2000:84) sebagai teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan
di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasai yang
memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita. Kritik sastra feminis adalah
studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita.
Meskipun secara umum agenda
feminisme adalah menciptakan dunia yang adil untuk menganalisis mengapa dan
bagaimana kaum perempuan tertindas, namun feminisme (yang disebut gelombang
kedua tahun 1960-an di Eropa dan AS) tidak merupakan gerakan yang homogen,
tetapi terbagi dalam tiga golongan besar, yakni feminisme radikal, liberal, dan
sosialis (Saptari dan Holzner, 1997:48). Sehubungan itu, dalam penelitian ini
juga dijelaskan pandangan feminis yang beragam sebagai dasar kajian.
1.
Feminisme Radikal
Kelompok feminisme radikal
berpandangan bahwa penindasan perempuan berasal dari penempatan perempuan dalam
kelas inferior dibandingan dengan laki-laki dengan menggunakan basis jender.
Feminisme radikal bertujuan mengancurkan sistem kelas jenis kelamin. Ia
memfokuskan pada akar dominasi laki-laki dan klaim laki-laki bahwa semua bentuk
penindasan adalah perpanjangan dari supremasi
(keunggulan ) pada laki-laki. Patriarkhi adalah karakteristik yang ada dalam
masyarakat, ia berkeyakinan bahwa persoalan politik dan keterpusatan pada
perempuan bisa menjadi basis masyarakat di masa depan (Einstein dalam Humm,
2002:383-384). Perintis feminis radikal seperti Chorlette Perkins Gilman, Emma
Golman, dan Margaret Sanger memandang teori feminis radikal kontemporer
dikembangkan oleh kelompok di New York
pada akhir 1960-an.
Menurut Atkinson (Humm
2002:384), sistem peran laki-laki dan perempuan secara politik menindas
merupakan model asli dari semua penindasan. Masalah-masalah tertentu
menempatkan feminisme radikal berbeda dengan persfektif feminis lainnya,
terutama pandangan sosialis, yang akan sentralitas kelas dan pandangan
perempuan kulit hitam akan sentralitas ras. Berbeda dengan pendapat Mitchell
(Humm, 2002:384-385), mengkritik Firestone secara khusus dari feminisme
radikal, umumnya tidak berbicara mengenai penindasan perempuan dalam cara
tertentu secara histories. Hal ini disebabkan feminis radikal berkaitan dengan
seksualitas dan sosialisasi pekerja. Dengan memfokuskan pada kesadaran dan
budaya di satu sisi dan ketidaksadaran di sisi lain, feminis radikal menganalisis
struktur psikis, seksual, dan ideologis yang membedakan kedua jenis kelamin
dalam kaitannya dengan kesetaraan jender.
Salah satu tema utama dalam
tulisan feminis radikal yakni oposisi politik pada kelompok kiri, yang
melibatkan perempuan sebagai seksisme. Menurut Morgan (Humm, 2002:385-386),
seksisme adalah akar atau penindasan radikal, aliran ini menawarkan model
analisis yang secara mendasar berbeda dengan marxisme. Perhatian bersama mereka
(aliran feminis radikal) terhadap psikologis perempuan, menyatakan bahwa teori
sebelumnya gagal untuk menganalisis dominasi terhadap perempuan sebagai bentuk
psikososial. Sementara itu, aliran feminis radikal memberikan sumbangan
terhadap teori feminisme dalam beberapa hal berbeda, yakni: (1) mereka
menciptakan konsep budaya perempuan di mana institusi alternatif bisa
menghasilkan perubahan sosial, suatu konsep yang analog dengan libertarianisme (kebebasan untuk
membangun model-model masyarakat utopis
(idaman); (3) mereka (aliran feminis radikal) mengugkapkan bahwa maskulin yang
tersembunyi dalam kerangkan konseptual dari berbagai pengetahuan tradisional dan dualisme yakni penggunaan teori politik tradisional untuk menjustifikasi subordinasi perempuan.
Mereka bekerja untuk memperjelas ketidaktampakan dengan membawa pada focus struktur jender pada masyarakat.
Kaum feminis radikal
mengungkapkan bahwa struktur masyarakat berlandaskan pada relasi hirarkis
berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki sebagai suatu kategori sosial mendominasi
kaum perempuan sebagai kategori sosial yang lain, karena kaum laki-laki
diuntungkan dengan adanya subordinasi perempuan. Menurut aliran feminis
radikal, dominasi laki-laki itu merupakan model konsteptual yang biasa
menjelaskan berbagai bentuk penindasan yang lain.
Kaum feminis radikal menyoroti
dua konsep utama, yaitu patriarkhi dan
seksualitas. Bagi kaum radikal, ideologi patriarkhi mendefinisikan
perempuan sebagai kategori sosial yang fungsi khususnya untuk memuaskan
dorongan seksual kaum laki-laki, untuk melahirkan, dan mengasuh anak. Garis patriarkhi
tidak hanya memaksa kaum perempuan menjadi ibu mereka (anak-anak). Ideologi
patriarkhi yang mengobjekan seksualitas perempuan tampak dalam wujud kekerasan
seksual yang muncul sehari-hari dengan gejala pemerkosaan, pornigrafi, iklan
seksual, seni kapitalis, dan pornoaksi.
Beberapa feminis radikal
memuja atribut biologis perempuan sebagai sumber keunggulan daripada inferioritas (kerendahan). Setiap alasan
yang ekstrem (perbedaan yang besar) bagi kodrat khusus perempuan menimbulkan
resiko sampai dengan jalan yang berbeda dalam kedudukan yang sama dikuasai oleh
chauvinis (sifat patriotik yang
berlebihan) bagi laki-laki (Selden, 1996:137).
Kebanyakan kaum feminis
radikal menganut pandangan bahwa para perempuan telah dicuci otaknya oleh tipe
ideologi patriarkhi ini, yang menghasilkan gambaran stereotipe lelaki yang kuat
dan perempuan yang lemah (Selden, 1996:138). Pada permualaan abad ke-19, aliran
(fr) ini mengangkat isu besar menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan
perempuan seperti patriarkhi yang dinilai merugikan perempuan, karena term ini
jelas-jelas menguntungkan laki-laki. Lebih dari itu, diantara kaum feminis
radikal ada yang lebih ekstrem, tidak hanya menuntut persamaan hak dengan
laki-laki, tetapi persamaan seks dalam arti kepuasan seksual juga bisa
diperoleh dari sesama perempuan, sehingga mentolelir (memaklumi) praktek
lesbian (Ramazanoglu via Umar, 2002:66-67). Menurutnya, perempuan tidak harus
tergantung pada laki-laki dalam hal pemenuhan kepuasan kebendaan dan kepuasan
seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraan, dan kepuasan seksual
kepada sesama perempuan.kepuasan seksual dari laki-laki merupakan masalah
psikologis. Melalui berbagai latihan dan pembiasaan kepuasan ini dapat
terpenuhi dari sesama perempuan (Ramazanoglu via Umar, 2001:67)
Berdasarkan pemikiran itulah,
Ramazanoglu (Umar, 2002:66-67), mengupayakan pembenaran rasional gerakannya
dengan mengungkapkan fakta bahwa laki-laki merupakan masalah bagi perempuan.
Laki-laki selalu mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan dengan berbagai
dalih (argument). Ketertindasan perempuan berlangsung cukup lama dan dinilai
sebagai bentuk penindasan yang sangat panjang di belahan dunia. Penindasan ras,
perbudakan, dan warna kulit dapat segera dihentikan dengan resolusi (peraturan),
tetapi pemerasan secara seksual sangat
susah dihentikan, dan diperlukan gerakan yang lebih medasar agar mendapatkan
hasil yang maksimal.
Menurut Brownmiller
(Fakih,2001:64) para penganut feminis radikal muncul sebagai reaksi kultur sexism (yang merendahkan perempuan) di
Barat pada tahun 60-an, khususnya dalam melawan kekerasan seksual dan
pornografi. Hal ini dipertegas Jaggar (Fakih,2001:85) para penganut feminis
radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan unsur-unsur seksual
individu dan politik. Menurut aliran ini penyebab penindasan terhadap perempuan
adalah akar dari jenis laki-laki beserta ideologi patriarkhinya. Dengan
demikian laki-laki secara biologis maupun politis merupakan bagian dari
permasalahan. Berdasarkan hal tersebut, aliran feminisme menganggap bahwa
penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual sebagai
bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan. Sementara itu, menurut
Eisenstein (Fakih,2001:85) bagi mereka patriarkhi merupakan dasar dari ideologi
penindasan yang merupakan sistem hirarkhi seksual yang menempatkan laki-laki
memiliki kekuatan superior (unggulan) dan privilege (hak istimewa) ekonomi.
Lebih lanjut Stanley dan Wise (Fakih,2001:85—86) menjelaskan bahwa revolusi
terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk mengubah gaya
hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki.
Revolusi dan perlawanan atas penindasan perempuan bisa dalam bentuk yang sangat
individual seperti urusan subjektif personal perempuan.
2. Feminis Liberal
Feminis
liberal merupakan salah satu arus utama teori sosial dan politik feminis yang
mempunyai sejarah jangka waktu yang paling lama. Humm (2001:250) menggambarkan
perempuan sebagai agen rasional yang inferioritasnya disebabkan oleh pendidikan
yang rendah. Feminisme liberal kontemporer menyepakati optimisme bahwa akar
dari penindasan perempuan terletak pada ada tidaknya hak sipil dan peluang
pendidikan yang sama. Inti keyakinan feminis liberal pandangan bahwa kehidupan pribadi seseorang tidak harus
menjadi objek peraturan masyarakat. Feminisme liberal mendukung pemenuhan
individu yang terbebas dari keterbatasan peran seks dan mendukung hak-hak
perempuan dalam hal kebutuhan, kesejahteraan, pendidikan universal, dan layanan
kesehatan, misalnya dengan cara mengkritik praktek ketenagakerjaan yang tidak
fair daripada menyerang institusinya secara keseluruhan. Selanjutnya menurut
Elshtain (Humm, 2002:250—251), feminisme liberal mereduksi (mengurangi) nilai
motivasi manusia menjadi sekedar utilitarian (bermanfaat untuk kepentingan
diri).
Dasar
pemikiran kelompok feminis liberal yakni semua manusia, laki-laki dan perempuan
diciptakan seimbang dan serasi, yang seharusnya tidak terjadi penindasan antara
satu dengan lainnya. Kelompok ini diinspirasi
oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama
mempunyai kekhususnan sendiri. Secara ontologis, keduanya sama, hak laki-laki
dengan sendirinya juga menjadi hak-hak perempuan. Kelompok ini tetap menolak
persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan.
Kelompok
ini termasuk paling moderat yang membenarkan perempuan bekerja bersama
laki-laki, yang menghendaki agar perempuan dintegrasikan secara total di dalam
semua peran termasuk bekerja di rumah dan di luar rumah (sosial, ekonomi,
pendidikan, kesehatan, dan politik). Dengan demikian tidak ada lagi suatu
kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Berhubungan dengan peran perempuan
mengenai organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran
tersebut. Pemikiran kelompok feminis
liberal muncul sebagai kritik terhadap
teori politik liberal yang umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan,
nilai moral, dan kebebasan individu. Akan tetapi pada saat yang sama dianggap
mendeskriminasikan perempuan. Masalah perempuan tidak dilihat dari struktur dan
sistem sebagai pokok persoalan. Asumsi feminis liberal berakar pada pandangan
bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara
dunia privat dan publik. Kerangka kerja kelompok feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat
tertuju pada hak-hak mendapatkan kesempatan, hak yang sama bagi setiap
individu, termasuk hukum bagi perempuan (Umar,2001:81).
Usulan
aliran ini untuk memecahkan masalah kaum perempuan dengan cara menyiapkan kaum
perempuan agar bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas. kelompok
feminis liberal tidak pernah
mempertanyakan diskriminasi akibat patriarkhi sebagaimana dipersoalkan oleh
feminisme radikal dan sosial. Ide feminis liberal muncul sejak akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20, namun baru berkembang tahun 1960-an. Salah satu pengaruh feminis
liberal ini terekspresi dalam teori
modernisasi dalam program global yang dikenal WID (perempuan dalam pembangunan).
2.
Feminisme Sosial
Feminisme sosial menolak memperlakukan penindasan ekonomi sekunder . Aliran feminisme
sosial menyatakan bahwa laki-laki mempunyai kepentingan material khusus dalam
mendominasi perempuan dan laki-laki mengonstruksikan berbagai tatanan
institusional untuk melanggengkan dominasi ini. Batasan konvensional mengenai
ekonomi dengan mempertimbangkan aktivitasnya yang tidak melibatkan pertukaran
uang, misalnya dengan memasukkan kerja prokreatif dan seksual yang dilakukan
perempuan di rumah. Dalam menganalisis semua bentuk kegiatan produktif aliran
ini menggabungkan alat analisis jender dengan kelas.
Menurut
Ferguson (Humm, 2002449) salah satu problem aspek feminisme sosial ini bahwa
mereka menjadikan konsep pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin sebagai
dasar untuk mengeksploitasi relasi-relasi antara subordinasi perempuan, sistem
ekonomi tertentu, dan cara mengorganisasikan seksualitas. Sementara itu, kaum
feminisme sosial (marxis) berupaya menghilangkan struktur kelas dalam
masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan
peran antara kedua jenis kelamin itu, sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor
budaya alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional bahwa status perempuan
lebih rendah daripada laki-laki, karena faktor biologis dan latar belakang
sejarah. Kelompok feminisme sosial menganggap bahwa ketimpangan jender di dalam
masyarakat yakni akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya
tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan dalam lingkungan rumah tangga. Istri
memiliki ketergantungan lebih tinggi pada suami dan senantiasa mencemaskan
keamanan ekonominya karena menggantungkan diri pada kekuasaan suami.
Kaum
feminisme sosial bertolak dari tesis bahwa setiap laki-laki dan perempuan
mempunyai keinginan dalam mengembangkan kemampuan dan rasionalitas secara
optimal. Tidak ada lembaga atau individu yang boleh merenggut hak itu maupun
intervensi. Negara hanyalah untuk menjamin agar hak tersebut terlaksana dengan
baik.
Perbedaan
feminis liberal dan feminisme sosial adalah, kaum feminis sosial mengaitkan
dominasi laki-laki dengan kapitalis, sedangkan kelompok feminis liberal
mengaitkan dominasi laki-laki dengan ideologi patriarkhi.
METODE PENELITIAN
Pendekatan
yang digunakan adalah analisis jender dan kritik sastra feminis yang merupakan
salah satu komponen dalam bidang interdisipliner studi perempuan yang dapat
diaplikasikan dalam kajian karya sastra. Metode yang digunakan adalah
kualitatf. Sumber data penelitian ini (1) novel Ayat-ayat
Cinta karya Habibur Rahman El Shirazy,
tebal buku 403 halaman, penerbit Republik a dan
Pesantren Basmala Indonesia, Cetakan XX, Jakarta 2007 dan (2) Novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Kholieqy, tebal buku 309 halaman, yayasan
Kesejahteraan Fatayat, Yogyakarta, 2001.
Adapun data penelitian ini berupa paparan bahasa yang terkait
dengan butir-butir ketimpangan jender terhadap perempuan dalam kedua novel yang
dijadikan sebagai sumber data penelitian, yaitu (1) ketimpangan jender terhadap
perempuan dalam ruang domestik, (2) ketimpangan jender terhadap perempuan
dalam ruang publik, (3) penyebab ketimpangan jender terhadap perempuan, (4)
model penyelesaian ketimpangan jender terhadap perempuan. Masalah-masalah
tersebut dibedah dengan teori analisis jender dan teori kritik sastra feminis.
Dalam penelitian ini peneliti
bertindak sebagai instrumen utama atau human
instrument. Peneliti sebagai instrumen utama (human instrument) berarti peneliti bertindak sebagai perencana,
pelaksana pengumpul data, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor
hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan kajian tekstual, dengan
langkah-langkah (1) membaca secara heuristik dan hermeneutis;
(2) mendaftar data; (3) mengklasifikasi
data; dan (4) menafsirkan data. Untuk menjaga keabsahan data dilakukan kegiatan
trianggulasi data.
HASIL
1. Bentuk ketimpangan jender dalam ruang domestik pada novel AAC berupa kekerasan (violent) fisik berupa penyeretan dan
pencambukan, kekerasan seksual yang sangat sadis terhadap perempuan yang
dilakukan Bahadur terhadap Noura. Di samping itu juga terdapat kekerasan
psikhis sebagai akibat poligami yang dialami oleh Aisha Adapun
ketimpangan jender dalam ruang domestik pada novel PBS berupa stereotip perlakuan seorang ayah terhadap putrinya
(Nisa), kekerasan fisik, seksual, dan psikhis seorang suami terhadap istrinya
(Nisa), perempuan tersubordinasi dalam pengambilan keputusan rumah tangga (Nisa
dalam pengambilan keputusan nikah oleh ayah dan keputusan poligami oleh suaminya),
marginalisasi persoalan keluarga, yakni kesalahan suami melakukan poligami
(Samsudin) ditimpakan pada istri (Nisa yang belum dikarunia anak), steriotip
pembagian pekerjaan antara Wildan dan Rizal dengan Nisa, dan pembagian beban
yang tidak proporsional antara Wildan dan Rizal dengan Nisa.
2. Bentuk ketimpangan jender terhadap
perempuan di ruang publik pada AAC karya
Habiburrahman El Kholieqy berupa
makian dengan
kata-kata kotor, perlakuan kasar di depan publik yang dilakukan oleh Bahadur terhadap Noura
dan Maria, dan poligami yang menimbulkan kekerasan psikologis pada perempuan (Aisha). Adapun dalam PBS karya Abidah El Shirazy berupa tradisi ketimpangan beban
tugas yang tidak proporsional yang sudah mengakar di masyarakat baik informal
maupun formal di sekolah, ketimpangan perlakuan, yakni laki-laki diberi
kekebasan yang seluas-luasnya untuk berekspresi dalam hal berbicara, bermain,
dan berperilaku, sedangkan perempuan sangat dibatasi, serta ketimpangan
kesempatan belajar dan berpendidikan. Perempuan dibatasi dalam hal belajar dan
memperoleh pendidikan tinggi dan menjadi pemimpin, karena tugas perempuan berdasarkan
idielogi patriarkhi adalah di dapur, di sumur, dan di kasur. Perempuan selalu ditempatkan
pada posisi inferior, sedangkan laki-laki pada posisi superior.
3.
Penyebab terjadinya ketimpangan jender terhadap
perempuan dalam novel AAC karya
Habiburrahman El Kholieqy adalah
ideologi patriarkhi yang dibelokkan pada takdir dan dalih kemanusiaan. Takdir tertukarnya bayi Noura dianggap
sebagai penyebab Noura mengalami berbagai penindasan oleh Bahadur. Dalih
kemanusiaan yang menyebabkan Fakhri melakukan poligami. Adapun penyebab
terjadinya ketimpangan jender terhadap perempuan dalam novel PBS Abidah El Shirazy adalah ideologi patriakhi yang menyebabkan
berbagai ketimpangan jender terhadap perempuan, seperti steriotip laki-laki dan
perempuan, marginalisasi terhadap perempuan,
perempuan tersubordinasi, dan berbagai kekerasan fisik, kekerasan
seksual, dan kekerasan psikhis, serta pemberian beban yang tidak seimbang,
yakni perempuan lebih banyak pekerjaan dibanding dengan laki-laki.
4.
Model penyelesaian ketimpangan jender terhadap
perempuan dalam novel AAC karya
Habiburrahman El Kholieqy berupa upaya kemanusiaan yang dilakukan Syaih Ahmad
untuk membebaskan Noura dari belenggu penindasan Bahadur. Takdir kematian Maria
yang menyelesaikan persoalan poligami yang dihadapi oleh Aisha. Upaya kemanusiaan yang dilakukan oleh Syaih
Ahmad dan takdir kematian Maria, menurut kritik sastra Feminis merupakan upaya
laki-laki untuk tetap menempatkan perempuan pada posisi inferior. Perempuan
dibuat tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, dan hanya laki-laki yang
mampu menyelesaikannya. Perempuan dibuat tidak berdaya melepaskan/membebaskan
diri dari berbagai ketimpangan yang menimpa dirinya. Ironisnya, perempuan yang
memiliki status sosial dan pendidikan tinggi pun lebih memilih menyerah pada
takdir daripada berjuang untuk melawan ideologi patriarkhi.. Para tokoh
perempuan, baik Noura maupun Aisha yang dikenai ketimpangan jender tidak diizinkan
pengarang untuk melakukan perlawanan. Seharusnya inisiatif melakukan
perlawanan untuk membebaskan dirinya dari ketimpangan jender datang dari Noura
dan Aisha bersama perempuan lainnya bukan dari
laki-laki (Syaih Ahmad ataupun takdir), sehingga perempuan memiliki
kesetaraan jender dengan laki-laki.. Adapun dalam novel PBS karya Abidah El Shirazy, model penyelesaian permasalahan
ketimpangan jender terhadap perempuan dilakukan dengan perlawanan mulai Nisa
masih kecil sampai akhir cerita sebagai perempuan mandiri yang tangguh.
Perlawanan yang dilakukan tokoh Nisa berupa diskusi dengan logika berfikir dan
kerja keras. Penafsiran ajaran agama oleh adat yang berupa doktrin dari
ideologi patriarkhi dipertanyakan dan dilawan sehingga ketimpangan jender
terhadap perempuan dapat dieliminir. Pada
akhir cerira, perempuan berhasil ditempatkan pada posisi setara dengan
laki-laki.
PENUTUP
Berdasarkan
analisis data disimpulkan: (1) bentuk ketimpangan jender dalam ruang domestik pada novel AAC
berupa kekerasan (violent) fisik
berupa penyeretan dan pencambukan dan kekerasan psikis (jiwa tertekan),
sedangkan pada novel PBS berupa
steriotip, beban yang tidak proporsional, kekerasan fisik, seksual, dan
psikhis, perempuan tersubordinasi, dan marginalisasi (2) bentuk ketimpangan jender di
ruang publik pada AAC berupa makian dan perlakuan kasar di
depan publik, sedangkan dalam PBS berupa tradisi dikotomis steriotip
dan marginalisasi terhadap perempuan yang sudah mengakar di masyarakati, (3) penyebab terjadinya
ketimpangan jender dalam novel AAC adalah
ideologi patriarkhi dan kapitalis yang dibelokkan
pada takdir dan dalih kemanusiaan, sedangkan. dalam novel PBS adalah idelogi patriakhi secara
jelas dan konsisten, dan (4) model penyelesaian ketimpangan jender dalam
novel AAC berupa penempatan perempuan
pada posisi inferior, sampai akhir cerita dan posisi superior pada laki-laki,
tokoh perempuan tidak melakukan perlawanan. Adapun dalam novel PBS, model penyelesaian permasalahan
ketimpangan jender terhadap perempuan adalah perlawanan
perempua terhadap
ideologi patriarkhi melalui diskusi/ logika berfikir dan bekerja keras. Pada
akhir cerita, perempuan berhasil ditempatkan pada posisi setara dengan
laki-laki. Sehubungan dengan
itu disarankan agar dilakukan penelitian
terhadap bentuk ketimpangan jender terhadap perempuan dengan fokus penelitian
di luar ruang tersebut. Akan lebih baik jika pengkajian merupakan kajian
komparatif antara pengarang perempuan dan laki-laki dengan fokus dan pendekatan
yang berbeda untuk memperluas khasanah temuan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Alisyahbana, Sutan Takdir.
1998. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru dan YA3 Malang.
Aminuddin. 1990. Pengebangan Penelitian Kualitatif dalam
Bidang Bahasa dan Sastra. Malang:
Yayasan Asih Asah Asuh (YA3).
Budianta, Melani.1998.
Sastra dan ideologi Jender. Horizon. Tahun XXXII Nomor 4 Jakarta
Fenanie, zaenuddin. 2002. Telaah
Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Gardinest, Oey dan
Mayling.1996. Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Yogyakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Humm, Maggie. 1986. Feminist
Criticism. Great Britain:
The Harvester Limited.
Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia
Feminisme (terjemahan Mundi Rahayu). Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka
Baru.
Junus, Umar, 1985. Sosiologi Sastra, Persoalan Teori dan Metode.
Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kholieqy, Abidah El. 2001. Perempuan
Berkalung Sorban. Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat.
No comments:
Post a Comment