PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN BAHASA INDOENSIA
Abstrak: Suatu kondisi
dan fakta yang cukup ironis dan mencengangkan sudah cukup lama kita hadapi. Sastrawan
dan penulis besar tidak lahir dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Presenter
hebat juga tidak lahir dari Jurusan Bahasa Indonesia. Padahal acara yang dipandu
berbahasa Indonesia. Lebih
memprihatinkan lagi para kreator bahasa iklan pun bukan berasal dari Jurusan
Bahasa Indonesia. Adakah yang kurang tepat dalam pembelajaran bahasa Indonesia? Mindset
menjadi Pegawai Negeri atau frame struktur
bahasa baku yang membuat enggan atau takut berkarya dengan bahasa Indonesia. Makalah ini akan memberikan apa yang dapat
dilakukan dan bagaimana merevitalisasi bahasa Indonesia di bidang wirausaha
melalui pembelajaran bahasa Indonesia. Sektor wirausaha/ interpreneur merupakan sektor yang sangat menjanjikan untuk
mendapatkan peluang sukses. Banyak profesi interpreneur sukses dengan merevitalisasi bahasa Indonesia
sebagai bahan baku untuk dikreasikan sehingga
memiliki nilai jual yang tinggi, di antaranya penulis, editor, MC,
presenter (host, announcer, compare), layanan usaha (Bank, bengkel, restoran,
dan lain-lain). Makalah ini dimaksudkan agar para pengguna bahasa Indonesia,
khususnya mahasiswa dan guru bahasa Indonesia dapat mengembangkan potensi di
bidangnya secara kreatif dan keluar dari
belenggu mindset dan frame yang
salah.
Kata kunci:
revitalisasi, bahasa Indonesia, interpreneur
A.
Pendahuluan
Tulisan yang disajikan dalam forum ini lebih tepat disebut
sebagai bahan diskusi dari pada makalah, karena penulis ingin sharring bersama seluruh peserta seminar
bagaimana seharusnya pembelajaran bahasa Indonesia dapat membekali siswa dan
mahasiswa berani dan terampil
mengeksplorasi bahasa Indonesia untuk tujuan yang lebih besar. Artinya siswa tidak
hanya mengejar target nilai, menguasai struktur bahasa, tetapi juga menjadikan
bahasa Indonesia sebagai bahan baku untuk mendapatkan uang. Mahasiswa juga
tidak hanya pandai meneliti bahasa dan sastra tetapi dapat memanfaatkan hasil
penelitian untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya secara terhormat. Tentu saja bukan dengan cara
merusak bahasa seperti maaf “pramuria” mengeksploitasi tubuhnya untuk menda-patkan uang, tetapi menempatkan
bahasa Indonesia dalam wacana yang lebih luas, lebih fungsional, dan lebih
dinamis tidak dalam frame struktur bahasa yang sangat sempit dan kaku.
Bahasa Indonesia sebagaimana bahasa-bahasa lainnya merupakan
diskursus yang sangat luas. Ia bisa sebagai sumber pengetahuan, alat
komunikasi, alat interaksi, alat menjalin relasi termasuk relasi bisnis,
seperti hubungan marketing dan konsumen,
media ekspresi, dan lain-lain. Jadi sangat naif jika bahasa hanya dipandang
dari sudut pandang struktur bahasa.
Kadang-kadang terbersit dalam pikiran kita, mengapa penulis
besar tidak lahir dari mahasiswa atau alumni Jurusan/Prodi bahasa dan sastra Indonesia?
Kalau pun ada jumlahnya sangat kecil (tidak presentatif) dibanding dengan
jumlah lulusan fakultas bahasa dan sastra Indonesia di seluruh Indonesia. Apa
yang dilakukan oleh sarjana bahasa dan sastra Indonesia saat ini? Berapa persen
yang bekerja di lembaga riset atau sebagai pegawai negeri, berapa persen yang
menjadi guru bahasa Indonesia? Apakah mindset
mereka bahwa lulus harus menjadi ‘pegawai” Lalu, di manakah lainnya, apa yang
dikerjakan.
Di sisi itu, kita prihatin dengan kondisi jumlah buku sastra
yang cocok untuk pembelajaran di sekolah jumlahnya juga sangat terbatas, terutama untuk anak-anak SD dan SMP. Tidak
dapat dibayangkan jika siswa SD dan SMP disuguhi karya-karya Ayu Utami dan Jenar Maesa Ayu. Untuk itu
jelas masih diperlukan banyak pengarang yang memiliki kepedulian menulis cerita
yang cocok dengan karakter anak usia SD dan SMP. Tanggung jawab siapakah ini?
Para sarjana bahasa dan sastra Indonesia, pengambil kebijakan di bidang
pendidikan, para guru, ataukah semuanya.
Saya menduga ‘kegagalan’ pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di sekolah tidak hanya disebabkan oleh guru yang tidak mengajarkan bahasa
dan sastra kepada siswa sesuai dengan
pendekatan kurikulum, tetapi juga terbatasnya bahan bacaan yang cocok untuk
siswa sesuai dengan tingkatan umur dan pendidikan karakter siswa. Ini
sebenarnya merupakan bidang garapan/proyek besar yang bisa menghasilkan uang. Kalaupun Mendiknas
tidak membuka proyek penulisan ini, buatlah jaringan sendiri. Kewirausaan di
bidang interpreneur yang disponsori oleh masing-masing perguruan tinggi kerjasama
dengan dirjen berbagai instansi yang relevan. Jadi siapa pun presidennya, siapa
pun menterinya, karya sastra tetap jalan dan makin memenuhi toko buku dan
perpustakaan di Indonesia. Guru dan siswa tidak lagi kesulitan mencari
literatur sastra, baik buku cerita maupun puisi. Apabila Guru menugasi siswa
membaca lima novel atau kumpulan puisi yang sesuai dengan tingkatan umur dan
pendidikan karakter siswa, semua sudah tersedia. Apa yang kita impikan kebiasaan
membaca yang ditanamkan sejak dini akan terwujud jika semua pihak ada kemauan
baik untuk melakukannya.
Selain itu, kita juga mengenal, mengapa presenter besar,
editor besar juga tidak lahir dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, kalau
pun ada jumlahnya juga sangat kecil. Apa faktor penyebabnya? Mengapa para
pemimpin redaksi Koran dan majalah besar dan kecil juga bukan lulusan bahasa
dan sastra Indonesia.
Marilah
kita merenung sejenak, apa yang salah dengan pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia mulai dari SD sampai Perguruan tinggi. Apakah sudah dirumuskan target
yang jelas dan kongkret dalam setiap jenjangnya, misalnya siswa lulus SD
targetnya bisa menceritakan kembali lima buku cerita, lima peristiwa di Koran,
dan dapat menuliskan dalam bentuk lima puisi. Demikian juga pada tingkatan SMP
dan SMA. Apakah guru dan dosen bahasa Indonesia sudah melaksanakan kegiatan
yang sesuai untuk mencapai target yang sudah ditentukan.
B. Menulis
itu Mudah
Sebagian besar penulis mengatakan, menulis itu mudah,
mulailah menulis, dengan rangkaian kata-kata yang anda miliki meskipun
kata-kata yang anda miliki sangat sederhana. Mindset anda tentang menulis akan mempengaruhi semangat dan
keberanian Anda untuk menulis. Kalau mindset
Anda menulis itu susah, maka Anda akan malas dan takut menulis, sebaliknya jika
mindset Anda menulis itu mudah maka Anda akan berani
dan senang menulis. Untuk itu, mulai sekarang, ubahlah cara berpikir anda dari menulis
itu susah, menjadi menulis itu mudah, maka Anda akan gemar menulis.
Mulailah menulis dengan tema yang sederhana, dengan kata-kata
sederhana, kalimat demi kalimat sederhana, ungkapkan apa saja yang ingin anda
sampaikan tanpa takut salah. Apa yang anda pikirkan, yang ada rasakan, dan yang
anda bayangkan, tuangkan saja dengan bahasa anda tanpa terbelenggu oleh frame
struktur bahasa baku. Keberhasilan menulis adalah being (proses menjadi). Tidak ada penulis besar, yang terjadi
secara isntan atau sekali menulis langsung bagus. Chairil Anwar pernah
memikirkan untuk memilih satu kata saja sampai berbulan-bulan. Jadi mulailah sekarang
untuk berani penulis.
Langkah awal untuk menjadi penulis adalah bagaimana
membangkitkan semangat dan keberanian dalam menulis. Selanjutnya bila menulis
sudah menjadi kebiasaan tinggal
membenahi bahasa yang akan dituangkan dalam tulisan. Salah satu cara
memperbaiki runtutan bahasa dan aturan-aturan baku menulis adalah dengan
membaca. Biasakan membaca buku berkualitas, terutama dari pengarang yang mampu
merangkai kata menjadi tulisan sederhana tapi menarik, bahasa-bahasa yang
terangkai dalam pikiran otomatis menyensor kejanggalan bahasa yang telah
tertulis (ini yang disebut proses editing). Proses editorial tulisan akan
mengoreksi bagaimana pemenggalan kata, efektifitas penggunaan kata (diksi)
dalam setiap paragraf. Menyeleksi kata yang tidak perlu, memperbaiki rangkaian
kata yang terkesan panjang dan berbelit-belit. Otomatisasi ini akan selalu
berlangsung setiap saat sehingga setelah beberapa lama menekuni dunia tulis-menulis
sensor otak akan secara refleks mengedit hal-hal yang tidak seharusnya ditulis.
Selanjutnya Anda tinggal memilih bentuk tulisan. Sesuaikan bentuk tulisan
dengan cara penulisan masing-masing bentuk yang Anda pilih.
Ada pengalaman menarik dari seorang penulis kompasianer IGN
Joko Dwiatmoko. Ia merasa lebih nyaman menuliskan segala unek-unek daripada
berteriak-teriak dan mengumpat secara spontan. Menulis dapat menjadi terapi
yang efektif untuk meredam emosi yang meletup-letup. Dengan menulis detak
jantung menjadi lebih teratur karena fokus pada pikiran dan memori-memori
yang dialirkan ke tangan. Sampai saat ini ia masih belajar bagaimana
merangkai kata, menciptakan tulisan yang mampu menghipnotis pembaca larut dalam
tulisannya. Dalam proses pencariannya, ia sering membaca tulisan Gunawan
Mohammad (dengan Catatan Pinggirnya), Seno Gumira Aji Darma, Radhar Panca
Dahana, Arswendo Admowiloto, F. Rahadi, Romo Mangun, Sindhunata, sampai
tulisan Pramudya Ananta Tour pernah. Tulisan Pengarang Ernest
Hemingway, Karl May dibacanya.
Berdasarkan uraian dan
pengalaman salah satu kompasianer maka untuk memulai menulis dibutuhkan
keberanian dan semangat. Segera melakukan dengan hal-hal yang sederhana dan
dengan bahasa yang sederhana. Ada bisa memulai dengan mengkreasikan cerita yang
sudah ada. Indonesia yang dulu disebut sebagai Nusantara sangat kaya akan
cerita. Ambil saja satu contoh cerita yang sangat akrab di telinga orang
Indonesia, yaitu cerita si Kancil. Saya yakin, Anda semua sudah sangat mengenal
karakter Kancil yang kaya strategi namun licik. Bagaimana mengubah karakter
kancil sesuai dengan visi pendidikan karakter bangsa Indonesia yang pemberani,
semangat, inovatif, kaya strategi, namun juga bermanfaat bagi orang di
lingkungannya. Cerita semacam ini sangat diperlukan untuk membangun karakter di
tingkat Pendidikan Dasar.
Apabila seluruh
pikiran, perasaan, dan imajinasi sudah tertuang dalam tulisan, proses
selanjutnya adalah meng-edit, baik isi maupun bahasa yang digunakan. Isi maupun
bahasa tulisan dapat dimatangkan dengan menimba pengalaman dari buku-buku bacaan
yang sesuai, berdiskusi dengan teman sejawat, terbuka menerima kritik dan
saran, serta bergegas membenahi tulisan.
Apakah
produktivitas menulis sudah menjadikan kita sebagai seorang interpreneur. Pekerjaan yang paling sulit dan
paling berat dalam berwirausaha adalah
membunuh rasa takut. Oleh karena itu membangun keberanian dan semangat
menjadi sangat penting. Memang, untuk menjadi seorang interpreneur diperlukan
beberapa pekerjaan lain yang tidak kalah pentingnya. Pekerjaan lain untuk
menjadi interpreneur adalah kemampuan
membaca peluang, disiplin (waktu, keuangan, dan managemen), kemauan bekerja
keras, dan kemampuan menjalin relasi dan kerjasama. Lagi-lagi untuk menjalin
relasi dan kerjasama juga diperlukan kemahiran mendayakan bahasa agar tidak
menimbulkan kesalahan berkomunikasi, karena kesalahan berkomunikasi juga akan
berakibat fatal dalam menjalin kerjasama. “Kesantunan” merupakan cara
berkomunikasi yang paling efektif dalam menjalin kerjasama.
C. Menjadi Presenter itu Mudah dan
Bisa Dilatih
Sebagaimana menulis itu
mudah, menjadi presenter juga mudah dan dapat dilakukan dengan latihan,
menambah wawasan, dan kedisiplinan. Tantowi Yahya bersaudara dulunya juga orang
biasa. Mereka tidak pernah kuliah di Jurusan Bahasa Indonesia, tetapi dapat
kita saksikan bersama kemampuan menggunakan bahasa Indonesianya jauh melampui
dosen bahasa dan sastra Indonesia di bidang presenter. Bagaimana mereka bisa
menjadi demikian hebat. Berlatih, berguru, berani, dan bekerja keras.
Untuk menjadi seorang
presenter, diperlukan penguasaan skill
presenter yang dapat dilakukan semua orang dengan cara berlatih. Andapun yang termasuk skill presenter adalah:
1.
Personal
Qualification: kualitas presenter, meliputi keprimaan
jasmani, rokhani, berkepribadian udara, suara dan bahasa yang khas (air personality).
a. Keprimaan jasmani diperoleh dengan olah raga,
makan sehat dan bergizi, tidak boleh terlalu capek, dan istirahat cukup.
b. Keprimaan rokhani diperoleh dengan menghindari
stres, positif thinking, ramah, dan
selalu menyenangkan/gembira.
c.
Berkepribadian udara ditumbuhkan dengan belajar memasuki pribadi acara
yang dibawakan.
d. Suara rich (empuk, padat, dan bulat) dan pleasing
(enak di telinga) diperoleh dengan menjaga kesehatan alat penghasil suara:
paru, rongga dada, pita suara, rongga mulut, rongga hidung, lidah, dan gigi.
2. Education
Qualification: kualitas
pendidikan (umum dan
khusus/pelatihan)
3. Communication
of ideas: berupa call letters station TV/radio, yaitu
menyebutkan identitas acara radio/tv dan mengulangnya untuk menanamkan call letters kepada pendengar. Dapat
juga disajikan dalam bentuk rekaman jingle,
misalnya Penikmat KDS 8…, Kakang Mbakyu Gita FM …, Mitra pendengar Andalus…., Inilah
Radio Republik Indonesia Station regional II Malang, Seputar Indonesia akan
kembali hadir sesaat lagi dan seterusnya, Sanggup menceritakan kembali ide-ide
dengan kata sendiri, dapat memberi tekanan.
4. Communication
of emotion: Mampu mengekspresikan
emosi dalam naskah secara jelas sama dengan ide-ide yang dikandung dalam
naskah.
Perhatikan naskah
berikut:
Masih
ingatkah Anda ketika sebagai gadis kecil. Anda memperhatikan ibu Anda pada
suatu petang yang cerah membuat kue lapis yang manis dan lezat? Alangkah
senangnya kita melihat adonan yang siap
dimasak. Dan ketika usai masak. Kita melihat warna kue lapis yang menggiurkan.
Wangi, empuk, serta em. Rasanya
Naskah
tersebut untuk mengawali acara boga.
Contoh lain dari acara yang berbeda dapat dibuka dengan pantun sebagai berikut:
Persaudaraan itu
seperti tangan dengan mata
Bila tangan terluka,
mata menangis
Bila mata menangis,
tangan menghapusnya
Semoga persaudaraan
kita seperti tangan dan mata
Seseorang
yang pandai menyajikan kualitas emosional akan mampu membawa pendengarnya ke
suasana nustalgia yang penuh kerinduan, keceriaan, atau keharuan.
4.
Projection personality:
kemampuan memproyeksikan kepribadiannya melalui suara yang khas.
Ditandai dengan keaslian suara/tidak dibuat-buat/natural, kesungguhan,
kejujuran (sincerity), kepercayaan (believebality), kelincahan (vitality), keramahan (friendliness), dan luwes (adaptable). Berpenampilan menarik ,
prima, dan berwibawa. Suara yang ulem, hangat, dan ramah, akan dikagumi oleh
pendengarnya, meskipun orangnya biasa saja.
Audience
umumnya tidak suka presenter yang memproyeksikan sikap sok tahu (superiority), kejengkelan, ketidaksabaran (irritability), kepalsuan (guile),
acuh tak acuh (disinterest),
dingin/tidak berwatak, merengek-rengek/mengemis minta dikasihani.
5.
Pronnounciation/ pelafalan
harus jelas dan bebas dari logat.
Keterampilan-keterampilan
di atas semua dapat dilatih oleh siapa pun yang ingin menekuni bidang
presenter. Pemodelan presenter dapat diunduh dengan mudah, tinggal bagaimana
guru memasukkan dalam pembelajaran.
D. Bahasa Indonesia untuk Wirausaha
Keberhasilan wirausaha
selain ditentukan oleh bekal kewirausahaan seperti keberanian, kemampuan
membaca peluang, kedisiplinan (waktu, keuangan, dan managemen), dan kemampuan
bekerja keras, juga ditentukan oleh kemampuan mendayagunakan bahasa dalam
menjalin komunikasi atau kemahiran berkomu-nikasi. Untuk menjalin hubungan
dengan konsumen agar konsumen tetap percaya pada kita, kita harus menggunakan
bahasa yang santun, persuasif, dan kontekstual. Bagaimanakah berwirausaha
dengan mendayagunakan bahasa? Tentu saja pendayagunaan bahasa harus
mempertimbangkan latar budaya yang melingkupi bahasa itu. Itulah sebabnya
belajar bahasa juga harus pelajar budaya masyarakat pemakai bahasa. Hal-hal
yang berkaitan dengan pendayagunaan bahasa dalam berwirausaha.
1) Dalam berwirausaha menghormati konsumen dan
menjamin kepercayaan konsumen adalah modal utama. Oleh karena itu, hormatilah
konsumen yang datang pada usaha Anda, misalnya jika konsumen membawa mobil,
datangilah sebelum ia turun dari mobil.
2) Hormati konsumen dengan bahasa yang santun dan
persuasif. Pilihan kata yang memikat hati konsumen secara kreatif harus selalu
diciptakan dan digunakan, misalnya Selamat pagi, Pak! Apa yang bisa kami bantu?
Atau dalam bahasa Jawa Sugeng enjang,
Pak! Ngersaaken punopo?
3) Jagalah kesantunan dalam berkomunikasi lanjutan
untuk berkomunikasi lanjutan untuk menarik konsumen sampai konsumen itu
memutuskan untuk membeli produk atau menggunakan jasa Anda. Jika kita mempunyai
karyawan, harus kita tanamkan kepada karyawan bahwa kita merasa berhasil jika
berhasil “menundukkan” konsumen yang sulit.
Bahkan apabila konsumen memberikan komentar yang negatif, tetap harus
kita layani dengan bahasa yang menarik.
4) Apabila sudah terjadi “deal” antara konsumen
dengan karyawan, karyawan menghormati konsumen dengan bahasa dan perangkat
budaya yang lain, misalnya “Pak, teh, kopi, atau aqua? Kalimat selanjutnya,
Mangga Pak kopinipun.
5) Pemilik usaha/karyawan mendayagunakan bahasa
untuk menjalin komunikasi yang lebih erat dengan konsumen. Kesantunan dapat
bergerak naik-turun sesuai dengan asal konsumen, profesi konsumen, status
konsumen, jenis kelamin, topik, dan lain-lain. Di sinilah diperlukan
pendayagunaan bahasa secara pragmatik. Konsep santun antara penutur dan mitra
tutur yang satu dengan lainnya tentu berbeda. Sebagai contoh, saat pemilik
bengkel mengarahkan konsumen yang play boy dapat menggunakan “Mas, lek kaca depan sampeyan kasih kaca film
diblok, ndak kelihatan di dalam itu rambutnya panjang atau pendek.” Selanjutnya
pemilik bengkel/karyawan dapat menjelaskan secar rasional agar konsumen merasa
lebih nyaman apabila kaca depan dipasang kaca film, misalnya ada beberapa
keuntungan bila kaca depan dipasang kaca film penuh (1) pada saat panas, kaca
film itu dapat mengurangi panas yang masuk ke dalam mobil dan dapat mengurangi
silau karena kaca film itu dapat berfungsi seperti kaca mata, (2) kalau terjadi
kecelakaan, pecahan kaca depan itu tidak akan mengenai kita karena ditahan kaca
film (lengket) ke kaca film.
E. Bagaimana Seharusnya Pembelajaran
Bahasa Indonesia
Menyadari betapa
pentingnya kemahiran berbahasa dalam menunjang dan melakukan wirausaha,
pembelajaran bahasa seharusnya dilakukan dengan pendekatan komunikatif dan
kontekstual.
Sebenarnya
kurikulum pembelajaran bahasa Indonesia sejak 1994 sudah mengarahkan pada
kemahiran berkomunikasi dan sesuai dengan konteks dengan berbagai pendekatan
yang digunakan seperti pendekatan
komunikatif, tematik, integratif, proses, CBSA, dan kontekstual. Akan
tetapi kenyataannya, sampai saat ini masih banyak guru yang belum memahami
penggunaan pendekatan tersebut, sehingga pembelajaran bahasa Indonesia masih
terjebak pada pembelajaran struktural dan komunikasi dalam konteks yang sangat
sempit, yaitu penggunaan bahasa baku. Akibatnya tidak hanya siswa yang takut
menuangkan pikiran dan imajinasinya secara kreatif, guru bahasa Indonesia pun
juga takut salah jika menulis. Lagi-lagi frame
bahasa baku telah membelenggu kreativitas guru dan siswa.
Pendekatan
komunikatif pada hakikatnya adalah melatih siswa agar mahir berbahasa untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam berkomunikasi yang sesungguhnya.
Sementara ini, pemahaman konteks komunikasi masih diartikan dalam arti yang
sempit, sehingga guru tidak berani memberikan peluang kepada siswa atau
memberi contoh kepada siswa untuk
menggunakan bahasa dalam konteks yang luas secara kreatif. Pemahaman konteks
berkomunikasi seharusnya memberikan peluang kemahiran berkomunikasi dalam
berbagai konteks. Di sinilah siswa seharusnya dapat menggunakan bahasa secara
kontekstual, misalnya ketika ia berbicara sebagai siswa di dalam kelas, sebagai
host panggung hiburan, sebagai humas
suatu kegiatan, sebagai MC acara di sekolah, sebagai moderator, sebagai penulis
karya ilmiah, sebagai penulis sastra, dan lainya. Berbagai kemahiran berbahasa
di atas tentu menuntut kaidah bahasa yang berbeda-beda, bukan hanya kaidah
bahasa baku.
Konsep
pendekatan komunikatif sebenarnya diadopsi dari Haliday dan Hasan (1985)
tentang fungsi bahasa dalam komunikatif, Carrol (1980) tentang communicative performance , serta Widdowson
(1983) yang memilah performansi bahasa menjadi dua yaitu language usage dan language
use. Language usage adalah
performansi bahasa lepas konteks, sedangkan language
use adalah performansi bahasa untuk tujuan komunikasi yang berada dalam
konteks. Lebih lanjut Canale dan Swain (1983) menyatakan bahwa kompetensi komunikatif itu ada empat,
yaitu kompetensi gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi strategis ,
dan kompetensi kewacanaan. Dalam pembelajaran bahasa, kompetensi-kompetensi
tersebut seharusnya ditanamkan pada siswa dengan cara berlatih secara langsung.
Dengan demikian, teori yang dikuasai siswa dapat diterapkan secara langsung
oleh siswa secara lebih bermakna bukan lagi hafalan.
Dalam
proses komunikasi yang sesungguhnya, di kurikulum bahasa Indonesia sudah
diberikan rambu-rambu, seperti kemahiran bercerita, menulis surat, menulis
karya ilmiah, menulis puisi, menawar, menolak, menulis iklan, menyampaikan
pendapat, memandu acara, dan lain-lain. Kemahiran berbahasa seperti itu memang
sangat diperlukan dalam kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu, model-model
pembelajaran seharusnya didasarkan pada bahasa yang benar-benar digunakan dan
diperlukan dalam proses komunikasi yang sesuangguhnya.
Dari
pendapat-pendapat di atas, sebenarnya pendekatan yang disarankan oleh kurikulum
sudah memberikan peluang kepada guru, dosen, mahasiswa, dan siswa untuk mampu
secara kreatif menggunakan bahasa dalam berbagai konteks dengan berbagai
strategi. Oleh sebab itu, tidak perlu lagi ada ketakutan menun-jukkan dan
memberikan kesempatan yang lebih luas bagi siswa dan mahasiswa untuk
mendayagunakan potensi bahasa Indonesia dalam konteks yang lebih luas.
Yang
menjadi persoalan, apakah semua kemahiran berbahasa harus dilatihkan di
sekolah? Sudahkan kurikulum kita memiliki target yang jelas tentang kompetensi
komunikasi yang harus dimiliki siswa dalam setiap jenjang pendidikan sesuai
dengan jenis pendidikan yang diikuti oleh siswa. Sudahkah sarana dan sumber
belajar yang memadai untuk meningkatkan kompetensi komunikasi siswa? Di sini
diperlukan kerjasama yang sinergi antara lembaga perguruan tinggi, terutama
yang memiliki Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, pengambil kebijakan di bidang pendidikan, lembaga
pendidikan, dan masyarakat.
Dengan
demikian, terjadi semangat baru untuk menempatkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa yang terhormat, dinamis, strategis, fungsional, dan berwawasan
interpreneur. Inilah yang ingin penulis share-kan dalam forum ini. Mencari
solusi mendayagunakan bahasa Indonesia dalam wawasan wirausaha dan proses
pembelajarannya.
F.
Penutup
Menempatkan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa yang besar, dinamis, hidup, dan fungsional adalah menggunakannya
dalam berbagai konteks komunikasi yang sesuai dengan kebutuhan hidup. Di era
globalisasi informasi dan ekonomi, kewirausahaan menjadi kebutuhan dalam hidup.
Oleh karena itu pembelajaran bahasa Indonesia selayaknya juga dirancang agar
siswa mampu menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kebutuhan hidup,
termasuk mendayagunakan bahasa Indonesia untuk berwirausaha sesuai dengan
potensi yang dimiliki oleh masing-masing siswa/mahasiswa.
Sumber Rujukan
Adieb, Achmad. "Analisis Penokohan dan Alur pada Novel-novel
Indonesia". dalam http://achmadadieb.wordpress.com/
Brown, Thomas.
"Writing the Novel û Setting".
dalam http://www.suite101.com/
Kurniawan, Eka. "Proses Kreatif: Penulis sebagai si Juru
Masak". Dalam http://ekakurniawan.com/
Pasaribu, Truly Almendo. http://pelitaku.sabda.org/proses_kreatif_menulis_novel
Sumadi, 2011. Berwirausaha dengan Bahasa dan Implikasinya
dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam
Bidang Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Fakultas Sastra Universitas Negeri
Malang.
Mahasiswa memecahkan masalah-masalah kebahasaan,
kesastraan, dan pembelajarannya dan berwirausaha di bidang bahasa, sastra, dan
pengajarannya melalui seminar, sarasehan, talkshow,
kuliah tamu, pelatihan, dan bimbingan.
Materi meliput: survei
kebutuhan masyarakat di bidang
kebahasaan, kesastraan, dan pembelajarannya, teknik publikasi
melalui seminar, sarasehan, talkshow, kuliah tamu, dan lain-lain,
dan praktik publikasi masalah terkini berkaitan dengan kebutuhan masyarakat di
bidang kebahasaan, kesastraan, dan
pembelajarannya melalui seminar,
sarasehan, talkshow, kuliah tamu, dan
lain.
No comments:
Post a Comment