Wednesday, July 24, 2013

Seminar Nasional









REVITALISASI BAHASA INDONESIA DI BIDANG INTERPRENEUR:
PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN BAHASA INDOENSIA 



Abstrak:  Suatu kondisi dan fakta yang cukup ironis dan mencengangkan sudah cukup lama kita hadapi. Sastrawan dan penulis besar tidak lahir dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Presenter hebat juga tidak lahir dari Jurusan Bahasa Indonesia. Padahal acara yang dipandu berbahasa Indonesia.  Lebih memprihatinkan lagi para kreator bahasa iklan pun bukan berasal dari Jurusan Bahasa Indonesia. Adakah yang kurang tepat dalam pembelajaran bahasa Indonesia?  Mindset menjadi Pegawai Negeri atau frame struktur bahasa baku yang membuat enggan atau takut berkarya dengan bahasa Indonesia.  Makalah ini akan memberikan apa yang dapat dilakukan dan bagaimana merevitalisasi bahasa Indonesia di bidang wirausaha melalui pembelajaran bahasa Indonesia. Sektor wirausaha/ interpreneur merupakan sektor yang sangat menjanjikan untuk mendapatkan peluang sukses.  Banyak profesi  interpreneur  sukses dengan merevitalisasi bahasa Indonesia sebagai bahan baku untuk dikreasikan sehingga  memiliki nilai jual yang tinggi, di antaranya penulis, editor, MC, presenter (host, announcer, compare), layanan usaha (Bank, bengkel, restoran, dan lain-lain). Makalah ini dimaksudkan agar para pengguna bahasa Indonesia, khususnya mahasiswa dan guru bahasa Indonesia dapat mengembangkan potensi di bidangnya  secara kreatif dan keluar dari  belenggu mindset dan frame yang salah.
Kata kunci: revitalisasi, bahasa Indonesia, interpreneur


A.   Pendahuluan
Tulisan yang disajikan dalam forum ini lebih tepat disebut sebagai bahan diskusi dari pada makalah, karena penulis ingin sharring bersama seluruh peserta seminar bagaimana seharusnya pembelajaran bahasa Indonesia dapat membekali siswa dan mahasiswa  berani dan terampil mengeksplorasi bahasa Indonesia untuk tujuan yang lebih besar. Artinya siswa tidak hanya mengejar target nilai, menguasai struktur bahasa, tetapi juga menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahan baku untuk mendapatkan uang. Mahasiswa juga tidak hanya pandai meneliti bahasa dan sastra tetapi dapat memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan  kesejahteraan hidupnya secara terhormat. Tentu saja bukan dengan cara merusak bahasa seperti maaf “pramuria” mengeksploitasi tubuhnya  untuk menda-patkan uang, tetapi menempatkan bahasa Indonesia dalam wacana yang lebih luas, lebih fungsional, dan lebih dinamis tidak dalam frame struktur bahasa yang sangat sempit dan kaku.
Bahasa Indonesia sebagaimana bahasa-bahasa lainnya merupakan diskursus yang sangat luas. Ia bisa sebagai sumber pengetahuan, alat komunikasi, alat interaksi, alat menjalin relasi termasuk relasi bisnis, seperti hubungan marketing  dan konsumen, media ekspresi, dan lain-lain. Jadi sangat naif jika bahasa hanya dipandang dari sudut pandang struktur bahasa.
Kadang-kadang terbersit dalam pikiran kita, mengapa penulis besar tidak lahir dari mahasiswa atau alumni Jurusan/Prodi bahasa dan sastra Indonesia? Kalau pun ada jumlahnya sangat kecil (tidak presentatif) dibanding dengan jumlah lulusan fakultas bahasa dan sastra Indonesia di seluruh Indonesia. Apa yang dilakukan oleh sarjana bahasa dan sastra Indonesia saat ini? Berapa persen yang bekerja di lembaga riset atau sebagai pegawai negeri, berapa persen yang menjadi guru bahasa Indonesia? Apakah mindset mereka bahwa lulus harus menjadi ‘pegawai” Lalu, di manakah lainnya, apa yang dikerjakan.
Di sisi itu, kita prihatin dengan kondisi jumlah buku sastra yang cocok untuk pembelajaran di sekolah jumlahnya juga sangat terbatas,  terutama untuk anak-anak SD dan SMP. Tidak dapat dibayangkan jika siswa SD dan SMP  disuguhi karya-karya  Ayu Utami dan Jenar Maesa Ayu. Untuk itu jelas masih diperlukan banyak pengarang yang memiliki kepedulian menulis cerita yang cocok dengan karakter anak usia SD dan SMP. Tanggung jawab siapakah ini? Para sarjana bahasa dan sastra Indonesia, pengambil kebijakan di bidang pendidikan, para guru, ataukah semuanya.
Saya menduga ‘kegagalan’ pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah tidak hanya disebabkan oleh guru yang tidak mengajarkan bahasa dan sastra  kepada siswa sesuai dengan pendekatan kurikulum, tetapi juga terbatasnya bahan bacaan yang cocok untuk siswa sesuai dengan tingkatan umur dan pendidikan karakter siswa. Ini sebenarnya merupakan bidang garapan/proyek besar  yang bisa menghasilkan uang. Kalaupun Mendiknas tidak membuka proyek penulisan ini, buatlah jaringan sendiri. Kewirausaan di bidang interpreneur yang disponsori oleh masing-masing perguruan tinggi kerjasama dengan dirjen berbagai instansi yang relevan. Jadi siapa pun presidennya, siapa pun menterinya, karya sastra tetap jalan dan makin memenuhi toko buku dan perpustakaan di Indonesia. Guru dan siswa tidak lagi kesulitan mencari literatur sastra, baik buku cerita maupun puisi. Apabila Guru menugasi siswa membaca lima novel atau kumpulan puisi yang sesuai dengan tingkatan umur dan pendidikan karakter siswa, semua sudah tersedia. Apa yang kita impikan kebiasaan membaca yang ditanamkan sejak dini akan terwujud jika semua pihak ada kemauan baik untuk melakukannya.
Selain itu, kita juga mengenal, mengapa presenter besar, editor besar juga tidak lahir dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, kalau pun ada jumlahnya juga sangat kecil. Apa faktor penyebabnya? Mengapa para pemimpin redaksi Koran dan majalah besar dan kecil juga bukan lulusan bahasa dan sastra Indonesia.
Marilah kita merenung sejenak, apa yang salah dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mulai dari SD sampai Perguruan tinggi. Apakah sudah dirumuskan target yang jelas dan kongkret dalam setiap jenjangnya, misalnya siswa lulus SD targetnya bisa menceritakan kembali lima buku cerita, lima peristiwa di Koran, dan dapat menuliskan dalam bentuk lima puisi. Demikian juga pada tingkatan SMP dan SMA. Apakah guru dan dosen bahasa Indonesia sudah melaksanakan kegiatan yang sesuai untuk mencapai target yang sudah ditentukan.

B.  Menulis itu Mudah
Sebagian besar penulis mengatakan, menulis itu mudah, mulailah menulis, dengan rangkaian kata-kata yang anda miliki meskipun kata-kata yang anda miliki sangat sederhana. Mindset anda tentang menulis akan mempengaruhi semangat dan keberanian Anda untuk menulis. Kalau mindset Anda menulis itu susah, maka Anda akan malas dan takut menulis, sebaliknya jika mindset  Anda menulis itu mudah maka Anda akan berani dan senang menulis. Untuk itu, mulai sekarang, ubahlah cara berpikir anda dari menulis itu susah, menjadi menulis itu mudah, maka Anda akan gemar menulis.
Mulailah menulis dengan tema yang sederhana, dengan kata-kata sederhana, kalimat demi kalimat sederhana, ungkapkan apa saja yang ingin anda sampaikan tanpa takut salah. Apa yang anda pikirkan, yang ada rasakan, dan yang anda bayangkan, tuangkan saja dengan bahasa anda tanpa terbelenggu oleh frame struktur bahasa baku. Keberhasilan menulis adalah being (proses menjadi). Tidak ada penulis besar, yang terjadi secara isntan atau sekali menulis langsung bagus. Chairil Anwar pernah memikirkan untuk memilih satu kata saja sampai berbulan-bulan. Jadi mulailah sekarang untuk berani penulis.
Langkah awal untuk menjadi penulis adalah bagaimana membangkitkan semangat dan keberanian dalam menulis. Selanjutnya bila menulis sudah menjadi kebiasaan tinggal membenahi  bahasa yang akan dituangkan dalam tulisan. Salah satu cara memperbaiki runtutan bahasa dan aturan-aturan baku menulis adalah dengan membaca. Biasakan membaca buku berkualitas, terutama dari pengarang yang mampu merangkai kata menjadi tulisan sederhana tapi menarik, bahasa-bahasa yang terangkai  dalam pikiran otomatis menyensor kejanggalan bahasa yang telah tertulis (ini yang disebut proses editing). Proses editorial tulisan akan mengoreksi bagaimana pemenggalan kata, efektifitas penggunaan kata (diksi) dalam setiap paragraf. Menyeleksi kata yang tidak perlu, memperbaiki rangkaian kata yang terkesan panjang dan berbelit-belit. Otomatisasi ini akan selalu berlangsung setiap saat sehingga setelah beberapa lama menekuni dunia tulis-menulis sensor otak akan secara refleks mengedit hal-hal yang tidak seharusnya ditulis. Selanjutnya Anda tinggal memilih bentuk tulisan. Sesuaikan bentuk tulisan dengan cara penulisan masing-masing bentuk yang Anda pilih.
Ada pengalaman menarik dari seorang penulis kompasianer IGN Joko Dwiatmoko. Ia merasa lebih nyaman menuliskan segala unek-unek daripada berteriak-teriak dan mengumpat secara spontan. Menulis dapat menjadi terapi yang efektif untuk meredam emosi yang meletup-letup. Dengan menulis detak jantung menjadi lebih teratur karena fokus  pada pikiran dan memori-memori yang dialirkan  ke tangan. Sampai saat ini ia masih belajar bagaimana merangkai kata, menciptakan tulisan yang mampu menghipnotis pembaca larut dalam tulisannya. Dalam proses pencariannya, ia sering membaca tulisan Gunawan Mohammad (dengan Catatan Pinggirnya), Seno Gumira Aji Darma, Radhar Panca Dahana, Arswendo Admowiloto, F. Rahadi, Romo Mangun, Sindhunata, sampai tulisan  Pramudya Ananta Tour pernah.  Tulisan Pengarang Ernest Hemingway, Karl May dibacanya.
            Berdasarkan uraian dan pengalaman salah satu kompasianer maka untuk memulai menulis dibutuhkan keberanian dan semangat. Segera melakukan dengan hal-hal yang sederhana dan dengan bahasa yang sederhana. Ada bisa memulai dengan mengkreasikan cerita yang sudah ada. Indonesia yang dulu disebut sebagai Nusantara sangat kaya akan cerita. Ambil saja satu contoh cerita yang sangat akrab di telinga orang Indonesia, yaitu cerita si Kancil. Saya yakin, Anda semua sudah sangat mengenal karakter Kancil yang kaya strategi namun licik. Bagaimana mengubah karakter kancil sesuai dengan visi pendidikan karakter bangsa Indonesia yang pemberani, semangat, inovatif, kaya strategi, namun juga bermanfaat bagi orang di lingkungannya. Cerita semacam ini sangat diperlukan untuk membangun karakter di tingkat Pendidikan Dasar.
Apabila seluruh pikiran, perasaan, dan imajinasi sudah tertuang dalam tulisan, proses selanjutnya adalah meng-edit, baik isi maupun bahasa yang digunakan. Isi maupun bahasa tulisan dapat dimatangkan dengan menimba pengalaman dari buku-buku bacaan yang sesuai, berdiskusi dengan teman sejawat, terbuka menerima kritik dan saran, serta bergegas membenahi tulisan.  
            Apakah produktivitas menulis sudah menjadikan kita sebagai seorang  interpreneur. Pekerjaan yang paling sulit dan paling berat dalam berwirausaha adalah  membunuh rasa takut. Oleh karena itu membangun keberanian dan semangat menjadi sangat penting. Memang, untuk menjadi seorang interpreneur diperlukan beberapa pekerjaan lain yang tidak kalah pentingnya. Pekerjaan lain untuk menjadi interpreneur adalah kemampuan membaca peluang, disiplin (waktu, keuangan, dan managemen), kemauan bekerja keras, dan kemampuan menjalin relasi dan kerjasama. Lagi-lagi untuk menjalin relasi dan kerjasama juga diperlukan kemahiran mendayakan bahasa agar tidak menimbulkan kesalahan berkomunikasi, karena kesalahan berkomunikasi juga akan berakibat fatal dalam menjalin kerjasama. “Kesantunan” merupakan cara berkomunikasi yang paling efektif dalam menjalin kerjasama.

C.  Menjadi Presenter itu Mudah dan Bisa Dilatih
Sebagaimana menulis itu mudah, menjadi presenter juga mudah dan dapat dilakukan dengan latihan, menambah wawasan, dan kedisiplinan. Tantowi Yahya bersaudara dulunya juga orang biasa. Mereka tidak pernah kuliah di Jurusan Bahasa Indonesia, tetapi dapat kita saksikan bersama kemampuan menggunakan bahasa Indonesianya jauh melampui dosen bahasa dan sastra Indonesia di bidang presenter. Bagaimana mereka bisa menjadi demikian hebat. Berlatih, berguru, berani, dan bekerja keras.   
Untuk menjadi seorang presenter, diperlukan penguasaan skill presenter yang dapat dilakukan semua orang dengan cara berlatih.  Andapun yang termasuk skill presenter adalah:
1.     Personal Qualification: kualitas presenter, meliputi keprimaan jasmani, rokhani, berkepribadian udara, suara dan bahasa yang khas (air personality).
a. Keprimaan jasmani diperoleh dengan olah raga, makan sehat dan bergizi, tidak boleh terlalu capek, dan istirahat cukup.
b. Keprimaan rokhani diperoleh dengan menghindari stres, positif thinking, ramah, dan selalu menyenangkan/gembira.
c.  Berkepribadian udara ditumbuhkan dengan belajar memasuki pribadi acara yang dibawakan.
d. Suara rich (empuk, padat, dan bulat) dan pleasing (enak di telinga) diperoleh dengan menjaga kesehatan alat penghasil suara: paru, rongga dada, pita suara, rongga mulut, rongga hidung, lidah, dan gigi.
2. Education Qualification: kualitas  pendidikan  (umum dan khusus/pelatihan)
3. Communication of ideas: berupa  call letters station TV/radio, yaitu menyebutkan identitas acara radio/tv dan mengulangnya untuk menanamkan call letters kepada pendengar. Dapat juga disajikan dalam bentuk rekaman jingle, misalnya Penikmat KDS 8…, Kakang Mbakyu Gita FM …, Mitra pendengar Andalus…., Inilah Radio Republik Indonesia Station regional II Malang, Seputar Indonesia akan kembali hadir sesaat lagi dan seterusnya, Sanggup menceritakan kembali ide-ide dengan kata sendiri, dapat memberi tekanan.
4. Communication of emotion:  Mampu mengekspresikan emosi dalam naskah secara jelas sama dengan ide-ide yang dikandung dalam naskah.
Perhatikan naskah berikut:
Masih ingatkah Anda ketika sebagai gadis kecil. Anda memperhatikan ibu Anda pada suatu petang yang cerah membuat kue lapis yang manis dan lezat? Alangkah senangnya kita melihat adonan  yang siap dimasak. Dan ketika usai masak. Kita melihat warna kue lapis yang menggiurkan. Wangi, empuk, serta em. Rasanya
Naskah tersebut untuk mengawali acara  boga. Contoh lain dari acara yang berbeda dapat dibuka dengan pantun sebagai berikut:
Persaudaraan itu seperti tangan dengan mata
Bila tangan terluka, mata menangis
Bila mata menangis, tangan menghapusnya
Semoga persaudaraan kita seperti tangan dan mata

Seseorang yang pandai menyajikan kualitas emosional akan mampu membawa pendengarnya ke suasana nustalgia yang penuh kerinduan, keceriaan, atau keharuan.
4. Projection personality:  kemampuan memproyeksikan kepribadiannya melalui suara yang khas. Ditandai dengan keaslian suara/tidak dibuat-buat/natural, kesungguhan, kejujuran (sincerity), kepercayaan (believebality), kelincahan (vitality), keramahan (friendliness), dan luwes (adaptable). Berpenampilan menarik , prima, dan berwibawa. Suara yang ulem, hangat, dan ramah, akan dikagumi oleh pendengarnya, meskipun orangnya biasa saja.
Audience umumnya tidak suka presenter yang memproyeksikan  sikap sok tahu (superiority), kejengkelan, ketidaksabaran (irritability), kepalsuan (guile), acuh tak acuh (disinterest), dingin/tidak berwatak, merengek-rengek/mengemis minta dikasihani.
5. Pronnounciation/ pelafalan harus jelas dan bebas dari logat.
Keterampilan-keterampilan di atas semua dapat dilatih oleh siapa pun yang ingin menekuni bidang presenter. Pemodelan presenter dapat diunduh dengan mudah, tinggal bagaimana guru memasukkan dalam pembelajaran.

D.  Bahasa Indonesia untuk Wirausaha
Keberhasilan wirausaha selain ditentukan oleh bekal kewirausahaan seperti keberanian, kemampuan membaca peluang, kedisiplinan (waktu, keuangan, dan managemen), dan kemampuan bekerja keras, juga ditentukan oleh kemampuan mendayagunakan bahasa dalam menjalin komunikasi atau kemahiran berkomu-nikasi. Untuk menjalin hubungan dengan konsumen agar konsumen tetap percaya pada kita, kita harus menggunakan bahasa yang santun, persuasif, dan kontekstual. Bagaimanakah berwirausaha dengan mendayagunakan bahasa? Tentu saja pendayagunaan bahasa harus mempertimbangkan latar budaya yang melingkupi bahasa itu. Itulah sebabnya belajar bahasa juga harus pelajar budaya masyarakat pemakai bahasa. Hal-hal yang berkaitan dengan pendayagunaan bahasa dalam berwirausaha.
1) Dalam berwirausaha menghormati konsumen dan menjamin kepercayaan konsumen adalah modal utama. Oleh karena itu, hormatilah konsumen yang datang pada usaha Anda, misalnya jika konsumen membawa mobil, datangilah sebelum ia turun dari mobil.
2) Hormati konsumen dengan bahasa yang santun dan persuasif. Pilihan kata yang memikat hati konsumen secara kreatif harus selalu diciptakan dan digunakan, misalnya Selamat pagi, Pak! Apa yang bisa kami bantu? Atau dalam bahasa Jawa Sugeng enjang, Pak! Ngersaaken punopo?
3) Jagalah kesantunan dalam berkomunikasi lanjutan untuk berkomunikasi lanjutan untuk menarik konsumen sampai konsumen itu memutuskan untuk membeli produk atau menggunakan jasa Anda. Jika kita mempunyai karyawan, harus kita tanamkan kepada karyawan bahwa kita merasa berhasil jika berhasil “menundukkan” konsumen yang sulit.  Bahkan apabila konsumen memberikan komentar yang negatif, tetap harus kita layani dengan bahasa yang menarik.
4) Apabila sudah terjadi “deal” antara konsumen dengan karyawan, karyawan menghormati konsumen dengan bahasa dan perangkat budaya yang lain, misalnya “Pak, teh, kopi, atau aqua? Kalimat selanjutnya, Mangga Pak kopinipun.
5) Pemilik usaha/karyawan mendayagunakan bahasa untuk menjalin komunikasi yang lebih erat dengan konsumen. Kesantunan dapat bergerak naik-turun sesuai dengan asal konsumen, profesi konsumen, status konsumen, jenis kelamin, topik, dan lain-lain. Di sinilah diperlukan pendayagunaan bahasa secara pragmatik. Konsep santun antara penutur dan mitra tutur yang satu dengan lainnya tentu berbeda. Sebagai contoh, saat pemilik bengkel mengarahkan konsumen yang play boy dapat menggunakan “Mas, lek kaca depan sampeyan kasih kaca film diblok, ndak kelihatan di dalam itu rambutnya panjang atau pendek.” Selanjutnya pemilik bengkel/karyawan dapat menjelaskan secar rasional agar konsumen merasa lebih nyaman apabila kaca depan dipasang kaca film, misalnya ada beberapa keuntungan bila kaca depan dipasang kaca film penuh (1) pada saat panas, kaca film itu dapat mengurangi panas yang masuk ke dalam mobil dan dapat mengurangi silau karena kaca film itu dapat berfungsi seperti kaca mata, (2) kalau terjadi kecelakaan, pecahan kaca depan itu tidak akan mengenai kita karena ditahan kaca film (lengket) ke kaca film.  

E.  Bagaimana Seharusnya Pembelajaran Bahasa Indonesia
Menyadari betapa pentingnya kemahiran berbahasa dalam menunjang dan melakukan wirausaha, pembelajaran bahasa seharusnya dilakukan dengan pendekatan komunikatif dan kontekstual.
Sebenarnya kurikulum pembelajaran bahasa Indonesia sejak 1994 sudah mengarahkan pada kemahiran berkomunikasi dan sesuai dengan konteks dengan berbagai pendekatan yang digunakan seperti pendekatan  komunikatif, tematik, integratif, proses, CBSA, dan kontekstual. Akan tetapi kenyataannya, sampai saat ini masih banyak guru yang belum memahami penggunaan pendekatan tersebut, sehingga pembelajaran bahasa Indonesia masih terjebak pada pembelajaran struktural dan komunikasi dalam konteks yang sangat sempit, yaitu penggunaan bahasa baku. Akibatnya tidak hanya siswa yang takut menuangkan pikiran dan imajinasinya secara kreatif, guru bahasa Indonesia pun juga takut salah jika menulis. Lagi-lagi frame bahasa baku telah membelenggu kreativitas guru dan siswa.
Pendekatan komunikatif pada hakikatnya adalah melatih siswa agar mahir berbahasa untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam berkomunikasi yang sesungguhnya. Sementara ini, pemahaman konteks komunikasi masih diartikan dalam arti yang sempit, sehingga guru tidak berani memberikan peluang kepada siswa atau memberi  contoh kepada siswa untuk menggunakan bahasa dalam konteks yang luas secara kreatif. Pemahaman konteks berkomunikasi seharusnya memberikan peluang kemahiran berkomunikasi dalam berbagai konteks. Di sinilah siswa seharusnya dapat menggunakan bahasa secara kontekstual, misalnya ketika ia berbicara sebagai siswa di dalam kelas, sebagai host panggung hiburan, sebagai humas suatu kegiatan, sebagai MC acara di sekolah, sebagai moderator, sebagai penulis karya ilmiah, sebagai penulis sastra, dan lainya. Berbagai kemahiran berbahasa di atas tentu menuntut kaidah bahasa yang berbeda-beda, bukan hanya kaidah bahasa baku.
Konsep pendekatan komunikatif sebenarnya diadopsi dari Haliday dan Hasan (1985) tentang fungsi bahasa dalam komunikatif, Carrol (1980) tentang communicative performance , serta Widdowson (1983) yang memilah performansi bahasa menjadi dua yaitu language usage dan language use. Language usage adalah performansi bahasa lepas konteks, sedangkan language use adalah performansi bahasa untuk tujuan komunikasi yang berada dalam konteks. Lebih lanjut Canale dan Swain (1983) menyatakan  bahwa kompetensi komunikatif itu ada empat, yaitu kompetensi gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi strategis , dan kompetensi kewacanaan. Dalam pembelajaran bahasa, kompetensi-kompetensi tersebut seharusnya ditanamkan pada siswa dengan cara berlatih secara langsung. Dengan demikian, teori yang dikuasai siswa dapat diterapkan secara langsung oleh siswa secara lebih bermakna bukan lagi hafalan.
Dalam proses komunikasi yang sesungguhnya, di kurikulum bahasa Indonesia sudah diberikan rambu-rambu, seperti kemahiran bercerita, menulis surat, menulis karya ilmiah, menulis puisi, menawar, menolak, menulis iklan, menyampaikan pendapat, memandu acara, dan lain-lain. Kemahiran berbahasa seperti itu memang sangat diperlukan dalam kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu, model-model pembelajaran seharusnya didasarkan pada bahasa yang benar-benar digunakan dan diperlukan dalam proses komunikasi yang sesuangguhnya.  
Dari pendapat-pendapat di atas, sebenarnya pendekatan yang disarankan oleh kurikulum sudah memberikan peluang kepada guru, dosen, mahasiswa, dan siswa untuk mampu secara kreatif menggunakan bahasa dalam berbagai konteks dengan berbagai strategi. Oleh sebab itu, tidak perlu lagi ada ketakutan menun-jukkan dan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi siswa dan mahasiswa untuk mendayagunakan potensi bahasa Indonesia dalam konteks yang lebih luas.
Yang menjadi persoalan, apakah semua kemahiran berbahasa harus dilatihkan di sekolah? Sudahkan kurikulum kita memiliki target yang jelas tentang kompetensi komunikasi yang harus dimiliki siswa dalam setiap jenjang pendidikan sesuai dengan jenis pendidikan yang diikuti oleh siswa. Sudahkah sarana dan sumber belajar yang memadai untuk meningkatkan kompetensi komunikasi siswa? Di sini diperlukan kerjasama yang sinergi antara lembaga perguruan tinggi, terutama yang memiliki Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia,  pengambil kebijakan di bidang pendidikan, lembaga pendidikan, dan masyarakat.
Dengan demikian, terjadi semangat baru untuk menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terhormat, dinamis, strategis, fungsional, dan berwawasan interpreneur. Inilah yang ingin penulis share-kan dalam forum ini. Mencari solusi mendayagunakan bahasa Indonesia dalam wawasan wirausaha dan proses pembelajarannya.

F.   Penutup
Menempatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang besar, dinamis, hidup, dan fungsional adalah menggunakannya dalam berbagai konteks komunikasi yang sesuai dengan kebutuhan hidup. Di era globalisasi informasi dan ekonomi, kewirausahaan menjadi kebutuhan dalam hidup. Oleh karena itu pembelajaran bahasa Indonesia selayaknya juga dirancang agar siswa mampu menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kebutuhan hidup, termasuk mendayagunakan bahasa Indonesia untuk berwirausaha sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing siswa/mahasiswa.

Sumber Rujukan
Adieb, Achmad. "Analisis Penokohan dan Alur pada Novel-novel Indonesia". dalam http://achmadadieb.wordpress.com/

Brown, Thomas. "Writing the Novel û Setting". dalam http://www.suite101.com/
Kurniawan, Eka. "Proses Kreatif: Penulis sebagai si Juru Masak". Dalam http://ekakurniawan.com/
Pasaribu, Truly Almendo. http://pelitaku.sabda.org/proses_kreatif_menulis_novel
Sumadi, 2011. Berwirausaha dengan Bahasa dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

Mahasiswa memecahkan masalah-masalah kebahasaan, kesastraan, dan pembelajarannya dan berwirausaha di bidang bahasa, sastra, dan pengajarannya melalui seminar, sarasehan, talkshow, kuliah tamu, pelatihan, dan bimbingan.
Materi meliput: survei kebutuhan masyarakat di bidang  kebahasaan, kesastraan, dan pembelajarannya, teknik publikasi melalui  seminar, sarasehan, talkshow, kuliah tamu, dan lain-lain, dan praktik publikasi masalah terkini berkaitan dengan kebutuhan masyarakat di bidang  kebahasaan, kesastraan, dan pembelajarannya melalui  seminar, sarasehan, talkshow, kuliah tamu, dan lain.


No comments:

Post a Comment