PEMERINTAH GAGAL MEMBANGUN RASA
NASIONALISME DALAM BERBAGAI BIDANG
Mengapa kenaikan harga BBM tidak
pernah menyejahterakan masyarakat
Oleh: Umi Salamah
Pemerintah gagal membangun rasa nasionalisme di berbagai
bidang. Apalah artinya kita memiliki
kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sangat besar jika tidak
bisa mengelolanya? Pemerintah telah gagal membangun nasionalisme di berbagai
bidang, di antaranya sumber daya Alam, sumber daya manusia, ekonomi,
pendidikan, dan hukum.
Gagalnya pemerintah membangun nasionalisme di bidang
sumber daya alam merupakan penghianatan terhadap amanat Pancasila dan UUD 1945.
Ketergantungan yang tinggi pada investor asing menyebabkan sumber daya alam
yang begitu besar dimiliki negara Indonesia menjadi milik investor asing. Kekayaan
tambang emas, batubara, gas, mutiara, yang begitu besar juga lebih banyak
dikuasai oleh investor asing. Sumber minyak bumi yang sangat banyak dan sangat
tinggi mutunya mestinya sudah dapat menghidupi seluruh bangsa Indonesia apabila
dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri. Pemerintah mestinya berani melakukan
evaluasi kontrak dengan investor asing berdasarkan undang-undang Dasar 1945.
Apabila
Bung Karno berani menolak pinjaman dari Amerika dan Inggris untuk membangun
bangsa Indonesia dengan mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
besar, bisa membangun dengan kekuatan sendiri, karena Indonesia memiliki SDA
dan SDM yang sangat besar. Di sinilah, Bung Karno telah menanamkan jiwa kemandirian
untuk membangun bangsa dan negara yang sejahtera, adil, dan makmur.
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi saat ini. Jangankan melawan Amerika dan Inggris, menghadapi
negara tetangga yang dulu takut dengan Indonesia saja, kini justru Indonesia
yang ketakutan. Hampir semua sumber daya alam dikuasai oleh asing. Sebut saja
kasus kebakaran hutan yang dilakukan oleh pengusaha kelapa sawit di Riau. Dari
12 perusahaan hanya 1 yang dimiliki oleh pribumi, 8 perusahaan milik pengusaha
Malaysia, dan lainnya milik pengusaha asing lainnya. Kondisi ini juga berlaku
di daerah lain seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa tenggara, dan lainnya.
Ironisya, pembakaran hutan yang dilakukan oleh pengusaha Malaysia, penangannya
ditanggung oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah tidak memiliki keberanian
untuk menuntut pengusaha asing. Pemerintah hanya berani menghukum rakyat kecil.
Mentalitas semacam ini juga didukung oleh gagalnya membangun nasionalisme di
bidang hukum. Hukum di Indonesia tidak objektif. Hukum di Indonesia lebih
memihak kepada pengusaha dan pejabat yang memiliki daya suap lebih besar
daripada memihak kepada keadilan. Akibatnya para pejabat dan investor berlomba-lomba
melakukan korupsi dan menggadaikan sumber daya alam untuk memperkaya diri
sendiri dan kelompoknya dari pada untuk kesejahteraan bangsa Indonesia, Mereka
beranggapan bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli.
Kenaikan
harga BBM menyebabkan buruh frustasi dan meningkatnya jumlah masyarakat miskin.
Berbeda
dengan negara tetangga, Singapura, Malaysia, dan Thailand, mereka menetapkan
harga BBM yang lebih tinggi dari Indonesia. Akan tetapi kualitas BBM di negara
tetangga memiliki kualitas yang setara dengan pertamax. Di samping itu pemerintah
negara tetangga bekerja keras menjaga inflasi tetap stabil, nilai kurs mata
uang tetap tinggi, sehingga masyarakat tidak merasa terbebani dan tetap
sejahtera. Berbeda
dengan Arab Saudi dan Kuwait, harga BBM mereka lebih rendah dari Indonesia
karena sangat kaya minyak dan tidak tegantung oleh negara lain.
Bagaimana dengan pemerintah Indonesia?
Indonesia adalah negara
yang sangat kaya minyak tetapi masih tergantung pada negara lain. Kenaikan BBM, diyakini akan membuat
buruh frustasi dan jumlah rakyat miskin meningkat. Hal ini dipicu tidak
seimbangnya upah yang diterima dengan kebutuhan hidup sehari-hari buruh dan
keluarganya. Besarnya upah minimum regional (UMR) yang diterima para buruh tiap
bulannya, tidak menyertakan komponen inflasi seiring kenaikan BBM. Padahal, penetapan besaran UMR tersebut pada
umumnya di bawah nominal hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL). Parahnya
lagi, UMR maupun survei KHL juga dihitung dengan mengacu kebutuhan hidup buruh
lajang, Dengan kata lain tidak menyertakan kebutuhan hidup keluarga buruh yang
sudah berumahtangga. Hal ini akan menyebabkan pendapatan buruh yang sudah
berkeluarga tidak mampu menutupi kebutuhan harian mereka, seiring melonjaknya
harga barang-barang dampak dari kenaikan BBM. Kompensasi berupa BLSM yang hanya
diberikan selama empat bulan perkeluarga tidak membuat perekonomian
masyarakat miskin dan buruh membaik. Sebab nominal BLSM tidak sebanding dengan
tingginya harga kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM. Ini yang akan membuat
buruh dan masyarakat miskin frustasi. Mereka sudah bekerja tapi upah yang
diterima tidak mampu menutup kebutuhan hidupnya dan keluarga. Kondisi ini juga
akan memicu terjadinya penurunan kualitas hidup para buruh dan keluarganya, merosotnya
produktifitas kerja, makin rendahnya kualitas generasi muda, dan meningkatnya
kerawanan sosial. Ini adalah masalah besar yang harus segera ditangani dengan
cepat dan serius.
Mampukan pemerintah bergerak cepat mensikapi persoalan ini. Mampukan
pemerintah menstabilkan harga kebutuhan pokok, terlebih menjelang puasa dan
Idul Fitri tahun ini. Pemerintah seharusnya mengantisipasi dengan menyiapkan
perangkat analisis dampak kenaikan harga BBM sebelum menaikkan harga BBM agar besar
itu tidak terjadi.
Menggugat Kenaikan harga BBM. Kita harus memilih antara tetap diam namun mati atau bersatu untuk bertahan hidup dengan membangun masyarakat politis (societe civile). Menurut Rousseau, kekuasaan bukan milik orang tertentu, melainkan milik seluruh masyarakat/warga negara. Dengan demikian, warga negara memiliki kewajiban untuk mempertahankan dan melindungi pribadi dan hak miliknya. Menurut analisis Adhyepanritalopi, masyarakat dapat melakukan gugatan kepada pemerintah atas kenaikan harga BBM dengan dasar: Pertama; Bahwa pemerintah dalam hal ini Presiden, Menteri Keuangan, dan Menteri ESDM terbukti tidak konsisten dalam menetapan harga BBM. Ketidakkonsistenan Pemerintah terbukti dengan tetap menggunakan konten pasal 28 ayat 3 UU Nomer 22 Tahun 2001 sebagaimana ditetapkan pada APBNP 2013 jelas bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi No 002/PUU-I/2003, yang telah mencabut ketentuan tentang penetapan harga pasar tentang migas. Kedua; pemerintah seharusnya menetapkan harga BBM berdasarkan metode Harga Pokok Penjualan. Tindakan pemerintah dalam penetapan harga BBM yang berpatokan pada harga minyak di pasar internasional adalah inkonstitusional yang mengarah pada tindakan perbuatan melawan hukum, karena bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana ditegaskan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi pada 21 Desember 2004. Ketiga; bahwa penetapan harga BBM berdasar boarder price (pasar internasional) dapat mematikan daya saing industri dalam negeri karena keunggulan komparasi berupa sumur dan kilang minyak diabaikan dan tidak diposisikan sebagai keunggulan komparasi dalam persaingan pasar global. Keempat; bahwa penetapan harga bahan bakar berupa premium yang dilakukan oleh Pemerintah berdasar pasar internasional ini mengacu pada harga rata-rata produk minyak di bursa Singapura (MOPS). Sementara mutu BBM tidak mengacu pada standar MOPS. Kelima; bahwa bensin di Bursa Singapura (MOPS) yang dijadikan acuan penetapan harga premium memiliki nilai Research Octane Number (RON) 88 yang tidak lolos digunakan untuk kendaraan berstandar. Beberapa penelitian menunjukkan premium RON 88 pernah menyebabkan fuel pump (pompa bahan bakar) ribuan mobil rusak, busi sepeda motor rusak, dan pencemaran udara. Di Indonesia memproduksi dan memasarkan premium yang mengandung Fe adalah pidana karena melanggar spesifikasi BBM yang ditetapkan Dirjen MIGAS dan melanggar UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Keenam; bahwa Premium RON 88 pada akhirnya akan dibeli rakyat dengan harga mahal sesuai harga bensin di Bursa Singapura, padahal kenyataannya BBM jenis ini tidak bemutu. Hal ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi dari pemerintah selama ini tidak ditujukan untuk rakyat melainkan semata-mata untuk mendongkrak profit margin PT Pertamina. Ketujuh; bahwa di dalam penetapan harga BBM, Pemerintah dan Pertamina terkesan menutup-nutupi menggunakan acuan harga BBM. Hal ini bertentangan dengan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kedelapan; bahwa jika pemerintah berniat mengambil kebijakan menaikkan harga BBM, pemerintah harus meningkatkan mutu BBM lebih dulu. Kalau hal ini sudah terpenuhi, barulah dilakukan penyesuaian harga sesuai dengan peningkatan mutu. Jika memaksakan menaikkan harga BBM dengan mutu yang ada, itu berarti manipulasi dan menzolimi warga negara/rakyat. Pada akhirnya penulis pun beranggapan bahwa ke-8 poin di atas sudah cukup untuk dijadikan alasan untuk mengugat pemerintah terkait kebijakan menaikkan harga BBM. Langkah ini diambil selain sebagai upaya “perlawanan” atas kebijakan semena-mena dari pemerintah, juga menjadikan “pembelajaran” kepada pemerintah agar hati-hati setiap kali mengambil keputusan.
Ka. Prodi PBSI IKIP
Budi Utomo Malang dan Dosen Universitas Brawijaya,
Aktivis sosial dan politik
No comments:
Post a Comment