Saturday, July 13, 2013

Pendidikan Neopatrionalisme





PENDIDIKAN NEOPATRIONALISME
Oleh: Umi Salamah

Membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme tidak harus dengan “kekerasan”.
Menang atau bisa bertahan dalam medan perang sangat tergantung pada strategi yang dimainkan. “Perang” terbesar saat ini adalah melawan hegemoni kapitalis dalam berbagai bidang yang merupakan perwujudan dari neoimperialis. Cara yang dilakukan oleh para teroris dengan bom bunuh diri atau mengebom yang dilakukan atas nama melawan kapitalis merupakan tindakan “konyol” dan sia-sia.  Image “bodoh” dan “jahat” akan menempel pada pelaku pengeboman dan kelompoknya. Yang lebih fatal jika asal negara pengebom juga dijuluki sebagai negara teroris. Lebih fatal lagi apabila pelabelan tersebut diperlakukan bagi seluruh masyarakat dari negara yang disebut sebagai asal “teroris”. Seharusnya perang kecerdasan harus dilawan dengan kecerdasan, pencitraan dilawan dengan pencitraan, difusi kebudayaan harus dilawan dengan kekuatan kebudayaan sendiri. 

 
Diperlukan Pendidikan yang berbasis kebudayaan Indonesia 
Di bidang pendidikan, Ki Hajar Dewantoro berhasil menancapkan pilar pendidikan yang sangat kuat melalui filosofi dan strategi pendidikan berbasis kebudayaan. Pilar-pilar tersebut sangat kokoh, sesuai dengan karakter dan kebudayaan bangsa Indonesia, serta fleksibel sepanjang zaman. Pilar “Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, dan tutwuri handayani”  serta “Asah asih asuh” adalah warisan kebudayaan yang sudah terbukti kehandalannya dalam membentuk karakter bangsa yang patriotis dan nasionalis dalam segala bidang. Pilar-pilar ini berhasil karena didukung oleh kebijakan politik pemerintah zaman itu. Moralitas anak-anak pada saat itu benar-benar menghargai orang tua, dan guru, agama dan ilmu, dan bangga terhadap bangsa dan negaranya. Keinginan untuk memajukan bangsa merupakan cita-cita setiap anak bangsa.
Ironis, warisan budaya yang begitu adiluhung itu kini seakan lenyap di telan masa. Para pengambil kebijakan pendidikan cenderung lebih suka mengimpor model pendidikan dari asing yang belum tentu cocok dengan kondisi di negeri ini. Pendidikan berbasis “nano-nano” dan berbau kapitalis ini tidak membentuk karakter anak menjadi lebih baik. Akibatnya, perilaku anak jauh dari fondamen kebudayaan bangsa Indonesia. Sikap sopan-santun/tata-krama bergeser menjadi ‘urakan’ dan ‘sok jagoan’, mentalitas kerja keras bergeser menjadi kemalasan dan untung-untungan, suka menolong dan gotong royong bergeser menjadi egois dan suka berkelahi, sikap produktif bergeser hedonis dan konsumtif, sikap optimisbergeser menjadi psimis. 
Untuk mengembalikan kepada pendidikan yang berbasis kebudayaan kita harus berani bersikap teguh dan kokoh pada kebudayaan sendiri. Pendidikan harus kembali pada basis kebudayaan yaitu Pansacila dan UUD 1945. Model pendidikan kita juga harus diambil dari pilar yang berbasis kebudayaan sendiri. Guru, kepala sekolah, dan orang tua harus bisa menjadi model bagi pembentukan sikap pada anak. Apalagi tokoh-tokoh dan pemimpin harus bisa memberikan tauladan yang baik dan bersikap konsisten terhadap nilai-nilai kebudayaan bangsa yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945.
Pendidikan Indonesia seharusnya adalah pendidikan yang mampu menjawab problema-problema dan tantangan masyarakat Indonesia, bukan pendidikan yang berorientasi pada teori kapitalis. Pendidikan harus bertolak dari hasil riset masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang. Misalnya di bidang pertanian seharusnya kita lebih maju daripada negara-negara tetangga, karena kita memiliki lahan yang sangat luas, varietas tanaman yang sangat banyak, dan sarjana pertanian yang lebih dari cukup baik dari kuantitas maupun kualitas. Di bidang kelautan, seharusnya negara kita juga lebih maju dari negara lain. Nenek moyang kita yang dikenal sebagai “pelaut” telah memberikan tauladan keberanian dan kecanggihan teknologi pada zamannya. Mereka berani mengarungi samodra dengan kapal yang diciptakan sendiri. “Kemandirian” dan “keberanian” merupakan model dari pendiri negara kita yang berbasis kebudayaan. Negara kita seharusnya menjadi pelopor di bidang pertanian dan kelautan. Sangat ironis jika masalah “bawang putih, bawang merah, cabe, gula, daging, dan beras” kita masih mengimpor dari negara tetangga.
            Media pembelajaran dan tontonan yang ditayangkan dalam berbagai media masa sudah saatnya dikontrol. Kita harus memiliki media dan tontonan anak yang berbasis pada hasil kebudayaan sendiri, yang merupakan hasil riset nilai-nilai kearifan lokal dari dongeng sendiri dan visioner tokoh Indonesia yang telah sukses di dalam maupun di luar negeri. Untuk menumbuhkan sikap optimis, penayangan keberhasilan dan penghargaan anak-anak bangsa harus mendapat porsi yang lebih besar dari gossip, kekerasan, mistis, dan kenakalan remaja.

Bercermin pada Tokoh-tokoh Besar melawan neoimperialis
Telah banyak tokoh besar bangsa Indonesia yang memberikan tauladan membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme dalam berbagai bidang tanpa kekerasan. Mereka berhasil apabila mendapat dukungan dari masyarakat. Sebut saja Bung Karno dengan keberanian dan kepiawaian melawan hegemoni politik dan kebudayaan kapitalis. Kecerdasan dan kepiawaian Bung Karno dalam menegosiasi dan melobi dunia mendapat dukungan yang sangat besar dari seluruh bangsa bahkan di seluruh dunia. Strategi itulah yang berhasil mengantar Indonesia mencapai kemerdekaan dan keharuman putra-putri bangsa Indonesia sebagai anak revolusi. Putra-putri yang penuh rasa percaya diri dan bangga sebagai anak Indonesia di kancah dunia.
Di bidang teknologi, Habibie dengan penguasaan teknologi berhasil menakhlukkan teknologi penerbangan dan kereta api dunia. Namanya membawa harum bangsa Indonesia di kancah dunia. Di bidang perdagangan, Chairul Tanjung, Aburizal Bakrie, Rachmad Gobel, Sukamdani Sahid Gito Sardjono, dan lainnya dengan strategi bisnisnya mampu bersaing di kancah bisnis global. dan masih banyak anak bangsa yang patut diteladani dan dicontoh serta menjadi inspirasi positif dengan semangat optimis dapat membawa kemajuan bangsa dan negara ini. Di bidang teknologi informatika, sebenarnya bangsa Indonesia tidak kekurangan ahli. Banyak potensi mahasiswa dan siswa yang belum terakomodasi secara maksimal oleh sistem kebijakan pemerintah. Akibatnya Indonesia belum mampu mengkaunter derasnya pencitraan yang dihembuskan oleh negara-negara kapitalis. Apa yang salah dengan negeri kita ini?
Hegemoni kapitalis di negeri ini telah merasuk ke dalam pembuluh darah sebagian besar bangsa ini dalam berbagai bidang. Bahkan telah merobek hati dan akal sehat sebagian bangsa ini. Rendahnya kualitas hidup sebagian besar rakyat menyebabkan menurunnya kualitas mental dan moral bangsa. Rasa kurang percaya diri dan bermental budak telah menggerogoti mentalitas sebagian besar rakyat kecil, sementara budaya korupsi dan bermental koloni telah memanjakan para pejabat dan sebagian besar birokrat negeri ini. Ini merupakan imbas dari telah dibukannya kran kapitalis modern di Indonesia secara besar-besaran di bidang pertambangan, industri raksasa, dan jaringan perdagangan kapitalis.
Akibatnya masyarakat kita saat ini cenderung represif dan terbius oleh kediaman. Keadaan seperti ini membuat kreativitas dan produktivitas anak bangsa lumpuh, sehingga banyak orang yang lari dari idealism demi kedudukan di tengah masyarakat. Meskipun dalam masyarakat kita terjadi kepincangan-kepincangan, penyelewengan, dan penyimpangan sosial sudah dianggap sebagai hal yang lumrah dan layak terjadi. Bagaimana tidak? Sebagaian besar bangsa ini telah lama dininabobokan dengan budaya hedonis, pragmatis, dan konsumtif. Bersenang-senang dengan jalan pintas, bekerja dengan jalan pintas, belajar dengan jalan pintas, memperoleh jabatan juga dengan jalan pintas telah menjadi trend yang dilakukan oleh sebagian besar bangsa ini. Mulai dari rakyat kecil sampai dengan pejabat tinggi. Sikap ini menyebabkan kebiasaan untuk tidak kritis, apatis, dan terkungkung dalam masyarakat yang tidak rasional (mistis).  Apakah karakter bangsa ini sudah demikian jauh dari kebudayaan yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945? Ironisnya hanya orang-orang tertentu yang menyadarinya.


Diperlukan pemimpin visioner dan bermental neopatrionalisme dalam Melawan Kapitalis
Penguasaan media oleh kapitalis menjadikan bangsa ini tidak berdaya dan krisis rasa percaya diri. Media memiliki peranan yang sangat penting dalam membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme. Namun media juga berperan besar dalam menghancurkan semangat tersebut. Pemberitaan dan penayangan acara yang tidak seimbang antara prestasi dan dedikasi yang diperoleh bangsa dengan penyimpangan-peyimpangan moral memberikan dampak yang sangat fatal bagi masyarakat dan generasi muda. Penayangan penyimpangan moral, seperti korupsi, manipulasi, perselingkuhan, perdukunan, perkelahian, kecurangan, secara berulang-ulang justru memberikan dampak buruk berupa sikap apatis terhadap keberadaan dan kemajuan bangsa dan negara.
Apalah artinya pencanangan pendidikan berbasis pendidikan karakter apabila tidak didukung oleh tayangan media dan kebijakan pemerintah yang tidak berbasis kebudayaan sendiri. Sebagian besar media di negeri kita sudah dikuasai oleh kapitalis untuk tujuan melanggengkan keberadaan kapitalis. Siapa yang berwewenang mengatur?  Diperlukan pemimpin yang visioner dan bermental neopatrionalis. Pemimpin yang visioner dan bermental neopatrionalis akan selalu mendukung dan memberikan peluang seluas-luasnya kepada rakyat untuk eksis dan memajukan bangsanya. Pemimpin yang berpegang teguh pada dasar negara dan konstitusi negara akan selalu membela hak dan berpihak pada kemakmuran, keadilan, harkat, dan martabat bangsa dan negaranya. Pemimpin yang tanggap terhadap problema dan tantangan masyarakat bangsa dan negara selalu melihat permasalahan dan kebutuhan rakyatnya sebagai bahan kajian peningkatan kualitas pendidikan, teknologi, dan ilmu pengetahuan di negaranya. Pemimpin yang dapat menjadi contoh patrionalis bagi rakyatnya adalah pemimpin yang teguh pendirian dan konsisten melaksanakan dasar negara dan konstitusi negara serta berani melawan kebijakan kapitalis yang tidak sesuai dengan dasar negara dan konstitusi negaranya.

Kaprodi PBSI IKIP Budi Utomo Malang dan Dosen Universitas Brawijaya Malang


No comments:

Post a Comment