PERKEMBANGAN TEORI FEMINISME
Oleh Umi Salamah
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Feminisme ialah studi tentang
perlawanan terhadap pembagian kerja yang menetapkan kaum laki-laki sebagai yang
berkuasa dalam ranah publik, seperti dalam pekerjaan, olahraga, perang, dan
pemerintahan, sementara kaum perempuan hanya menjadi pekerja tanpa upah di
rumah, dan memikul seluruh beban kehidupan keluarga.
Pada mulanya, feminismemerupakan sebuah gerakan perempuan
yang menuntutemansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme dipengaruhi
oleh beberapa bidang, yakni: sosial, budaya, pergerakan politik,ekonomi,
teori-teori, dan filosofi moral. Kaum feminis disatukan oleh pemikiran bahwa
wanita di masyarakat memiliki kedudukan yang berbeda dengan priadan bahwa
masyarakat terstruktur atas kepentingan kaum pria, merupakan kerugian bagi
wanita (Suharto: 2002:17).
Sebelum bangkitnya feminisme,
sejarah memberikan banyak contoh tentang para perempuan yang memiliki
kekuasaan, keberanian, dan bakat yang luar biasa. Perempuan-perempuan yang
dimaksud dikenal sebagai kaisar, ratu terkenal, pejuang-pejuang yang gagah
berani, orang-orang suci, ilmuwan, penyair-penyair, dan seiman-seniman. Banyak
contoh mengenai perempuan-perempuan tangguh pada zaman dahulu, seperti Sapphopenyair besar pada masa Yunani Kuno,
650 Sebelum Masehi; Boadicea
prajurit ratu yang menantang
pendudukan Roma pada 61 Sebelum Masehi, Murasaki Shikibu (978-1026) pengarang novel panjang
pertama dari Jepang berjudul The Tale of
Genji, Joan of
Arc (1412-1431) pejuang Perancis dan
pelantik raja yang dieksekusi pada usia19 tahun, Ratu Elizabeth II (1533-1603) penguasa besar kerajaan
Inggris yang menginspirasi renaisans Inggris, atau Kaisar Catherina (1726-1796)
perempuan Jerman yang memerintah Rusia selama 35 tahun, seorang penguasa yang
tercerahkan dan pembaharu http://teorisastera.blogspot.com/2009/11/teorifeminisme.
html.
Teori feminis berusaha menganalisis
berbagai kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan dan berusaha
menyelidiki beragam pemahaman kultural mengenai makna menjadi perempuan.Awalnya
teori feminis diarahkan untuk tujuan politis oleh Gerakan Perempuan, yakni
kebutuhan untuk memahami subordinasi perempuan dan marjinalisasi perempuan
dalam berbagai wilayah kultural dan sosial.Kaum feminis menolak pandangan bahwa
ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan bersifat alamiah dan tidak
terelakkan. Mereka bersikeras bahwa ketidaksetaraan tersebut harus dijelaskan
dan dicarikan pemecahannya.
Gerakan perempuan secara perlahan
tumbuh menjadi suatu kekuatan politik yang besar, menyebar ke seluruh Eropa dan
Amerika Utara. Ada tiga gelombang atau tiga tahap dalam gerakan perempuan;
gelombang pertama, gelombang kedua, dan gelombang ketiga. Dalam makalah ini
akan dijelaskan paparan mengenai ketiga gelombang gerakan feminisme yang dilengkapi dengan tokoh, pendapat,
dan teori yang dilahirkan dari masing-masing gelombang, dan macam-macam teori feminisme.
Dalam makalah ini akan dibahas state of the art dari teori feminisme yang
mencakup tiga gelombang dimulai dari perjalanan pandangan para tokoh/teoretisi
feminis gelombang pertama, gelombang kedua dan gelombang ketiga.
B. Tiga
masalah dirumuskan berikut ini:
1. Bagaimanakan pandangan teori para
tokoh feminisme gelombang pertama?
2. Bagaimanakan pandangan teori para
tokoh feminisme gelombang kedua?
3. Bagaimanakah pandangan teori para
tokoh feminisme gelombang ketiga?
C. Tujuan
Tujuan pembahasan makalah ini dirumuskan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan teori
para tokoh feminisme gelombang pertama.
2. Untuk mengetahui pandangan teori
para tokoh feminisme gelombang kedua.
3. Untuk mengetahui pandangan teoripara
tokoh feminisme gelombang ketiga.
BAB II: PEMBAHASAN TEORI FEMINIS
GELOMBANG PERTAMA (ABAD 18-19)
Terdapat tiga gelombang atau tiga
tahap dalam gerakan perempuan/ feminis-me, yaitu gelombang pertama yang dimulai
abad ke-18 hingga abad ke-19; gelom-bang kedua dimulai abad ke- 20; dan
gelombang ketiga dimulai pada akhir abad ke-20—hingga sekarang.
Pandangan tokoh feminisme Gelombang
Pertama (Abad ke-18—19) diawali dengan pandangan yang menyangkut persamaan hak
antara wanita dan pria, yakni persamaan sebagai penduduk dalam kehidupan publik
yang berhubungan dengan persamaan status legal dalam rumah tangga. Ide ini
timbul sebagai respon dari revolusi Amerika (1775- 1783) dan revolusi Perancis
(1789-1799). Kedua revolusi tersebut sama-sama mendukung nilai-nilai kebebasan
dan kesamaan hak. (http://
id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20071028222834AAQc1nU)
Feminisme sebagai filsafat dan
gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahiran era Pencerahan di Eropa yang
dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan
masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah
kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir
menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit
putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan
universal sisterhood. (Thornham, 2010:39—40)
Pada awalnya gerakan ini memang
diperlukan pada masa itu, yakni terdapatnya masa-masa pemasungan terhadap
kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan
(feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum
laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki. Dalam
bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum
ini biasanya memang lebih inferior dibanding kaum laki-laki, terlebih pada
masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum
laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini
mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan
terjadinya Revolusi Perancis di abad XVIII yang gemanya kemudian melanda
Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Dari latar belakang itulah di Eropa
berkembang gerakan untuk menaikkan derajat kaum perempuan tetapi gaungnya
kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan
politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat (http://id.answers.
yahoo.com/question/index?qid=20071028222834AAQc1nU).
Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft
membuat karya tulis berjudul Vindication
of the Right of Woman yang isinya meletakkan dasar prinsip-prinsip
feminisme. Dalam karya tulis ini, dia menuntut persamaan dan edukasi yang lebih
baik untuk wanita dan menciptakan kritik terhadap sistem sosial yang menurunkan
wanita ke posisi orang bawahan. Pada awal abad ke-19, grup-grup kecil wanita
kelas menengah di Inggris mulai menyuarakan edukasi yang lebih baik, hak-hak
legal yang berkembang (terutama dalam
pernikahan), kesempatan kerja, dan hak pilih.
Tokoh-tokoh Feminisme Gelombang
Pertama, Mary Wollstonecraft yang menulis karya dokumen pertama tentang
feminisme, A Vindication of the Rights of
Women, pada tahun 1792 (Sanders, 2010:20). Pro dan konta terhadap buku ini menimbulkan
reaksi, baik positif maupun negatif. Reaksi negative dimunculkan oleh suami Wollstonecraft
dalam bukunya yang berjudul l Memoirs
(1798). Dalam buku tersebut dijelaskan
perilaku moralitas yang diperjuangkan dalam A
Vindication of the Rights of Women inkonsistensi dengan hidup Mary
Wollstonecraft yang digambarkan sebagai
pribadi tidak bermoral.
Reaksi positif terhadap buku A Vindication of the Rights of Women
disampaikan oleh Hannah More tentang
pendidikan bagi perempuan Sarah Ellis yang menulis buku Women of England (1839), The
Mother of England (1842), dan The
Doughters England. Ketiga buku tersebut menambahkan semangat keagamaan yang
mengombinasikan patriotisme dengan dedikasi untuk keluarga bagi para perempuan
(Sanders, 2010:20). Kedua tokoh tersebut sama-sama memperjuangkan perempuan kelas
menengah setara dengan laki-laki dari segi pendidikan, moralitas, dan hak pilih.
ApabilaWollstonecraft masih berbicara tentang teori, maka Ellis sudah
menulisnya dalam bentuk buku panduan perilaku perempuan dan menambahkan muatan
agama dalam buku panduannya.
Di Amerika, aktivisme feminis
dimulai menjelang konvensi Seneca Falls
tahun 1848 yang menuntut penghentian seluruh diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin. Tahun 1850-an merupakan kebangkitan aktivitas feminis dan menjadi dekade
paling penting di era Viktoria. Pada tahun 1956, salah satu anggota Langham Place Londdon bernama Barbara
Leigh Smith yang kemudian dikenal dengan Bodichon menulis buku yang
memperjuangkan hak bekerja bagi para perempuan yang berjudul Women and Work yang dipersiapkan kepada para
perempuan agar mampu mencapai peran selain sebagai istri atau ibu, karena pada
saat itu, perempuan sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Di akhir
perjuangan feminis gelombang I, tokoh yang berpengaruh adalah Sarah Grimke dari
Amerika dengan bukunya Letters on the
Equality of the Sexes (1945) dan Margaret Fuller dari Inggris dengan
bukunya Women in the Nineteenth Century
(1945) (Sanders, 2010:29). Perbedaan penting antara teori feminis Inggris dan
Amerika pada gelombang pertama terletak pada pemenuhan hak suara perempuan.
Apabila di Amerika dewan legislatif dapat mengubah undang-undang tanpa campur
tangan pemerintah pusat, sehingga perempuan sudah memiliki hak pilih pada tahun
1869 dan 1870, sedangkan di Inggris perempuan belum diberi hak suara hingga
tahun 1920. Persamaannya, baik di Amerika maupun di Inggris kampanye-kampanye
feminis berkembang dalam berbagai tingkat yang berbeda dengan tema mengusung
pembaharuan yang sama.
Sampai akhir abad ke-19, kata feminis dan
feminisme belum digunakan. Feminisme Gelombang Pertama ditandai dengan
dikreasikannya kata feminisme oleh aktivis sosial utopis, yaitu Charles Fourier
pada tahun 1837, dan berkembangnya pergerakan center Eropa yang berpindah ke Amerika sejak ada publikasi dari
John Stuart Mill, the Subjection of Women
(1869), yang isinya sebagian diinspirasi oleh istrinya yaitu Harriet Taylor. (http://id.answers.yahoo.com/question/index?
qid=20071028222834AAQc1nU)
Secara umum pada gelombang pertama
dan kedua hal-hal yang menjadi momentum perjuangannya adalah: gender inequality, hak-hak perempuan, hak
reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas.
Gerakan feminisme gelombang pertama adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme,
penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.
Teori feminisme yang dilahirkan oleh feminisme pada gelombang pertama, yaitu (1) feminism Liberal, (3) feminism
Radikal, dan (3) feminism Marxis, dan (4) feminisme Sosialis/sosial.
Masing-masing teori dijelaskan sebagai berikut:
1. Feminisme Liberal
Feminisme Liberal ialah pandangan yang
menempatkan perempuan sebagai individu yang memiliki kebebasan penuh. Aliran
ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan
pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia menurut mereka mempunyai
kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada
perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan disebabkan
oleh kesalahan perempuan sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar
mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan mempunyai
kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis liberal merupakan salah satu arus utama teori
sosial dan politik feminis yang mempunyai sejarah jangka waktu yang paling lama
(Humm (2001:250) menggambarkan perempuan sebagai agen rasional yang
inferioritasnya disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Feminisme liberal
kontemporer menyepakati optimisme bahwa akar
dari penindasan perempuan terletak pada ada tidaknya hak sipil dan peluang
pendidikan yang sama. Inti keyakinan feminis liberal adalah pandangan
bahwa kehidupan pribadi seseorang tidak
harus menjadi objek peraturan masyarakat. Feminisme liberal mendukung pemenuhan
individu yang terbebas dari keterbatasan peran seks dan mendukung hak-hak
perempuan dalam hal kebutuhan, kesejahteraan, pendidikan universal, dan layanan
kesehatan, misalnya dengan cara mengkritik praktek ketenagakerjaan yang tidak
fair daripada menyerang institusinya secara keseluruhan.
Selanjutnya menurut Elshtain (Humm, 2002:250—251),
feminisme liberal mereduksi (mengurangi) nilai motivasi manusia menjadi sekedar
utilitarian (bermanfaat untuk kepentingan diri). Dasar pemikiran kelompok feminis liberal yakni semua manusia, laki-laki
dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi, yang seharusnya tidak terjadi
penindasan antara satu dengan lainnya. Kelompok ini diinspirasi oleh prinsip-prinsip
pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususnan
sendiri. Secara ontologis, keduanya sama, hak laki-laki dengan sendirinya juga
menjadi hak-hak perempuan. Kelompok
ini tetap menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan.
Kelompok
ini termasuk paling moderat yang membenarkan perempuan bekerja bersama
laki-laki, yang menghendaki agar perempuan dintegrasikan secara total di dalam
semua peran termasuk bekerja di rumah dan di luar rumah (sosial, ekonomi,
pendidikan, kesehatan, dan politik). Dengan demikian tidak ada lagi suatu
kelompok jenis kelamin yang lebih dominan.
Berhubungan dengan organ reproduksi bukan merupakan
penghalang terhadap peran-peran perempuan.
Pemikiran kelompok feminis
liberal muncul sebagai kritik terhadap
teori politik liberal yang umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi,
persamaan, nilai moral, dan kebebasan individu. Akan tetapi pada saat yang sama
dianggap mendeskriminasikan perempuan. Masalah perempuan tidak dilihat dari
struktur dan sistem sebagai pokok persoalan. Asumsi feminis liberal berakar
pada pandangan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan
pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja kelompok feminis
liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada hak-hak
mendapatkan kesempatan, hak yang sama bagi setiap individu, termasuk hukum bagi
perempuan (Suharto,2002:81).
Usulan
aliran ini untuk memecahkan masalah kaum perempuan dengan cara menyiapkan kaum
perempuan agar bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas. Kelompok
feminis liberal tidak pernah
mempertanyakan diskriminasi akibat patriarkhi sebagaimana dipersoalkan oleh
feminisme radikal dan sosial. Ide feminis liberal muncul sejak akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20, namun baru berkembang tahun 1960-an. Salah satu pengaruh feminis liberal
ini terekspresi dalam teori modernisasi dalam program global yang dikenal WID
(perempuan dalam pembangunan).
Feminisme liberal berusaha
untuk menyadarkan wanita bahwa wanita adalah golongan tertindas. Budaya
masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan
individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring
keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung pada kaum laki-laki.
Akar teori ini bertumpu
pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional,
kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama dengan
laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias
gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan
mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan
kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20
organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual
di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia,
reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi
perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
2. Feminis Radikal
Kelompok feminisme radikal berpandangan bahwa penindasan
perempuan berasal dari penempatan perempuan dalam kelas inferior dibandingan
dengan laki-laki dengan menggunakan basis perempuan. Feminisme radikal
bertujuan menghancurkan sistem kelas jenis kelamin. Ia memfokuskan pada akar
dominasi laki-laki dan klaim laki-laki bahwa semua bentuk penindasan adalah
perpanjangan dari supremasi
(keunggulan ) pada laki-laki. Patriarkhi adalah karakteristik yang ada dalam
masyarakat, ia berkeyakinan bahwa persoalan politik dan keterpusatan pada
perempuan bisa menjadi basis masyarakat di masa depan (Einstein dalam Humm,
2002:383-384).
Menurut Atkinson (Humm 2002:384), sistem penindasan peran
laki-laki terhadap perempuan secara politik merupakan model asli dari semua
penindasan. Salah satu tema utama dalam tulisan feminis radikal yakni oposisi
politik pada kelompok kiri, yang melibatkan perempuan sebagai seksisme. Menurut
Morgan (Humm, 2002:385-386), seksisme adalah akar atau penindasan radikal,
aliran ini menawarkan model analisis yang secara mendasar berbeda dengan
marxisme. Perhatian bersama mereka (aliran feminis radikal) terhadap psikologis
perempuan, menyatakan bahwa teori sebelumnya gagal untuk menganalisis dominasi
terhadap perempuan sebagai bentuk psikososial. Sementara itu, aliran feminis
radikal memberikan sumbangan terhadap teori feminisme dalam beberapa hal
berbeda, yakni: (1) menciptakan konsep budaya perempuan, suatu konsep yang
analog dengan libertarianisme
(kebebasan untuk membangun model-model masyarakat utopis dan (2) mengungkapkan bahwa maskulin yang tersembunyi dalam
kerangka konseptual dari berbagai pengetahuan tradisional dan dualisme
yakni penggunaan teori politik tradisional untuk menjustifikasi subordinasi perempuan. Mereka bekerja untuk
memperjelas ketidaktampakan dengan membawa pada focus struktur perempuan pada masyarakat.
Kaum feminis radikal mengungkapkan bahwa struktur masyarakat
berlandaskan pada relasi hirarkis berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki sebagai
suatu kategori sosial mendominasi kaum perempuan sebagai kategori sosial yang
lain, karena kaum laki-laki diuntungkan dengan adanya subordinasi perempuan.
Menurut aliran feminis radikal, dominasi laki-laki itu merupakan model
konsteptual yang biasa menjelaskan berbagai bentuk penindasan yang lain.
Kaum feminis radikal menyoroti dua konsep utama, yaitu patriarkhi dan seksualitas. Bagi kaum
radikal, ideologi patriarkhi mendefinisikan perempuan sebagai kategori sosial
yang fungsi khususnya untuk memuaskan dorongan seksual kaum laki-laki, untuk
melahirkan, dan mengasuh anak. Garis patriarkhi tidak hanya memaksa kaum
perempuan menjadi ibu mereka (anak-anak). Ideologi patriarkhi yang mengobjekan
seksualitas perempuan tampak dalam wujud kekerasan seksual yang muncul
sehari-hari dengan gejala pemerkosaan, pornografi, iklan seksual, seni
kapitalis, dan pornoaksi.
Beberapa feminis radikal memuja atribut biologis
perempuan sebagai sumber keunggulan daripada inferioritas (kerendahan) (Selden, 1996:137). Pada umumnya kaum
feminis radikal menganut pandangan bahwa para perempuan telah dicuci otaknya
oleh tipe ideologi patriarkhi, yang menghasilkan gambaran stereotipe lelaki yang kuat dan perempuan yang lemah (Selden,
1996:138). Pada permualaan abad ke-19, aliran ini mengangkat isu besar
menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti patriarkhi
yang dinilai merugikan perempuan, karena term ini jelas-jelas menguntungkan
laki-laki. Lebih dari itu, di antara kaum feminis radikal ada yang lebih
ekstrem, tidak hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki, tetapi persamaan
seks dalam arti kepuasan seksual juga bisa diperoleh dari sesama perempuan,
sehingga mentolelir (memaklumi) praktek lesbian (Suharto, 2002:66-67).
Menurutnya, perempuan tidak harus tergantung pada laki-laki dalam hal pemenuhan
kepuasan kebendaan dan kepuasan seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan,
kemesraan, dan kepuasan seksual kepada sesama perempuan, kepuasan seksual dari
laki-laki hanya merupakan masalah psikologis. Melalui berbagai latihan dan
pembiasaan kepuasan ini dapat terpenuhi dari sesama perempuan (Suharto,
2001:67)
Berdasarkan pemikiran itulah, Ramazanoglu (Suharto,
2002:66-67), mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan mengungkapkan
fakta bahwa laki-laki merupakan masalah bagi perempuan. Laki-laki selalu
mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan dengan berbagai dalih/argumen.
Ketertindasan perempuan berlangsung cukup lama dan dinilai sebagai bentuk
penindasan yang sangat panjang di belahan dunia. Penindasan ras, perbudakan,
dan warna kulit dapat segera dihentikan dengan resolusi (peraturan),
tetapi pemerasan secara seksual sangat
susah dihentikan, dan diperlukan gerakan yang lebih medasar agar mendapatkan
hasil yang maksimal.
Menurut Brownmiller (Fakih, 2001:64) para penganut
feminis radikal muncul sebagai reaksi kultur sexism (yang merendahkan perempuan) di Barat pada tahun 60-an,
khususnya dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi. Hal ini dipertegas
Jaggar (Fakih,2001:85) para penganut feminis radikal tidak melihat adanya
perbedaan antara tujuan unsur-unsur seksual individu dan politik. Menurut
aliran ini penyebab penindasan terhadap perempuan adalah akar dari jenis
laki-laki beserta ideologi patriarkhinya. Dengan demikian laki-laki secara
biologis maupun politis merupakan bagian dari permasalahan. Berdasarkan hal
tersebut, aliran feminisme menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh
laki-laki seperti hubungan seksual sebagai bentuk dasar penindasan terhadap
kaum perempuan. Sementara itu, menurut Eisenstein (Fakih, 2001:85) bagi mereka
patriarkhi merupakan dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem
hirarkhi seksual yang menempatkan laki-laki memiliki kekuatan superior
(unggulan) dan privilege (hak
istimewa) ekonomi. Lebih lanjut Stanley dan Wise (Fakih,2001:85—86) menjelaskan
bahwa revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk
mengubah gaya hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum
laki-laki. Revolusi dan perlawanan atas penindasan perempuan bisa dalam bentuk
yang sangat individual seperti urusan subjektif personal perempuan.
3. Feminisme Sosial
Feminisme sosial menolak memperlakukan penindasan ekonomi
sekunder. Aliran feminisme sosial menyatakan bahwa laki-laki mempunyai
kepentingan material khusus dalam mendominasi perempuan dan laki-laki
mengonstruksikan berbagai tatanan institusional untuk melanggengkan dominasi
ini. Batasan konvensional mengenai ekonomi dengan memper-timbangkan
aktivitasnya yang tidak melibatkan pertukaran uang, misalnya dengan memasukkan
kerja prokreatif dan seksual yang dilakukan perempuan di rumah. Dalam
menganalisis semua bentuk kegiatan produktif aliran ini menggabungkan alat
analisis perempuan dengan kelas.
Menurut
Ferguson (Humm, 2002:449) salah satu problem aspek feminisme sosial ini bahwa
mereka menjadikan konsep pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin sebagai
dasar untuk mengeksploitasi relasi-relasi antara subordinasi perempuan, sistem
ekonomi tertentu, dan cara mengorganisasikan seksualitas. Sementara itu, kaum
feminisme sosial berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat
berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketidakadilan peran
antara kedua jenis kelamin itu, sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak
anggapan tradisional bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki,
karena faktor biologis dan latar belakang sejarah. Kelompok feminisme sosial
menganggap bahwa ketidakadilan terhadap perempuan di dalam masyarakat merupakan
akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa
upah bagi perempuan dalam lingkungan rumah tangga. Istri memiliki
ketergantungan lebih tinggi pada suami dan senantiasa mencemaskan keamanan
ekonominya karena menggantungkan diri pada kekuasaan suami.
Kaum
feminisme sosial bertolak dari tesis bahwa setiap laki-laki dan perempuan
mempunyai keinginan dalam mengembangkan kemampuan dan rasionalitas secara
optimal. Tidak ada lembaga atau individu yang boleh merenggut dan intervensi
terhadap hak itu. Negara hanyalah untuk menjamin agar hak tersebut terlaksana
dengan baik.
Perbedaan
feminis liberal dan feminisme sosial adalah, kaum feminis sosial mengaitkan
dominasi laki-laki dengan kapitalis, sedangkan kelompok feminis liberal
mengaitkan dominasi laki-laki dengan ideologi patriarkhi.
4. Feminisme
Marxis
Aliran ini
memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber
penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori
Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini. Status perempuan
jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi
untuk exchange dan sebagai
konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Adapun perempuan direduksi
menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan
mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika
kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan
terhadap perempuan dihapus.
Tokoh-tokoh Penting
Feminisme
Gelombang Pertama
1. Lady Mary
Wortley Montagu
Lady Mary
Wortley Montagu adalah pelopor era pencerahan tahun 1785 di Eropa.Lady Mary
Wortley Montagu bersama gerakan perempuan kulit putih memperjuangkan universal sisterhood (persaudaraan perempuan). Mereka
masih merupakan tokoh gerakan yang belum menghasilkan teori feminis dan belum
menulis buku tentang feminis.
2. Mary Wollstonecraft
Mary
Wollstonecraft adalah seorang penulis karya dokumen pertama tentang feminisme
berjudul, A Vindication of the Rights of
Women, pada tahun 1792. Dalam karya tulis ini, dia menuntut persamaan dan edukasi
yang lebih baik untuk wanita dan menciptakan kritik terhadap sistem sosial yang
menurunkan wanita ke posisi orang bawahan. Ia berpendapat bahwa kemajuan dan
peningkatan kehormatan manusia terletak pada luasnya ilmu pengetahuan. Ia
menginginkan pendidikan bagi para perempuan muda untuk mempersiapkan mereka
agar bisa mandiri di sisi ekonomi, memberikan kebebasan dan martabat, bukan
untuk memikat suami mapan. Wollstonecraft ingin meningkatkan
moralitas dan intelektualitas perempuan dan membuat perempuan menjadi penduduk
yang lebih rasional. Ia tidak menuntut hilangnya peran perempuan dari wilayah domestik,
namun dapat menempati wilayah publik. Tuntutannya yang paling radikal adalah
hak pilih bagi perempuan. Teori yang dicetuskan dalam feminisme Wollstonecraft adalah bahwa perempuan yang ideal yang
digambarkan dalam A Vindication of the
Rights of Women adalah perempuan yang aktif dan cerdas, perpaduan antara
tanggung jawab kenegaraan dan keluarga, terbebas dari pekerjaan yang
membosankan dan merendahkan derajat perempuan (Sanders, 2010:20). Teori ini
merupakan pendobrakan terhadap citra perempuan abad ke-16, yaitu bahwa perempuan
ideal adalah perempuan yang suci, pendiam, dan patuh.
Berdasarkan uraian di atas, tampak
jelas bahwa Wollstonecraft dalam A
Vindication of the Rights of Women ingin memperjuangkan kesamaan derajat
perempuan dan laki-laki dari aspek moralitas, intelektual, dan hak suara. Dengan pendidikan
yang tinggi dan tingkah laku yang baik, para perempuan dapat mandiri secara
ekonomi dan memiliki martabat yang tinggi. DEngan hak suara penuh, para
perempuan memiliki keterwakilan dalam parlemen sehingga dapat memberikan
suara/pertimbangan pengambilan kebijakan negara, termasuk kebijakan dalam
memberikan ruang gerak kepada perempuan.
Wollstonecraft
sangat tidak setuju jika perempuan hanya mengandalkan kecantikan untuk memikat
laki-laki mapan. Menurut Dia, hal itu sama dengan merendahkan derajat
perempaun. Tuntutannya yang paling radikal terhadap perempuan adalah adanya hak
pilih perempuan agar perempuan memiliki wakil dalam parlemen. Wollstonecraft
berharap di masa depan, perempuan dapat menjadi dokter, pelaku bisnis, dan politikus
sehingga memiliki perwakilan yang memungkinkan mereka dapat memberi
pertimbangan dalam kebijakan pemerintah. Buku A Vindication of the Rights of Women hanya mengemukakan
pemikiran-pemikiran ideal tentang perempuan ideal yang memiliki persamaan derajat
dan martabat dengan laki-laki, namun belum menguraikan sebuah program
pembenahan yang praktis dan tuntas.
BAB III: FEMINISME GELOMBANG KE-2 ABAD KE-20
Setelah
berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru
yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada
tahun 1960-an, dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara
parlemen. Pada tahun itu merupakan awal bagi perempuan untuk mendapatkan hak
pilih dan selanjutnya ikut berpartisipasi dalam ranah politik kenegaraan. Gerakan
feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukkan bahwa
sistem sosial masyarakat modern memiliki struktur yang pincang akibat budaya
patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai
aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang
diberikan kaum feminis.
Feminisme
gelombang kedua ini berkembang di Amerika Serikat, Inggris dan Perancis. Secara
lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, mengarahkan objek
penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga, yang meliputi Afrika, Asia,
dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi
universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras, dan
budaya (Tong, 1997).
Tokoh
yang sangat berpengaruh pada feminisme gelombang kedua dengan gaungnya yang sangat
keras di era perubahan adalah Betty Friedan dengan buku yang diterbitkannya
berjudul The Feminine Mystique, yang
ditulis tahun 1963 di Amerika Serikat. Buku ini berdampak luas, lebih-lebih
setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966, gemanya
kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan
Friedan berhasil mendorong dikeluarkannya Equal
Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang
lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama,
dan Equal Right Act (1964) yang
menempatkan kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
Meskipun berkontribusi terhadap peningkatan kesadaran, The Feminine Mystique berakar kuat pada paham feminis liberal
dengan tujuan untuk mewujudkan keseteraan kesempatan bagi perempuan di ruang
publik (Colin, 2006, dan Thornham, 2010:35).
Gerakan
perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada
perbaikan-perbaikan dan kemajuan yang dicapai. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS)
yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago
pada tahun yang sama. Dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme
radikal" dengan membentuk Women´s
Liberation Workshop yang dikenal dengan singkatan "Women´s Lib".Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya
dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak
lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini
secara terbuka memprotes diadakannya "Miss
America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai pelecehan
terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan. Gema ´pembebasan kaum
perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia
(Thornham, 2010:33—34).
Pada
1970-an, hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender
untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, tulisan teoretis
mengenai feminis melanda dunia, di antaranya Kate Millet tentang Sexual Politics, Shulamith Firestone
dengan The Dialectical of Sex, dan koleksi Robin Morgan tentang Sisterhood is Powerful. Ketiga buku
tersebut dipublikasikan di Amerika. Buku karya Millet mempopulerkan frase
‘politik seksual’ dan patriarki yang maknanya diperluas menjadi penindasan
terinstitusi atas semua perempuan yang dilakukan oleh laki-laki melalui
cara-cara ideologis. Sementara itu, Firestone menyampaikan pandangannya yang
nonkompromis tentang sejarah patriarkhi. Ia menyatakan bahwa penindasan
perempuan merupakan sistem kasta tertua yang paling kolot yang pernah ada.
Penindasan yang paling mendasar adalah penindasan berdasarkan perbedaan alami
reproduksi antar jenis kelamin yang mengarah pada pembedaan pekerjaan menurut
jenis kelamin dan konstruksi sistem kelas berdasarkan biologis. Visi Firestone mengenai utopia
feminis adalah teknologi reproduksi, karena menurutnya teknologi reproduksi
akan menggantikan kekejaman pembedaan seks berdasarkan sisi biologis. Dengan
cara ini dia menganggap struktur sosial dan budaya akan runtuh (Thornham, 2010:47).
Adapun
di Inggris, ada Germaine Greer dengan bukunya yang berjudul The Female Eunuch dan karya Eva Figes
dengan Patriarchal Attitudes. Mereka
memiliki pandangan yang sama bahwa budaya bersifat politis. Mereka juga
menerapkan pendekatan yang sama, yaitu pendekatan yang mengombinasikan usaha
untuk menyesuaikan representasi budaya dalam konteks sosial dan ekonomi. Teori-teori
tersebut diinspirasi dari karya Simon de Beauvoir tentang The Second Sex (1949). Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kunci
penindasan terhadap perempuan terletak pada konstruksi mereka sebagai ‘liyan’
(perempuan sebagai objek). Sehubungan dengan itu, yang harus diperjuangkan oleh
perempuan menurut Beauvoir adalah cara
perempuan dapat menempatkan dirinya sebagai subjek setara dengan laki-laki.
Teori ini diilhami oleh feminis radikal dan liberal. Dua cabang pemikiran
feminis yang muncul selanjutnya selama tahun
1970-an adalah feminis sosialis dan feminis psikoanalisis. Feminis
sosialis yang dimotori oleh Rowbotham menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah
revolusi bahasa, budaya, dan struktur material. Bahasa menjadi sangat penting
untuk direvolusi karena melalui bahasa, budaya dibentuk dan disosialisasi. Feminis
sosialis mencari cara mentrans-formasi sisi dalam pengalaman jasmaniah (kolonisasi
psikologis dan keheningan budaya) serta bagian luar dari kondisi sosial
material. Teori ini mengundang konflik dengan teori sebelumnya. Menurut Millet,
Firestone, Greer, dan Finges menganggap bahwa Psikoanalis Freudian lengkap
dengan konsepnya tentang penis envy
(kecemburuan perempuan terhadap alat kelamin laki-laki) dan kepasifan feminis
sebagai kunci dalam revolusi tandingan melawan feminis gelombang pertama (Thornham, 2010:43).
Di
Perancis, feminisme gelombang kedua ini dimulai oleh Helene Cixous (seorang
Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva
(seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran
dekonstruksionis, Derrida.Dalam the Laugh
of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh
nilai-nilai maskulin. Sebagai seorang yang bukan termasuk white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang
marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam
wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Pada
akhir masa femenisme Gelombang kedua, Cixous dan Kristeva membelot kepada
Posfeminisme. Tokoh yang paling berpengaruh di Perancia adalah Simon de
Beauvoir tentang The Second Sex
(1949) (Tong, 1997).
Pada
tahun 1981 Friedan menulis buku selanjutnya yang berjudul The Second Stage. Buku tersebut digunakan untuk melindungi ‘ruang
keluarga’ dan ‘ruang pribadi’ dari serangan analisis feminis akibat perilaku
ektrim oleh sekelompok pengikut feminis liberal dan radikal (Thornham, 2010:43).
Dengan
keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka
perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua
perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi objek
analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi
sosial.
Teori-teori yang lahir pada gelombang kedua ini adalah feminisme eksistensialism, feminisme
gynosentris, dan
feminisme sosialis sebagai kritik
terhadap feminis marxis. Keempat
teori itu, masing-masing dijelaskan sebagai berikut:
1. Feminsime
Eksistensial
Feminisme
eksistensial yaitu feminisme yang melihat ketertindasan perempuan dari beban
reproduksi yang ditanggung oleh perempuan, sehingga tidak mempunyai posisi
tawar dengan laki-laki. Penindasan yang paling mendasar adalah
penindasan berdasarkan perbedaan alami reproduksi antarjenis kelamin yang
mengarah pada pembedaan pekerjaan menurut jenis kelamin dan konstruksi sistem
kelas berdasarkan biologis. Visi teori ini mengenai utopia feminis
adalah teknologi reproduksi, karena menurutnya teknologi reproduksi akan
menggantikan kekejaman pembedaan seks berdasarkan sisi biologis. Dengan cara
ini penganut teori ini menganggap struktur sosial dan budaya akan runtuh.
2. Feminisme Gynosentris
Feminisme
gynosentris yaitu feminisme yang memandang ketertindasan perempuan dari
perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan perempuan
lebih inferior dibandingkan laki-laki. Feminis ini merupakan pengembangan dari
feminisme radikal yang ekstrim. Teori ini mengatakan bahwa perempuan harus
memformulasikan kekuatan kolektif,
menumbuhkembangkan pengetahuan perempuan
yang akan membekali mereka untuk melawan
control patriarkhial, baik secara fisik maupun kejiwaan.
3. Feminisme Sosialis
Sebuah
faham berpendapat “Tak ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak ada
Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk meng-hapuskan
sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta
dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan
suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik
terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul
sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh.
Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan.
Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami
penindasan perempuan. Ia paham feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan
sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga
setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan
itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Agenda
perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem
patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat
problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
Tokoh-tokoh Penting Feminisme Gelombang Kedua
1. Betty Friedan
Buku
yang dibuat oleh Betty Friedan yang berjudul The Feminine Mystique, yang menjadi best-seller, memperke-nalkan dan mempro-mosikan ide bahwa wanita
dapat menemukan kebahagiaannya dalam karir dan tidak ada hubungannya dengan
membangun keluarga. Friedan menjadi pemimpin dalam pergerakan wanita, dan di
tahun 1966 dia mendirikan National
Organization for Women (NOW), yang melanjutkan hak-hak persamaan dan
kebebasan wanita.Dalam bidang perundangan, tulisan Betty
Fredan berhasil mendorong dikeluarkannya Equal
Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang
lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama,
dan Equal Right Act (1964) yang
menempatkan kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang. Buku keduanya
berjudul The Second Stage (1981) digunakan untuk
melindungi ‘ruang keluarga’ dan ‘ruang pribadi’ dari serangan analis feminis
akibat perilaku ektrim oleh sekelompok pengikut feminis liberal dan radikal. Dalam foto ini terlihat Friedan menandatangani
“ERAgram” untuk meminta Presiden Jimmy Carter agar mendukung Equal Rights Amendment pada bulan
Agustus tahun 1977.
2. Simone de Beauvoir
Simone de Beauvoir adalahSeorang penulis dan filosof dari Perancis
disebut pelopor terbaik dari pergerakan feminis pada tahun 1960-an. Bukunya
yang berjudul The Second Sex, dipublikasikan
pada tahun 1949 merupakan inspirator bagi millet dan Firesttone dalam buku dan
gerakan perempuan pada tahun 1960-an. Dalam buku tersebut
dijelaskan bahwa kunci penindasan terhadap perempuan terletak pada konstruksi
mereka sebagai ‘liyan’ (perempuan sebagai objek). Yang diperjuangkan buku
tersebut adalah cara perempuan dapat menempatkan dirinya sebagai subjek setara
dengan laki-laki. Selanjutnya buku tersebut merupakan literatur feminis klasik.
BAB IV: FEMINISME GELOMBANG KE-3 DAN POSTFEMINISME
Feminisme
gelombang ketiga lahir bersamaan dengan lahirnya Postfeminisme. Banyak tokoh feminis mengklaim bahwa postfemenisme berbeda dengan feminisme
gelombang ketiga karena Postfeminisme
merupakan gerakan yang menolak gagasan-gagasan feminisme tahun 1960-an, bahkan para
tokoh feminis bersikukuh bahwa postfeminisme
merupakan ‘sebuah pengkhianatan’ atas sebuah sejarah perjuangan feminis.
Menurut Susan Faludi dalam bukunya The Backlash:
The Underclared War Agains Women (1991) menjelaskan bahwa postfeminisme adalah sebuah reaksi keras
terhadap dasar yang telah ditetapkan oleh feminisme gelombang kedua. Salah satu
tokoh feminisme gelombang kedua dan ketiga, Greer menerbitkan buku sambungan
dari The Female Eunuch, yang berjudul
The Whole Woman merupakan reaksi
melawan ideologi posfeminisme. Greer
membuat perumpamaan: jika feminism berambut panjang, bercelana jengki, dan
beranting juntai, maka postfeminisme
berpakaian setelan ala bisnismen, berambut cepak, dan berlipstik tebal. Greer
menyatakan bahwa postfeminisme suka
pamer seperti pelacur dan berperilaku menyimpang. Ideologi ini menawarkan
kepada perempuan bisa mendapatkan semuanya: karir, keibuan, kecantikan, dan
kehidupan seks yang bebas dengan mengonsumsi pil, racun, bedah kecantikan,
fesyen, dan lainnya. Postfeminisme
dipelopori oleh Naomi Wolf, Camila Paglia, Rene Denfeld, dan Katie Rophi.
Sedangkan para teoritikus yang berhasil membuat daftar konseptual mengenai
dekonstruksi, perbedaan, dan identitas feminis adalah Yulia Kristewa, Helena
Cixous, Laura Mulbey, dan Yudith Butter. Postfeminisme
melahirkan teori postkolonialisme dan feminisme anarkhis.
Sementara
itu, memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang
merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya
peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari
karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Kritik kaum
feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah
termarginalisasinya peran perempuan, tetapi kaum feminis telah berani masuk
dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat
patriarkal. Dalam kacamata ekofeminisme, sains modern merupakan representasi
kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi
dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi
patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas
dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.
Berangkat
dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller,
Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya
genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan
bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).
Feminisme gelombang terakhir atau
gelombang ketiga, merupakan feminisme baru yang melihat isu-isu terkini dalam
masyarakat, yang dikaitkan dengan ketertindasan perempuan dengan
mempertimbangan multikultural dan pluralitas. Ada tiga teori yang lahir dari gelombang
ketiga ini: feminisme multikultural,
feminisme global, dan feminisme
ekologi/ ekofeminisme.
Tokoh-tokoh Penting FemenismeGelombang ke-3
dan Postfeminisme
1.
Susan Faludi, Tokoh Feminisme Gelombang III
Susan Faludi melahirkan sebuah buku yang menciptakan kontroversi
pada tahun 1991 yang berjudul Backlash :
The Undeclared War Against American Women.
2. Angela Davis, Tokoh Penting Postfeminisme
Angela
Davis
Dalam foto di
samping menunjukkan Angela Davis sedang berbicara di Universitas Alberta pada
28 Maret 2006.Angela Davis merupakan orang pertama yang mengartikulasikan
sebuah argumen yang berpusat pada interseksi dari ras, jender dan kelas dalam
bukunya Women, Race, and Class.
Teori yang Dilahirkan Feminisme Postmodern/Postfeminisme
1.
Feminisme Anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat
sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan
menganggap negara dan laki-laki adalah sumber permasalahan yang sesegera
mungkin harus dihancurkan. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf yang menggagas "Feminisme
Kekuatan" yang merupakan solusi pembebasan kaum feminis. Kini perempuan
telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan
harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas
berkehendak tanpa tergantung pada lelak”(http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20071028222834AAQ
c1nU).
2. Feminisme Postkolonial
Dasar
pandangan ini berakar dari penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman
perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda
dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga
menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan
berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antarbangsa, suku, ras, dan
agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada
intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang,
maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World
Women: The Impact of Race, Sex, and
Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis
kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial,
dan pendidikan.” (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20071028222834AAQ
c1nU)
Teori yang dilahirkan oleh Feminisme
Gelombang III
1. Feminisme Multikultural
Feminisme
mulitikultural adalah feminisme yang tidak melihat ketertindasan perempuan
terjadi dari kelas, ras, preferensi sosial, umur, agama, pendidikan, kesehatan,
dan sebagainya. Feminisme multikultural memperluas gerakan dan teori dari
kelompok kelas menengah kulit putih di Eropa dan Amerika ke seluruh penjuru
dunia. Dengan kata lain, feminisme multicultural mencakup perjuangan perempuan
lintas ras, lintas agama, lintas negara, lintas kelas. lintas umur, dan lintas
pendidikan mulai perem-puan dunia I sampai dunia ke-3. Di Asia, feminisme
multicultural dipelopori oleh Mohanty dan Spivak dari India (Kuria, 2010:83).
2. Feminisme
Global
Feminisme global adalah feminisme
yang menekankan pada ketertindasan dalam
konteks perdebatan antara feminisme di dunia yang sudah maju dengan feminisme
di dunia yang sedang berkembang. Dengan cara melakukan berbagai penelitian
terhadap perempuan di negara sedang berkembang, perempuan negara maju melibatkan
perempuan dunia yang sedang berkembang untuk memperjuangkan kesetaraan dengan
laki-laki dalam berbagai bidang. (http://id.answers.yahoo.com/ question /index?qid=20071028222834AAQ c1nU).
3. Ekofeminisme atau Feminisme Ekologi
Ekofeminisme adalah feminisme
yang melihat ketidakadilan perempuan
dalam lingkungan, berangkat dari ketidakadilan yang dilakukan manusia terhadap
ligkungan atau alam. Feminisme ekologis nama yang digunakan untuk berbagai
posisi yang memiliki keterkaitan dengan berbagai praktik dan folosofi feminis
yang mencerminkan pemahaman-pemahaman yang berbeda mengenai alam dan solusi
untuk menangani persoalan-persoalan lingkungan. Termarginalisasinya
peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari
karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Kritik kaum ekofeminisme
terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran
perempuan, tetapi telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk
membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata ekofeminisme,
sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu
eksploitasi terhadap alam. Alam dianggap laki-laki sebagai representasi dari
kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tidak berdaya. Dengan relasi patriarkal
demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam
memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif. Berangkat dari kritik tersebut, ekofeminismevmenawarkan
suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai
perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu disebut
sebagai sains feminis (feminist science). (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=200710282228
34 AAQ c1nU).
BAB V: PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan
uraian dalam pembahasan dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Feminisme Gelombang pertama diinspirasi
oleh tokoh gerakan perempuan di Era Pencerahan yaitu Lady Mary Wortley Montagu
dan Marquis de Condorcet pada tahun 1785. Tokoh yang paling penting dalam
feminisme gelombang pertama adalah Mary Wollstonecraft dengan
bukunya yang berjudul, A Vindication of
the Rights of Women (1792). Dalam karya tulis tersebut, dijelaskan pentingnya pendidikan
bagi para perempuan muda untuk mempersiapkan mereka agar bisa mandiri dari segi
ekonomi, memberikan kebebasan peran ruang public, dan meningkatkan martabat, bukan untuk memikat suami mapan. Selain
itu, dijelaskan pula pentingnya meningkatkan moralitas dan intelektualitas
perempuan dan membuat perempuan menjadi penduduk yang lebih rasional dan
bermartabat. Buku ini tidak menuntut hilangnya peran perempuan dari wilayah
domestik, namunbmenuntut adanya peran perempuan di wilayah publik. Tuntutannya
yang paling radikal adalah hak pilih. Kata feminis dan feminisme pada masa femenisme gelombang
pertama belum digunakan sampai akhir
abad ke-19. Feminisme gelombang pertama belum menghasilkan teori
mapan namun sudah menjadi inspirasi lahirnya teori liberal, radikal, sosial, dan Marxis. Feminisme
gelombang pertama memperjuangkan pening-katan pendidikan, martabat dan kebebasan perempuan yang
masih terbatas pada perempuan kulit putih kelas menengah.
2. Feminisme Gelombang kedua lahir di
era perubahan pada tahun 1960-an. Di Amerika, tokoh yang paling berpengaruh
adalah Betty Friedan dengan bukunya
berjudul The Feminine Mystique, dengan
teorinya bahwa wanita dapat menemukan kebahagiaannya dalam karir dan tidak ada
hubungannya dengan membangun keluarga. Friedan menjadi mendirikan National Organization for Women (NOW),
yang melanjutkan hak-hak persamaan dan kebebasan wanita.
Dalam bidang perundangan, Fredan berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum
perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama
dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) yang menempatkan kaum perempuan mempunyai
hak pilih secara penuh dalam segala bidang. Di
Inggris, tokoh yang paling berpengaruh adalah Germany Greer
dengan bukunya berjudul The Female Eunuch
dan Eva Figes dengan Patriarchal
Attitudes. Mereka memiliki pandangan yang sama bahwa budaya bersifat
politis. Oleh karena itu pembebasan perempuan dari kungkungan ideologi
patriarkhi harus diperjuangkan melalui politik. Pemikiran Greer dan Figes
diisnpirasi dari pemikiran Simone de Beauvoir dari Prancis tokoh yang
paling berpengaruh dengan bukunya The Second Sex. Dalam
buku tersebut dijelaskan bahwa kunci penindasan terhadap perempuan terletak
pada konstruksi mereka sebagai ‘liyan’ (perempuan sebagai objek). Yang
diperjuangkan oleh Beauvoir dalam bukunya adalah cara perempuan dapat
menempatkan dirinya sebagai subjek setara dengan laki-laki. Jika feminism
gelombang pertama masih terbatas pada memperjuangkan feminis kulit putih kelas
menengah, maka feminism gelombang kedua sudah memikirkan untuk menyelamatkan
perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah
sama. Teori yang diinspirasi oleh gelombang pertama berkembang pesat pada
feminism gelombang kedua, terutama feminisme liberal dan radikal. Selanjutnya
feminisme gelombang kedua menginspirasi lahirnya teori feminisme sosialis, feminisme psikoanalis, eksistensialisme
dan feminism gynosentris.
3. Feminisme gelombang ketiga lahir bersamaan dengan
Postfeminisme pada tahun 1990-an. Posfeminisme
yang dimotori oleh Wolf mendapat reaksi keras dari tokoh feminisme gelombang
ketiga yang dipelopori oleh Susan Faludi dalam bukunya The Backlash: The Underclared War Agains Women (1991) . Dalam bunya
tersebut, Faludi menjelaskan bahwa postfeminisme
adalah sebuah reaksi keras terhadap dasar yang telah ditetapkan oleh
feminisme gelombang kedua. Apabila postfeminisme menawarkan ideologi kepada
perempuan bahwa perempuan bisa mendapatkan semuanya: karir, keibuan,
kecantikan, dan kehidupan seks yang bebas maka feminisme gelombang ketiga tetap
memperjuangkan peningkatan peran perempuan di ruang publik, martabat, dan
kebebasan perempuan dari penindasan ideologi patriarkhi termasuk di bidang
sains dengan membentuk genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan
yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai
sains feminis (feminist science).
Gagasan dan perjuangan feminisme gelombang ketiga sudah bersifat universal,
multikultural, dan plural. Femisme gelombang ketiga menginspirasi lahirnya
teori feminisme
multikultural, feminisme global, dan feminisme
ekologis/ekofeminisme.
DAFTAR PUSTAKA
Colin, Hay et all
(eds). The State : Theories and
Issues (Palgrave, 2006)
Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faludi, Susan. 1992. Backlash:
The Underclared War Agains Women diterjemahkan oleh tim Jalasutra editor
Siti Jamilah dan Umi Nurun Nikmah. London: Vintage.
Gamble, Sarah. 2010. Postfeminisme
diterjemahkan oleh tim Jalasutra editor Siti Jamilah dan Umi Nurun Nikmah. Yogyakarta:
Jalasutra.
http://teorisastera.blogspot.com/2009/11/teori-feminisme.html.
Diakses pada 26 Mei 2011.
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20071028222834AAQc1nU.
Diakses pada 26 Mei 2011.
Humm, Magie. 1986. Feminist
Criticism. Brighton, Sussex: The Hervester Press Limited.
Jackson, Stevie and Jackie Jones.Contemporary Feminist
Theories: New York, New York University Press, 1998.
Kuria, Alka. 2010. Feminisme Negara-negara Berkembang. Diterjemahkan
oleh tim Jalasutra editor Siti Jamilah dan Umi Nurun Nikmah. Yogyakarta:
Jalasutra.
Rueda, Marisa, Susan Alice and Marta Rodriguez.Feminsime
Untuk Pemula: Yogyakarta, Resist Book, 2007.
Sanders, Valerie. 2010. Gerakan
Feminisme Gelombang Pertama diterjemahkan oleh tim Jalasutra editor Siti
Jamilah dan Umi Nurun Nikmah. Yogyakarta: Jalasutra.
Selden, Raman.1991. Panduan
Pembaca Teori Sastra Masa Kini (diterjemahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo).
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suharto, Sugihastuti, 2002. Kritik Sastra Feminis: Teori dan
Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tong, Rosemarie. 1997. Feminist
Thought : A Comprehensive Introduction. USA : Westview Press
Thornham, Sue. 2010. Gerakan Feminisme Gelombang Kedua diterjemahkan
oleh tim Jalasutra editor Siti Jamilah dan Umi Nurun Nikmah.Yogyakarta:
Jalasutra
No comments:
Post a Comment