Friday, July 26, 2013

STATE OF THE ARTS FEMINISM THEORY













PERKEMBANGAN TEORI FEMINISME
Oleh Umi Salamah


BAB I : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Feminisme ialah studi tentang perlawanan terhadap pembagian kerja yang menetapkan kaum laki-laki sebagai yang berkuasa dalam ranah publik, seperti dalam pekerjaan, olahraga, perang, dan pemerintahan, sementara kaum perempuan hanya menjadi pekerja tanpa upah di rumah, dan memikul seluruh beban kehidupan keluarga.
Pada mulanya, feminismemerupakan sebuah gerakan perempuan yang menuntutemansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme dipengaruhi oleh beberapa bidang, yakni: sosial, budaya, pergerakan politik,ekonomi, teori-teori, dan filosofi moral. 


Kaum feminis disatukan oleh pemikiran bahwa wanita di masyarakat memiliki kedudukan yang berbeda dengan pria dan bahwa masyarakat terstruktur atas kepentingan kaum pria, merupakan kerugian bagi wanita (Suharto: 2002:17).
Sebelum bangkitnya feminisme, sejarah memberikan banyak contoh tentang para perempuan yang memiliki kekuasaan, keberanian, dan bakat yang luar biasa. Perempuan-perempuan yang dimaksud dikenal sebagai kaisar, ratu terkenal, pejuang-pejuang yang gagah berani, orang-orang suci, ilmuwan, penyair-penyair, dan seiman-seniman. Banyak contoh mengenai perempuan-perempuan tangguh pada zaman dahulu, seperti Sapphopenyair besar pada masa Yunani Kuno, 650 Sebelum Masehi; Boadicea prajurit ratu yang menantang pendudukan Roma pada 61 Sebelum Masehi, Murasaki Shikibu (978-1026) pengarang novel panjang pertama dari Jepang berjudul The Tale of Genji, Joan of Arc (1412-1431) pejuang Perancis dan pelantik raja yang dieksekusi pada usia19 tahun, Ratu Elizabeth II (1533-1603) penguasa besar kerajaan Inggris yang menginspirasi renaisans Inggris, atau Kaisar Catherina (1726-1796) perempuan Jerman yang memerintah Rusia selama 35 tahun, seorang penguasa yang tercerahkan dan pembaharu http://teorisastera.blogspot.com/2009/11/teorifeminisme. html.
Teori feminis berusaha menganalisis berbagai kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan dan berusaha menyelidiki beragam pemahaman kultural mengenai makna menjadi perempuan.Awalnya teori feminis diarahkan untuk tujuan politis oleh Gerakan Perempuan, yakni kebutuhan untuk memahami subordinasi perempuan dan marjinalisasi perempuan dalam berbagai wilayah kultural dan sosial.Kaum feminis menolak pandangan bahwa ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan bersifat alamiah dan tidak terelakkan. Mereka bersikeras bahwa ketidaksetaraan tersebut harus dijelaskan dan dicarikan pemecahannya.
Gerakan perempuan secara perlahan tumbuh menjadi suatu kekuatan politik yang besar, menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika Utara. Ada tiga gelombang atau tiga tahap dalam gerakan perempuan; gelombang pertama, gelombang kedua, dan gelombang ketiga. Dalam makalah ini akan dijelaskan paparan mengenai ketiga gelombang gerakan feminisme yang dilengkapi dengan tokoh, pendapat, dan teori yang dilahirkan dari masing-masing gelombang, dan macam-macam teori feminisme.
            Dalam makalah ini akan dibahas state of the art dari teori feminisme yang mencakup tiga gelombang dimulai dari perjalanan pandangan para tokoh/teoretisi feminis gelombang pertama, gelombang kedua dan gelombang ketiga.

B. Tiga masalah dirumuskan berikut ini:
1.     Bagaimanakan pandangan teori para tokoh feminisme gelombang pertama?
2.     Bagaimanakan pandangan teori para tokoh feminisme gelombang kedua?
3.     Bagaimanakah pandangan teori para tokoh feminisme gelombang ketiga?

C. Tujuan
            Tujuan pembahasan makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1.   Untuk mengetahui pandangan teori para tokoh feminisme gelombang pertama.
2.   Untuk mengetahui pandangan teori para tokoh feminisme gelombang kedua.
3.   Untuk mengetahui pandangan teoripara tokoh feminisme gelombang ketiga.

BAB II: PEMBAHASAN TEORI FEMINIS GELOMBANG PERTAMA (ABAD 18-19)
Terdapat tiga gelombang atau tiga tahap dalam gerakan perempuan/ feminis-me, yaitu gelombang pertama yang dimulai abad ke-18 hingga abad ke-19; gelom-bang kedua dimulai abad ke- 20; dan gelombang ketiga dimulai pada akhir abad ke-20—hingga sekarang.
Pandangan tokoh feminisme Gelombang Pertama (Abad ke-18—19) diawali dengan pandangan yang menyangkut persamaan hak antara wanita dan pria, yakni persamaan sebagai penduduk dalam kehidupan publik yang berhubungan dengan persamaan status legal dalam rumah tangga. Ide ini timbul sebagai respon dari revolusi Amerika (1775- 1783) dan revolusi Perancis (1789-1799). Kedua revolusi tersebut sama-sama mendukung nilai-nilai kebebasan dan kesamaan hak. (http:// id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20071028222834AAQc1nU)
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan universal sisterhood. (Thornham, 2010:39—40)
Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, yakni terdapatnya masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior dibanding kaum laki-laki, terlebih pada masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Dari latar belakang itulah di Eropa berkembang gerakan untuk menaikkan derajat kaum perempuan tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat (http://id.answers. yahoo.com/question/index?qid=20071028222834AAQc1nU).
Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme. Dalam karya tulis ini, dia menuntut persamaan dan edukasi yang lebih baik untuk wanita dan menciptakan kritik terhadap sistem sosial yang menurunkan wanita ke posisi orang bawahan. Pada awal abad ke-19, grup-grup kecil wanita kelas menengah di Inggris mulai menyuarakan edukasi yang lebih baik, hak-hak legal yang berkembang  (terutama dalam pernikahan), kesempatan kerja, dan hak pilih.
Tokoh-tokoh Feminisme Gelombang Pertama, Mary Wollstonecraft yang menulis karya dokumen pertama tentang feminisme, A Vindication of the Rights of Women, pada tahun 1792 (Sanders, 2010:20). Pro dan konta terhadap buku ini menimbulkan reaksi, baik positif maupun negatif. Reaksi negative dimunculkan oleh suami Wollstonecraft dalam bukunya yang berjudul l Memoirs (1798). Dalam buku tersebut  dijelaskan perilaku moralitas yang diperjuangkan dalam A Vindication of the Rights of Women inkonsistensi dengan hidup Mary Wollstonecraft yang digambarkan  sebagai pribadi tidak bermoral.
Reaksi positif terhadap buku A Vindication of the Rights of Women disampaikan oleh  Hannah More tentang pendidikan bagi perempuan Sarah Ellis yang menulis buku Women of England (1839), The Mother of England (1842), dan The Doughters England. Ketiga buku tersebut menambahkan semangat keagamaan yang mengombinasikan patriotisme dengan dedikasi untuk keluarga bagi para perempuan (Sanders, 2010:20). Kedua tokoh tersebut sama-sama memperjuangkan perempuan kelas menengah setara dengan laki-laki dari segi pendidikan, moralitas, dan hak pilih. ApabilaWollstonecraft masih berbicara tentang teori, maka Ellis sudah menulisnya dalam bentuk buku panduan perilaku perempuan dan menambahkan muatan agama dalam buku panduannya.
Di Amerika, aktivisme feminis dimulai menjelang konvensi Seneca Falls tahun 1848 yang menuntut penghentian seluruh diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Tahun 1850-an merupakan kebangkitan aktivitas feminis dan menjadi dekade paling penting di era Viktoria. Pada tahun 1956, salah satu anggota Langham Place Londdon bernama Barbara Leigh Smith yang kemudian dikenal dengan Bodichon menulis buku yang memperjuangkan hak bekerja bagi para perempuan yang berjudul Women and Work yang dipersiapkan kepada para perempuan agar mampu mencapai peran selain sebagai istri atau ibu, karena pada saat itu, perempuan sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Di akhir perjuangan feminis gelombang I, tokoh yang berpengaruh adalah Sarah Grimke dari Amerika dengan bukunya Letters on the Equality of the Sexes (1945) dan Margaret Fuller dari Inggris dengan bukunya Women in the Nineteenth Century (1945) (Sanders, 2010:29). Perbedaan penting antara teori feminis Inggris dan Amerika pada gelombang pertama terletak pada pemenuhan hak suara perempuan. Apabila di Amerika dewan legislatif dapat mengubah undang-undang tanpa campur tangan pemerintah pusat, sehingga perempuan sudah memiliki hak pilih pada tahun 1869 dan 1870, sedangkan di Inggris perempuan belum diberi hak suara hingga tahun 1920. Persamaannya, baik di Amerika maupun di Inggris kampanye-kampanye feminis berkembang dalam berbagai tingkat yang berbeda dengan tema mengusung pembaharuan yang sama.
Sampai akhir abad ke-19, kata feminis dan feminisme belum digunakan. Feminisme Gelombang Pertama ditandai dengan dikreasikannya kata feminisme oleh aktivis sosial utopis, yaitu Charles Fourier pada tahun 1837, dan berkembangnya pergerakan center Eropa yang berpindah ke Amerika sejak ada publikasi dari John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869), yang isinya sebagian diinspirasi oleh istrinya yaitu Harriet Taylor. (http://id.answers.yahoo.com/question/index? qid=20071028222834AAQc1nU)
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal yang menjadi momentum perjuangannya adalah: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme gelombang pertama adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.
Teori feminisme yang dilahirkan oleh feminisme pada gelombang pertama, yaitu (1) feminism Liberal, (3) feminism Radikal, dan (3) feminism Marxis, dan (4) feminisme Sosialis/sosial. Masing-masing teori dijelaskan sebagai berikut:

1. Feminisme Liberal
Feminisme Liberal ialah pandangan yang menempatkan perempuan sebagai individu yang memiliki kebebasan penuh. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia menurut mereka mempunyai kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan disebabkan oleh kesalahan perempuan sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan mempunyai kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis liberal merupakan salah satu arus utama teori sosial dan politik feminis yang mempunyai sejarah jangka waktu yang paling lama (Humm (2001:250) menggambarkan perempuan sebagai agen rasional yang inferioritasnya disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Feminisme liberal kontemporer menyepakati optimisme bahwa akar dari penindasan perempuan terletak pada ada tidaknya hak sipil dan peluang pendidikan yang sama. Inti keyakinan feminis liberal adalah pandangan bahwa  kehidupan pribadi seseorang tidak harus menjadi objek peraturan masyarakat. Feminisme liberal mendukung pemenuhan individu yang terbebas dari keterbatasan peran seks dan mendukung hak-hak perempuan dalam hal kebutuhan, kesejahteraan, pendidikan universal, dan layanan kesehatan, misalnya dengan cara mengkritik praktek ketenagakerjaan yang tidak fair daripada menyerang institusinya secara keseluruhan.
Selanjutnya menurut Elshtain (Humm, 2002:250—251), feminisme liberal mereduksi (mengurangi) nilai motivasi manusia menjadi sekedar utilitarian (bermanfaat untuk kepentingan diri). Dasar pemikiran kelompok feminis liberal yakni semua manusia, laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi, yang seharusnya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Kelompok  ini diinspirasi oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususnan sendiri. Secara ontologis, keduanya sama, hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak-hak perempuan. Kelompok ini tetap menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan.
            Kelompok ini termasuk paling moderat yang membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki, yang menghendaki agar perempuan dintegrasikan secara total di dalam semua peran termasuk bekerja di rumah dan di luar rumah (sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan politik). Dengan demikian tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan.
Berhubungan dengan organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran perempuan.  Pemikiran kelompok feminis liberal  muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan, nilai moral, dan kebebasan individu. Akan tetapi pada saat yang sama dianggap mendeskriminasikan perempuan. Masalah perempuan tidak dilihat dari struktur dan sistem sebagai pokok persoalan. Asumsi feminis liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja kelompok feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada hak-hak mendapatkan kesempatan, hak yang sama bagi setiap individu, termasuk hukum bagi perempuan (Suharto,2002:81).
            Usulan aliran ini untuk memecahkan masalah kaum perempuan dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas. Kelompok feminis liberal  tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat patriarkhi sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal dan sosial. Ide feminis liberal  muncul sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, namun baru berkembang tahun 1960-an. Salah satu pengaruh feminis liberal ini terekspresi dalam teori modernisasi dalam program global yang dikenal WID (perempuan dalam pembangunan).
Feminisme liberal berusaha untuk menyadarkan wanita bahwa wanita adalah golongan tertindas. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung pada kaum laki-laki.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

2. Feminis Radikal
Kelompok feminisme radikal berpandangan bahwa penindasan perempuan berasal dari penempatan perempuan dalam kelas inferior dibandingan dengan laki-laki dengan menggunakan basis perempuan. Feminisme radikal bertujuan menghancurkan sistem kelas jenis kelamin. Ia memfokuskan pada akar dominasi laki-laki dan klaim laki-laki bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dari supremasi (keunggulan ) pada laki-laki. Patriarkhi adalah karakteristik yang ada dalam masyarakat, ia berkeyakinan bahwa persoalan politik dan keterpusatan pada perempuan bisa menjadi basis masyarakat di masa depan (Einstein dalam Humm, 2002:383-384).
Menurut Atkinson (Humm 2002:384), sistem penindasan peran laki-laki terhadap perempuan secara politik merupakan model asli dari semua penindasan. Salah satu tema utama dalam tulisan feminis radikal yakni oposisi politik pada kelompok kiri, yang melibatkan perempuan sebagai seksisme. Menurut Morgan (Humm, 2002:385-386), seksisme adalah akar atau penindasan radikal, aliran ini menawarkan model analisis yang secara mendasar berbeda dengan marxisme. Perhatian bersama mereka (aliran feminis radikal) terhadap psikologis perempuan, menyatakan bahwa teori sebelumnya gagal untuk menganalisis dominasi terhadap perempuan sebagai bentuk psikososial. Sementara itu, aliran feminis radikal memberikan sumbangan terhadap teori feminisme dalam beberapa hal berbeda, yakni: (1) menciptakan konsep budaya perempuan, suatu konsep yang analog dengan libertarianisme (kebebasan untuk membangun model-model masyarakat utopis dan (2) mengungkapkan bahwa maskulin yang tersembunyi dalam kerangka konseptual dari berbagai pengetahuan tradisional dan dualisme yakni penggunaan teori politik tradisional untuk menjustifikasi subordinasi perempuan. Mereka bekerja untuk memperjelas ketidaktampakan dengan membawa pada focus struktur perempuan pada masyarakat.
Kaum feminis radikal mengungkapkan bahwa struktur masyarakat berlandaskan pada relasi hirarkis berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki sebagai suatu kategori sosial mendominasi kaum perempuan sebagai kategori sosial yang lain, karena kaum laki-laki diuntungkan dengan adanya subordinasi perempuan. Menurut aliran feminis radikal, dominasi laki-laki itu merupakan model konsteptual yang biasa menjelaskan berbagai bentuk penindasan yang lain.
Kaum feminis radikal menyoroti dua konsep utama, yaitu patriarkhi dan seksualitas. Bagi kaum radikal, ideologi patriarkhi mendefinisikan perempuan sebagai kategori sosial yang fungsi khususnya untuk memuaskan dorongan seksual kaum laki-laki, untuk melahirkan, dan mengasuh anak. Garis patriarkhi tidak hanya memaksa kaum perempuan menjadi ibu mereka (anak-anak). Ideologi patriarkhi yang mengobjekan seksualitas perempuan tampak dalam wujud kekerasan seksual yang muncul sehari-hari dengan gejala pemerkosaan, pornografi, iklan seksual, seni kapitalis, dan pornoaksi.
Beberapa feminis radikal memuja atribut biologis perempuan sebagai sumber keunggulan daripada inferioritas (kerendahan) (Selden, 1996:137). Pada umumnya kaum feminis radikal menganut pandangan bahwa para perempuan telah dicuci otaknya oleh tipe ideologi patriarkhi, yang menghasilkan gambaran stereotipe lelaki yang kuat dan perempuan yang lemah (Selden, 1996:138). Pada permualaan abad ke-19, aliran ini mengangkat isu besar menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti patriarkhi yang dinilai merugikan perempuan, karena term ini jelas-jelas menguntungkan laki-laki. Lebih dari itu, di antara kaum feminis radikal ada yang lebih ekstrem, tidak hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki, tetapi persamaan seks dalam arti kepuasan seksual juga bisa diperoleh dari sesama perempuan, sehingga mentolelir (memaklumi) praktek lesbian (Suharto, 2002:66-67). Menurutnya, perempuan tidak harus tergantung pada laki-laki dalam hal pemenuhan kepuasan kebendaan dan kepuasan seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraan, dan kepuasan seksual kepada sesama perempuan, kepuasan seksual dari laki-laki hanya merupakan masalah psikologis. Melalui berbagai latihan dan pembiasaan kepuasan ini dapat terpenuhi dari sesama perempuan (Suharto, 2001:67)
Berdasarkan pemikiran itulah, Ramazanoglu (Suharto, 2002:66-67), mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan mengungkapkan fakta bahwa laki-laki merupakan masalah bagi perempuan. Laki-laki selalu mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan dengan berbagai dalih/argumen. Ketertindasan perempuan berlangsung cukup lama dan dinilai sebagai bentuk penindasan yang sangat panjang di belahan dunia. Penindasan ras, perbudakan, dan warna kulit dapat segera dihentikan dengan resolusi (peraturan), tetapi  pemerasan secara seksual sangat susah dihentikan, dan diperlukan gerakan yang lebih medasar agar mendapatkan hasil yang maksimal.
Menurut Brownmiller (Fakih, 2001:64) para penganut feminis radikal muncul sebagai reaksi kultur sexism (yang merendahkan perempuan) di Barat pada tahun 60-an, khususnya dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi. Hal ini dipertegas Jaggar (Fakih,2001:85) para penganut feminis radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan unsur-unsur seksual individu dan politik. Menurut aliran ini penyebab penindasan terhadap perempuan adalah akar dari jenis laki-laki beserta ideologi patriarkhinya. Dengan demikian laki-laki secara biologis maupun politis merupakan bagian dari permasalahan. Berdasarkan hal tersebut, aliran feminisme menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual sebagai bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan. Sementara itu, menurut Eisenstein (Fakih, 2001:85) bagi mereka patriarkhi merupakan dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarkhi seksual yang menempatkan laki-laki memiliki kekuatan superior (unggulan) dan privilege (hak istimewa) ekonomi. Lebih lanjut Stanley dan Wise (Fakih,2001:85—86) menjelaskan bahwa revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Revolusi dan perlawanan atas penindasan perempuan bisa dalam bentuk yang sangat individual seperti urusan subjektif personal perempuan. 

3.  Feminisme Sosial 
            Feminisme sosial menolak memperlakukan penindasan ekonomi sekunder. Aliran feminisme sosial menyatakan bahwa laki-laki mempunyai kepentingan material khusus dalam mendominasi perempuan dan laki-laki mengonstruksikan berbagai tatanan institusional untuk melanggengkan dominasi ini. Batasan konvensional mengenai ekonomi dengan memper-timbangkan aktivitasnya yang tidak melibatkan pertukaran uang, misalnya dengan memasukkan kerja prokreatif dan seksual yang dilakukan perempuan di rumah. Dalam menganalisis semua bentuk kegiatan produktif aliran ini menggabungkan alat analisis perempuan dengan kelas.
            Menurut Ferguson (Humm, 2002:449) salah satu problem aspek feminisme sosial ini bahwa mereka menjadikan konsep pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin sebagai dasar untuk mengeksploitasi relasi-relasi antara subordinasi perempuan, sistem ekonomi tertentu, dan cara mengorganisasikan seksualitas. Sementara itu, kaum feminisme sosial berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketidakadilan peran antara kedua jenis kelamin itu, sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki, karena faktor biologis dan latar belakang sejarah. Kelompok feminisme sosial menganggap bahwa ketidakadilan terhadap perempuan di dalam masyarakat merupakan akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan dalam lingkungan rumah tangga. Istri memiliki ketergantungan lebih tinggi pada suami dan senantiasa mencemaskan keamanan ekonominya karena menggantungkan diri pada kekuasaan suami.
            Kaum feminisme sosial bertolak dari tesis bahwa setiap laki-laki dan perempuan mempunyai keinginan dalam mengembangkan kemampuan dan rasionalitas secara optimal. Tidak ada lembaga atau individu yang boleh merenggut dan intervensi terhadap hak itu. Negara hanyalah untuk menjamin agar hak tersebut terlaksana dengan baik.
            Perbedaan feminis liberal dan feminisme sosial adalah, kaum feminis sosial mengaitkan dominasi laki-laki dengan kapitalis, sedangkan kelompok feminis liberal mengaitkan dominasi laki-laki dengan ideologi patriarkhi.

4.     Feminisme Marxis
            Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini. Status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Adapun perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

Tokoh-tokoh Penting  Feminisme Gelombang Pertama
1. Lady Mary Wortley Montagu
Description: C:\Users\SONY VAIO\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\t039063a.bmp
Lady Mary Wortley Montagu adalah pelopor era pencerahan tahun 1785 di Eropa.Lady Mary Wortley Montagu bersama gerakan perempuan kulit putih memperjuangkan universal sisterhood (persaudaraan perempuan). Mereka masih merupakan tokoh gerakan yang belum menghasilkan teori feminis dan belum menulis buku tentang feminis.

2. Mary Wollstonecraft

Mary Wollstonecraft adalah seorang penulis karya dokumen pertama tentang feminisme berjudul, A Vindication of the Rights of Women, pada tahun 1792. Dalam karya tulis ini, dia menuntut persamaan dan edukasi yang lebih baik untuk wanita dan menciptakan kritik terhadap sistem sosial yang menurunkan wanita ke posisi orang bawahan. Ia berpendapat bahwa kemajuan dan peningkatan kehormatan manusia terletak pada luasnya ilmu pengetahuan. Ia menginginkan pendidikan bagi para perempuan muda untuk mempersiapkan mereka agar bisa mandiri di sisi ekonomi, memberikan kebebasan dan martabat, bukan untuk memikat suami mapan. Wollstonecraft ingin meningkatkan moralitas dan intelektualitas perempuan dan membuat perempuan menjadi penduduk yang lebih rasional. Ia tidak menuntut hilangnya peran perempuan dari wilayah domestik, namun dapat menempati wilayah publik. Tuntutannya yang paling radikal adalah hak pilih bagi perempuan. Teori yang dicetuskan dalam feminisme Wollstonecraft adalah bahwa perempuan yang ideal yang digambarkan dalam A Vindication of the Rights of Women adalah perempuan yang aktif dan cerdas, perpaduan antara tanggung jawab kenegaraan dan keluarga, terbebas dari pekerjaan yang membosankan dan merendahkan derajat perempuan (Sanders, 2010:20). Teori ini merupakan pendobrakan terhadap citra perempuan abad ke-16, yaitu bahwa perempuan ideal adalah perempuan yang suci, pendiam, dan patuh.
            Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa Wollstonecraft dalam A Vindication of the Rights of Women ingin memperjuangkan kesamaan derajat perempuan dan laki-laki dari aspek  moralitas, intelektual, dan hak suara. Dengan pendidikan yang tinggi dan tingkah laku yang baik, para perempuan dapat mandiri secara ekonomi dan memiliki martabat yang tinggi. DEngan hak suara penuh, para perempuan memiliki keterwakilan dalam parlemen sehingga dapat memberikan suara/pertimbangan pengambilan kebijakan negara, termasuk kebijakan dalam memberikan ruang gerak kepada perempuan.
Wollstonecraft sangat tidak setuju jika perempuan hanya mengandalkan kecantikan untuk memikat laki-laki mapan. Menurut Dia, hal itu sama dengan merendahkan derajat perempaun. Tuntutannya yang paling radikal terhadap perempuan adalah adanya hak pilih perempuan agar perempuan memiliki wakil dalam parlemen. Wollstonecraft berharap di masa depan, perempuan dapat menjadi dokter, pelaku bisnis, dan politikus sehingga memiliki perwakilan yang memungkinkan mereka dapat memberi pertimbangan dalam kebijakan pemerintah. Buku A Vindication of the Rights of Women hanya mengemukakan pemikiran-pemikiran ideal tentang perempuan ideal yang memiliki persamaan derajat dan martabat dengan laki-laki, namun belum menguraikan sebuah program pembenahan yang praktis dan tuntas.

BAB III: FEMINISME GELOMBANG KE-2 ABAD KE-20
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960-an, dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun itu merupakan awal bagi perempuan untuk mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut berpartisipasi dalam ranah politik kenegaraan. Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukkan bahwa sistem sosial masyarakat modern memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.
Feminisme gelombang kedua ini berkembang di Amerika Serikat, Inggris dan Perancis. Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, mengarahkan objek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga, yang meliputi Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras, dan budaya  (Tong, 1997).
Tokoh yang sangat berpengaruh pada feminisme gelombang kedua dengan gaungnya yang sangat keras di era perubahan adalah Betty Friedan dengan buku yang diterbitkannya berjudul The Feminine Mystique, yang ditulis tahun 1963 di Amerika Serikat. Buku ini berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966, gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Friedan berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) yang menempatkan kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang. Meskipun berkontribusi terhadap peningkatan kesadaran, The Feminine Mystique berakar kuat pada paham feminis liberal dengan tujuan untuk mewujudkan keseteraan kesempatan bagi perempuan di ruang publik (Colin, 2006, dan Thornham, 2010:35).
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan dan kemajuan yang dicapai. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama. Dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang dikenal dengan singkatan "Women´s Lib".Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan. Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia (Thornham, 2010:33—34).
Pada 1970-an, hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, tulisan teoretis mengenai feminis melanda dunia, di antaranya Kate Millet tentang Sexual Politics, Shulamith Firestone dengan  The Dialectical of Sex, dan koleksi Robin Morgan tentang Sisterhood is Powerful. Ketiga buku tersebut dipublikasikan di Amerika. Buku karya Millet mempopulerkan frase ‘politik seksual’ dan patriarki yang maknanya diperluas menjadi penindasan terinstitusi atas semua perempuan yang dilakukan oleh laki-laki melalui cara-cara ideologis. Sementara itu, Firestone menyampaikan pandangannya yang nonkompromis tentang sejarah patriarkhi. Ia menyatakan bahwa penindasan perempuan merupakan sistem kasta tertua yang paling kolot yang pernah ada. Penindasan yang paling mendasar adalah penindasan berdasarkan perbedaan alami reproduksi antar jenis kelamin yang mengarah pada pembedaan pekerjaan menurut jenis kelamin dan konstruksi sistem kelas berdasarkan  biologis. Visi Firestone mengenai utopia feminis adalah teknologi reproduksi, karena menurutnya teknologi reproduksi akan menggantikan kekejaman pembedaan seks berdasarkan sisi biologis. Dengan cara ini dia menganggap struktur sosial dan budaya akan runtuh (Thornham, 2010:47).
Adapun di Inggris, ada Germaine Greer dengan bukunya yang berjudul The Female Eunuch dan karya Eva Figes dengan Patriarchal Attitudes. Mereka memiliki pandangan yang sama bahwa budaya bersifat politis. Mereka juga menerapkan pendekatan yang sama, yaitu pendekatan yang mengombinasikan usaha untuk menyesuaikan representasi budaya dalam konteks sosial dan ekonomi. Teori-teori tersebut diinspirasi dari karya Simon de Beauvoir tentang The Second Sex (1949). Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kunci penindasan terhadap perempuan terletak pada konstruksi mereka sebagai ‘liyan’ (perempuan sebagai objek). Sehubungan dengan itu, yang harus diperjuangkan oleh perempuan menurut Beauvoir adalah cara perempuan dapat menempatkan dirinya sebagai subjek setara dengan laki-laki. Teori ini diilhami oleh feminis radikal dan liberal. Dua cabang pemikiran feminis yang muncul selanjutnya selama tahun  1970-an adalah feminis sosialis dan feminis psikoanalisis. Feminis sosialis yang dimotori oleh Rowbotham menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah revolusi bahasa, budaya, dan struktur material. Bahasa menjadi sangat penting untuk direvolusi karena melalui bahasa, budaya dibentuk dan disosialisasi. Feminis sosialis mencari cara mentrans-formasi sisi dalam pengalaman jasmaniah (kolonisasi psikologis dan keheningan budaya) serta bagian luar dari kondisi sosial material. Teori ini mengundang konflik dengan teori sebelumnya. Menurut Millet, Firestone, Greer, dan Finges menganggap bahwa Psikoanalis Freudian lengkap dengan konsepnya tentang penis envy (kecemburuan perempuan terhadap alat kelamin laki-laki) dan kepasifan feminis sebagai kunci dalam revolusi tandingan melawan feminis gelombang pertama (Thornham, 2010:43).
Di Perancis, feminisme gelombang kedua ini dimulai oleh Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida.Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai seorang yang bukan termasuk white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Pada akhir masa femenisme Gelombang kedua, Cixous dan Kristeva membelot kepada Posfeminisme. Tokoh yang paling berpengaruh di Perancia adalah Simon de Beauvoir tentang The Second Sex (1949) (Tong, 1997).
Pada tahun 1981 Friedan menulis buku selanjutnya yang berjudul The Second Stage. Buku tersebut digunakan untuk melindungi ‘ruang keluarga’ dan ‘ruang pribadi’ dari serangan analisis feminis akibat perilaku ektrim oleh sekelompok pengikut feminis liberal dan radikal (Thornham, 2010:43).
Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi objek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.
Teori-teori yang lahir pada gelombang kedua ini adalah feminisme eksistensialism, feminisme gynosentris, dan feminisme sosialis sebagai kritik terhadap feminis marxis. Keempat teori itu, masing-masing dijelaskan sebagai berikut:
1.     Feminsime Eksistensial
Feminisme eksistensial yaitu feminisme yang melihat ketertindasan perempuan dari beban reproduksi yang ditanggung oleh perempuan, sehingga tidak mempunyai posisi tawar dengan laki-laki. Penindasan yang paling mendasar adalah penindasan berdasarkan perbedaan alami reproduksi antarjenis kelamin yang mengarah pada pembedaan pekerjaan menurut jenis kelamin dan konstruksi sistem kelas berdasarkan  biologis. Visi teori ini mengenai utopia feminis adalah teknologi reproduksi, karena menurutnya teknologi reproduksi akan menggantikan kekejaman pembedaan seks berdasarkan sisi biologis. Dengan cara ini penganut teori ini menganggap struktur sosial dan budaya akan runtuh.
2. Feminisme Gynosentris           
Feminisme gynosentris yaitu feminisme yang memandang ketertindasan perempuan dari perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan perempuan lebih inferior dibandingkan laki-laki. Feminis ini merupakan pengembangan dari feminisme radikal yang ekstrim. Teori ini mengatakan bahwa perempuan harus memformulasikan kekuatan kolektif,  menumbuhkembangkan pengetahuan perempuan  yang akan membekali mereka untuk melawan  control patriarkhial, baik secara fisik maupun kejiwaan. 
3. Feminisme Sosialis
Sebuah faham berpendapat “Tak ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk meng-hapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
      Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia paham feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

Tokoh-tokoh Penting Feminisme Gelombang Kedua
1. Betty Friedan
Description: C:\Users\SONY VAIO\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\t052047a.bmp
Buku yang dibuat oleh Betty Friedan yang berjudul The Feminine Mystique, yang menjadi best-seller, memperke-nalkan dan mempro-mosikan ide bahwa wanita dapat menemukan kebahagiaannya dalam karir dan tidak ada hubungannya dengan membangun keluarga. Friedan menjadi pemimpin dalam pergerakan wanita, dan di tahun 1966 dia mendirikan National Organization for Women (NOW), yang melanjutkan hak-hak persamaan dan kebebasan wanita.Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredan berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) yang menempatkan kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.  Buku keduanya berjudul The Second Stage  (1981) digunakan untuk melindungi ‘ruang keluarga’ dan ‘ruang pribadi’ dari serangan analis feminis akibat perilaku ektrim oleh sekelompok pengikut feminis liberal dan radikal. Dalam foto ini terlihat Friedan menandatangani “ERAgram” untuk meminta Presiden Jimmy Carter agar mendukung Equal Rights Amendment pada bulan Agustus tahun 1977.

2. Simone de Beauvoir
Description: C:\Users\SONY VAIO\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\t224014a.bmpSimone de Beauvoir adalahSeorang penulis dan filosof dari Perancis disebut pelopor terbaik dari pergerakan feminis pada tahun 1960-an. Bukunya yang berjudul The Second Sex, dipublikasikan pada tahun 1949 merupakan inspirator bagi millet dan Firesttone dalam buku dan gerakan perempuan pada tahun 1960-an. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kunci penindasan terhadap perempuan terletak pada konstruksi mereka sebagai ‘liyan’ (perempuan sebagai objek). Yang diperjuangkan buku tersebut adalah cara perempuan dapat menempatkan dirinya sebagai subjek setara dengan laki-laki. Selanjutnya buku tersebut merupakan literatur feminis klasik.

BAB IV: FEMINISME GELOMBANG KE-3 DAN POSTFEMINISME
Feminisme gelombang ketiga lahir bersamaan dengan lahirnya Postfeminisme. Banyak tokoh feminis mengklaim bahwa postfemenisme berbeda dengan feminisme gelombang ketiga karena Postfeminisme merupakan gerakan yang menolak gagasan-gagasan feminisme tahun 1960-an, bahkan para tokoh feminis bersikukuh bahwa postfeminisme merupakan ‘sebuah pengkhianatan’ atas sebuah sejarah perjuangan feminis. Menurut Susan Faludi dalam bukunya The Backlash: The Underclared War Agains Women (1991) menjelaskan bahwa postfeminisme adalah sebuah reaksi keras terhadap dasar yang telah ditetapkan oleh feminisme gelombang kedua. Salah satu tokoh feminisme gelombang kedua dan ketiga, Greer menerbitkan buku sambungan dari The Female Eunuch, yang berjudul The Whole Woman merupakan reaksi melawan ideologi posfeminisme. Greer membuat perumpamaan: jika feminism berambut panjang, bercelana jengki, dan beranting juntai, maka postfeminisme berpakaian setelan ala bisnismen, berambut cepak, dan berlipstik tebal. Greer menyatakan bahwa postfeminisme suka pamer seperti pelacur dan berperilaku menyimpang. Ideologi ini menawarkan kepada perempuan bisa mendapatkan semuanya: karir, keibuan, kecantikan, dan kehidupan seks yang bebas dengan mengonsumsi pil, racun, bedah kecantikan, fesyen, dan lainnya. Postfeminisme dipelopori oleh Naomi Wolf, Camila Paglia, Rene Denfeld, dan Katie Rophi. Sedangkan para teoritikus yang berhasil membuat daftar konseptual mengenai dekonstruksi, perbedaan, dan identitas feminis adalah Yulia Kristewa, Helena Cixous, Laura Mulbey, dan Yudith Butter. Postfeminisme melahirkan teori postkolonialisme dan feminisme anarkhis.
Sementara itu, memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan, tetapi kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata ekofeminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.
Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).
Feminisme gelombang terakhir atau gelombang ketiga, merupakan feminisme baru yang melihat isu-isu terkini dalam masyarakat, yang dikaitkan dengan ketertindasan perempuan dengan mempertimbangan multikultural dan pluralitas. Ada tiga teori yang lahir dari gelombang ketiga ini: feminisme multikultural, feminisme global, dan feminisme ekologi/ ekofeminisme.


Tokoh-tokoh Penting FemenismeGelombang ke-3 dan Postfeminisme
Description: C:\Users\SONY VAIO\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\t025949a.bmp1. Susan Faludi, Tokoh Feminisme Gelombang III

Susan Faludi melahirkan sebuah buku yang menciptakan kontroversi pada tahun 1991 yang berjudul Backlash : The Undeclared War Against American Women.

2. Angela Davis, Tokoh Penting Postfeminisme
Angela Davis
Dalam foto di samping menunjukkan Angela Davis sedang berbicara di Universitas Alberta pada 28 Maret 2006.Angela Davis merupakan orang pertama yang mengartikulasikan sebuah argumen yang berpusat pada interseksi dari ras, jender dan kelas dalam bukunya Women, Race, and Class.

Teori  yang Dilahirkan Feminisme Postmodern/Postfeminisme
           
1. Feminisme Anarkis
            Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-laki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf yang menggagas "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi pembebasan kaum feminis. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelak”(http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20071028222834AAQ c1nU).


2.      Feminisme Postkolonial
            Dasar pandangan ini berakar dari penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antarbangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.” (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20071028222834AAQ c1nU)



Teori yang dilahirkan oleh Feminisme Gelombang III
1. Feminisme Multikultural
Feminisme mulitikultural adalah feminisme yang tidak melihat ketertindasan perempuan terjadi dari kelas, ras, preferensi sosial, umur, agama, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Feminisme multikultural memperluas gerakan dan teori dari kelompok kelas menengah kulit putih di Eropa dan Amerika ke seluruh penjuru dunia. Dengan kata lain, feminisme multicultural mencakup perjuangan perempuan lintas ras, lintas agama, lintas negara, lintas kelas. lintas umur, dan lintas pendidikan mulai perem-puan dunia I sampai dunia ke-3. Di Asia, feminisme multicultural dipelopori oleh Mohanty dan Spivak dari India (Kuria, 2010:83).



2. Feminisme Global
       Feminisme global adalah  feminisme yang menekankan pada ketertindasan dalam konteks perdebatan antara feminisme di dunia yang sudah maju dengan feminisme di dunia yang sedang berkembang. Dengan cara melakukan berbagai penelitian terhadap perempuan di negara sedang berkembang, perempuan negara maju melibatkan perempuan dunia yang sedang berkembang untuk memperjuangkan kesetaraan dengan laki-laki dalam berbagai bidang. (http://id.answers.yahoo.com/ question  /index?qid=20071028222834AAQ c1nU).

3. Ekofeminisme atau Feminisme Ekologi
      Ekofeminisme adalah feminisme yang melihat  ketidakadilan perempuan dalam lingkungan, berangkat dari ketidakadilan yang dilakukan manusia terhadap ligkungan atau alam. Feminisme ekologis nama yang digunakan untuk berbagai posisi yang memiliki keterkaitan dengan berbagai praktik dan folosofi feminis yang mencerminkan pemahaman-pemahaman yang berbeda mengenai alam dan solusi untuk menangani persoalan-persoalan lingkungan. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Kritik kaum ekofeminisme terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan, tetapi telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata ekofeminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam dianggap laki-laki sebagai representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tidak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.  Berangkat dari kritik tersebut, ekofeminismevmenawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu disebut sebagai sains feminis (feminist science). (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=200710282228 34 AAQ c1nU).

BAB V: PENUTUP
A. Simpulan
            Berdasarkan uraian dalam pembahasan dapat disimpulkan  sebagai berikut:
1.     Feminisme Gelombang pertama diinspirasi oleh tokoh gerakan perempuan di Era Pencerahan yaitu Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet pada tahun 1785. Tokoh yang paling penting dalam feminisme gelombang pertama adalah Mary Wollstonecraft dengan bukunya yang berjudul, A Vindication of the Rights of Women (1792). Dalam karya tulis tersebut, dijelaskan pentingnya pendidikan bagi para perempuan muda untuk mempersiapkan mereka agar bisa mandiri dari segi ekonomi, memberikan kebebasan peran ruang public, dan meningkatkan martabat, bukan untuk memikat suami mapan. Selain itu, dijelaskan pula pentingnya meningkatkan moralitas dan intelektualitas perempuan dan membuat perempuan menjadi penduduk yang lebih rasional dan bermartabat. Buku ini tidak menuntut hilangnya peran perempuan dari wilayah domestik, namunbmenuntut adanya peran perempuan di wilayah publik. Tuntutannya yang paling radikal adalah hak pilih. Kata feminis dan feminisme pada masa femenisme gelombang pertama belum digunakan sampai akhir abad ke-19. Feminisme gelombang pertama belum menghasilkan teori mapan namun sudah menjadi inspirasi lahirnya teori liberal, radikal, sosial, dan Marxis. Feminisme gelombang pertama memperjuangkan pening-katan  pendidikan, martabat dan kebebasan perempuan yang masih terbatas pada perempuan kulit putih kelas menengah.
2.     Feminisme Gelombang kedua lahir di era perubahan pada tahun 1960-an. Di Amerika, tokoh yang paling berpengaruh adalah Betty Friedan dengan bukunya berjudul The Feminine Mystique, dengan teorinya bahwa wanita dapat menemukan kebahagiaannya dalam karir dan tidak ada hubungannya dengan membangun keluarga. Friedan menjadi mendirikan National Organization for Women (NOW), yang melanjutkan hak-hak persamaan dan kebebasan wanita. Dalam bidang perundangan, Fredan berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) yang menempatkan kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang. Di Inggris, tokoh yang paling berpengaruh adalah Germany Greer dengan bukunya berjudul The Female Eunuch dan Eva Figes dengan Patriarchal Attitudes. Mereka memiliki pandangan yang sama bahwa budaya bersifat politis. Oleh karena itu pembebasan perempuan dari kungkungan ideologi patriarkhi harus diperjuangkan melalui politik. Pemikiran Greer dan Figes diisnpirasi dari pemikiran Simone de Beauvoir dari Prancis tokoh yang paling berpengaruh dengan bukunya The Second Sex. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kunci penindasan terhadap perempuan terletak pada konstruksi mereka sebagai ‘liyan’ (perempuan sebagai objek). Yang diperjuangkan oleh Beauvoir dalam bukunya adalah cara perempuan dapat menempatkan dirinya sebagai subjek setara dengan laki-laki. Jika feminism gelombang pertama masih terbatas pada memperjuangkan feminis kulit putih kelas menengah, maka feminism gelombang kedua sudah memikirkan untuk menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Teori yang diinspirasi oleh gelombang pertama berkembang pesat pada feminism gelombang kedua, terutama feminisme liberal dan radikal. Selanjutnya feminisme gelombang kedua menginspirasi lahirnya teori feminisme  sosialis, feminisme psikoanalis, eksistensialisme dan feminism gynosentris.
3.     Feminisme  gelombang ketiga lahir bersamaan dengan Postfeminisme pada tahun 1990-an.  Posfeminisme yang dimotori oleh Wolf mendapat reaksi keras dari tokoh feminisme gelombang ketiga yang dipelopori oleh Susan Faludi dalam bukunya The Backlash: The Underclared War Agains Women (1991) . Dalam bunya tersebut, Faludi menjelaskan bahwa postfeminisme adalah sebuah reaksi keras terhadap dasar yang telah ditetapkan oleh feminisme gelombang kedua. Apabila postfeminisme menawarkan ideologi kepada perempuan bahwa perempuan bisa mendapatkan semuanya: karir, keibuan, kecantikan, dan kehidupan seks yang bebas maka feminisme gelombang ketiga tetap memperjuangkan peningkatan peran perempuan di ruang publik, martabat, dan kebebasan perempuan dari penindasan ideologi patriarkhi termasuk di bidang sains dengan membentuk genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science). Gagasan dan perjuangan feminisme gelombang ketiga sudah bersifat universal, multikultural, dan plural. Femisme gelombang ketiga menginspirasi lahirnya teori feminisme multikultural, feminisme global, dan feminisme ekologis/ekofeminisme.
DAFTAR PUSTAKA
Colin, Hay  et all (eds). The State : Theories and Issues (Palgrave, 2006)
Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faludi, Susan. 1992. Backlash: The Underclared War Agains Women diterjemahkan oleh tim Jalasutra editor Siti Jamilah dan Umi Nurun Nikmah. London: Vintage.
Gamble, Sarah. 2010. Postfeminisme diterjemahkan oleh tim Jalasutra editor Siti Jamilah dan Umi Nurun Nikmah. Yogyakarta: Jalasutra.
Humm, Magie. 1986. Feminist Criticism. Brighton, Sussex: The Hervester Press Limited.
Jackson, Stevie and Jackie Jones.Contemporary Feminist Theories: New York, New York University Press, 1998.
Kuria, Alka. 2010. Feminisme Negara-negara Berkembang. Diterjemahkan oleh tim Jalasutra editor Siti Jamilah dan Umi Nurun Nikmah. Yogyakarta: Jalasutra.
Rueda, Marisa, Susan Alice and Marta Rodriguez.Feminsime Untuk Pemula: Yogyakarta, Resist Book, 2007.
Sanders, Valerie. 2010. Gerakan Feminisme Gelombang Pertama diterjemahkan oleh tim Jalasutra editor Siti Jamilah dan Umi Nurun Nikmah. Yogyakarta: Jalasutra.
Selden, Raman.1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini (diterjemahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suharto, Sugihastuti, 2002. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tong, Rosemarie. 1997. Feminist Thought : A Comprehensive Introduction. USA : Westview Press
Thornham, Sue. 2010. Gerakan Feminisme Gelombang Kedua diterjemahkan oleh tim Jalasutra editor Siti Jamilah dan Umi Nurun Nikmah.Yogyakarta: Jalasutra

No comments:

Post a Comment